Penguasaan Agraria dan Politik Kesejahteraan
Ibang Lukmanurdin
Menetapkan bentuk-bentuk hak atas tanah yang tepat yang memberikan jaminan hak untuk menghuni pada pengguna tanah, khususnya penduduk asli, perempuan, masyarakat lokal, penduduk kota berpenghasilan rendah, dan kalangan miskin di desa-desa... (ayat7. 30 (f) Lembar Kerja Hak-hak Asasi Manusia PBB (The British Council)
Tanah walaupun hanya berasal dari lima hurup, tetapi menepati peranan yang terpenting bagi manusia dimanapun mereka tinggal dan hidup. Karena dari tanah yang dikelola secara arip oleh manusia akan menghasilkan berbagai siklus kehidupan ketentraman dan keselamatan. Sehingga tidak heran dari tanah selain menghasilkan bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan juga menghasilkan bahan untuk menjaga kehidupan dan perkembangan peradaban manusia. Manusia adalah salah satu mahluk yang sering mengelola dan memproduktifitaskan tanah yang berawal untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, mulai maju mengelola lahan untuk kebutuhan masyarakat lainnya, setelah peradaban manusia maju terutama dengan ditemukannya alat tukar barang yang bernama Uang mendorong pengelolaan tanah secara berlebihan, dan fenomena ini didorong setelah dilaluinya masa manusia transisi diantara masa zaman purbakala dengan masa modernisasi yang didorong oleh semangat renaisans pada abad ke 15.
Dengan berdirinya pemerintah pertama yang dikenal dengan Orde Lama melahirkan rasa optimis yang tinggi bagi rakyat terutama sikap yang jelas yang dilakukan oleh pemimpin dalam menentang kapitalis dan imperialis melahirkan kepercayaan yang tinggi bagi rakyat yang ditandai dengan kebebasan rakyat dalam merorganisasi sehingga pada tahun 1955 sebagai pemilu yang pertama bagi bangsa Indonesia disambut dengan sikap pluralistik yang ditandai dengan berdirinya bergagai partai yang hendak memperjuangankan hak-hak rakyat.
Sikap optimis rakyat tentang ketimpangan kepemilikan tanah akan berakhir mencapai puncak ketika tahun 1960-1965 yang dikenal dengan progran Land reform. Yang dimulainya dengan pembuatan UU yang khusus tentang pertanahan yang dikenal dengan UUPA No. 5 Tahun 1960, dan di bentuknya pengadilan Land reform melalui Undang-undang No. 21 tahun 1964 yang disusun untuk menjawab persoalan yuang berkembang dilapangan akibat program landreforam yang seringkali menimbulkan sejumlah persoalan penetapan tanah yang menjadi objek lanreform dan kemudian ketepatan dalam pembagiannya, karena itu pengadilan Landreforam berwenang mengadili perkara-perkara perdata, pidana dan adminitrasi yang timbul akibat pelaksanaan landreform.
Proses pembuatan UUPA No 5 tahun 1960 memerlukan waktu yang panjang karena proses itu dibuat dari mulai tahun 1948 dengan dibentuk panitia agraria guna menyelesaikan persoalan tanah melalui penetapan presiden No. 16 tahun 1948 yang dikenal dengan sebutan Panitia Agraria Jogja (1948) yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo guna menyususn hukum hokum agraria baru pengganti hukum kolonial yang dikenal dengan Agraria Shwet/ UU hak Tanah. Karena beberapa alasan terutama terjadinya agresi militer Belanda ke II yang mengakibatkan perubahan system politik ibu kota pindah ke Jakarta, karena itu panitia Jogja di bubarkan dan diganti dengan membentuk panitia Jakarta (19510 menghasilkan beberapa hal yaitu ; pertama dianggap perlu untuk adanya penetapan batas luas maksimum dan batas luas minimum, kedua , yang dapat memiliki tanah untuk usha kecil hanya petani, ketiga, pengakuan hak rakyat atas kuasa undang-undang. Dan pada tahun 1955, maka diadakan pemilihan umum yang pertama bagi Indonesia hingga melahirkan kabinet baru, dan akhirnya panitia yang dibentuk pada tahun 1951 mengalami perubahan dengan dibentuknya lagi panitia baru yang dipimpin oleh Soewahjo Soemodilogo dengan memperoleh mandat untuk menyusun secara kongkrit RUU Agraria nasional dengan dasar acuan UUDS (1950) pasall 26,37 dan 38 hingga akhirnya berhasil menyususn RUU yang memuat butir asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara, sesuai pasal 38 ayat 3 dari UUDS (50), asas bahwa tanah pertanian dikerjakan dan di usahakan sendiri oleh pemiliknya. Dan pada tahun 1956 dibentuk kerjasama segi tiga antara departemen Agraria, panitia ad hoc DPR dan UGM untuk menyususn naskah baru yang akan dijadikan dasar oleh departemen Agraria untuk menyusun RUU baru, dan pada tanggal 1 Agustus 1960 RUU baru di sampaikan kepada DPR GR yang akhirnya di undangkan pada tanggal 24 September 1960 dalam lembaran negara No. 104 tahun 1960 sebagau UU No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan UUPA dan di ikuti oleh peraturan pemerintah UU No. 56 tahun 1960 (yang dikenal dengan UU landreform, dan pada tahun 1960-1965 ditetapkan sebagai pelaksanaan landreform.
Pemberontakan PKI, dan keterlibatan militer dalam persoalan perkebunan menjadi awal diantara kegagalan rasa optimis rakyat dalam persoalan tanah, dan kondisi ini diperparah dengan terjadinya kudeta yang dilakukan oleh militer yang akhirnya melakirkan pemerintahan Orde Baru yang melegitimasi diri sebagai penguasa yang melaksanakan UUD 45 dan pancasila secara murni dan konsekwen untuk memperdaya rakyat. Adapun peleksanaan pembaharuan agraria mengalami jalan buntu, dengan opini yang dibangun oleh penguasa Orde baru bahwa UUPA No. 5 tahun 1960 merupakan hasil produksi PKI dan akhirnya UUPA itu di masukan ke dalam peti mati. Dan persoalan penjernihan dan pelurusan sejarah persoalan UUPA, baru bisa dilakukan oleh Orde Baru secara legal formal setelah keluarnya Tap MPR No. IV / 1978 dan pada tahun 1979 membuat pernyataan yang isinya mengukuhkan kembali UUPA 1960 dan kemudian di bebankan kepada mentri dalam negri untuk melaksanakan catur tertib pertanahan yang akhirnya dibentuk suatu panitia nasional agraria yang diketuai oleh Menpen, Dirjen dari berbagai Departemen dan Dirjen Agraria sebagai Sekretaris dan satu-satunya anggota yang non pemerintah adalah KHTI.tetapi ada banyak persoalan ketika pengukuhan kembali UU tersebut dengan tidak pernah mensosialisasikannya kepada rakyat dan rakyat tidak dilibatkan langsung baik dalam kepanitiaan maupun dalam pelaksanaan program tersebuth sehingga birokrasi di tingkat bawah tetap menetapkan bahwa persoalan UUPA melekat dengan persoalan pemberontakan PKI, dan ini yang menjadi pendorong komplik antara rakyat dan negara.
Dan kekuatan Orde Baru semakin kuat setelah disosialisasikannya UU No. 5 tahun 1967 tentang kehutanan dan penggunaan peraturan pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa dan UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang mempasilitasi pemerintahan yang bersikap sentralisasi melalui strategi penyeragaman.
Menurut Warsito Utomo Implementasi UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok pemerintahan di daerah berorientasi kepada L: pertama, bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa; kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan dan Ketiga, bagaimana membangun kekusaan sebagai pemerintahan ousat yang mempunyai kewenangan di daerah-daerah. Dan tidak mengherankan untuk mencapai tiga hal tersebut, penerapan use of authority menjadi lebih besar, luas dan kuat dari pada freedom for subordinate.Konotasinya dierapkannya security approach dan khusus untuk formulasi dan implementasi pemerintah di daerah dinam[akan istilah atau konsep ; Penguasa Tunggal, sehingga muncul permasalahan dengan dilaksanakannya UU No. 5 tahun 1974, antara lain; Dominasi prinsip dekonsentrasi dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah; Ketimpangan distribusi keuangan pusat dan daerah; Ketiadaan penguasaan pemerintahan di tingkat pimpinan daerah; rekrutmen Gubernur/Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah ditentukan oleh pusat; Penyatuan pungsi kepala daerah dan Kepala Wilayah; Adanya konsep penguasaan tunggal; adanya Struktur pararel pusat di dawerah-daerah; adanya Militerisasi birokrasi sipil di daerah-daerah guna mengontrol pikiran rakyat (Kajian Kritis RUU Pemda dan Implementasinya terhadap pemerintahan yang Demokratis,158-159;2000).
Dari uraian di atas nampak dengan kongkrit kedudukan pusat yang tidak ada batasan jelas dalam melakukan kekuasaan yang mengakibatkan elit-elit desa dengan cepat akan menjadi bagian dari elit nasional, sehinga substansi dalam bernegara diantaranya demokrasi dimarjinalkan dengan membentuk lembaga-lembaga korporatif negara seperti LKMD, dibentuknya lembaga politik korporatif yang dikendalikan dari pusat seperti ploating mass atau adanya upaya militerisasi terhadap masyarakat dan birokrasi sipil.
Kebijakan pembangunan dengan trilogi pembangunan yang dilakukannya dalam pemerintahan Orde Baru, mendorong terjadinya eksploitasi yang besar terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam baik melalui HPH, HGU, Modal Asing, Industrialisasi dan kebijakan lain yang menjauhkan rakyat beserta tanahnya.
Pemarjinalisasian rakyat yang dilakukan oleh kolonial di pertajam oleh Orde Baru melalui HMN, yang melegitimasi penguasa melakukan eksploitasi yang tidak berujung terhadap rakyat dan isi alam dan fenomena ini melahirkan ketimpangan kepemilikan tanah, kemiskinan structural, dan pelanggaran HAM.Hingga nampak fenomena politik dalam ketatanegaraan semasa rezim Orde Baru diantaranya :
Terjadinya diskrepansi antara kopentingan negara merdeka, bersatu,berdaulat, adil dan makmur dengan kondisi kongkrit yang dilakukannya pada masyarakat, sehingga lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan, yang terrealisasi berulah konsep negara bersatu adapun negara adil, makmur,merdeka dan berdaulat belum terlaksana.
Kedudukan presiden sangat dominan disbanding lembaga legislative dalam proses pembentukan dan perubahan UU
Melihat struktur kekuasaan di MPR/DPR terlihat kedaulatan rakyat sulit terwujud, yang terjadi justru pelembagaan kekuasaan seperti tercermin dalam komposisi MPR/DPR
Makin merosotnya jaminan negara tentang hak politik, sosial , ekonimi, budaya dan sipil warga negaranya.
Prinsip persamaan dihadapan hokum seperti yang diatur pada pasal 27 (1) UU 45 m,asih merupakan mimpi buruk.Dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar