Rabu, 28 Oktober 2009

Catatan Kesaksian Perampasan Agraria
Lukman Ibang

Selama berkuasanya orde baru hampir lupa dari perhatian serius kaum pemerhati sosial, di berbagai desa di Indonesia telah terjadi berbagai bentuk perampasan alat roduksi (tanah). Dan potret kelakukan rezim otoriter itu sampai hari ini menjadi tema terpenting bagi para kaum warga agraria. Namun potret perampasan rezim terdahulu tak pernah di jadikan agenda sacral oleh penyelnggara negara dalam kerangka mewujudkan keadilan social atas agraria. Bahkan sepanjang tahun 2002-2003 memasuki derasnya tuntutan atas demokrasi, pemenuhan HAM, kesetaraan, tranfaransi, good gaverment, dan otodoni daerah masih banyak kita baca, dengar dan lihat ruang kekerasan, penindasan, intmidasi, dan pelangaran HAM terhadap kaum buruh tani yang menuntut keadilan atas agraria. Dan tentu tuntutan keadilan itu tak lain dari kondisi membuminya keterpurukan dan kehancuran atas kondisi politik ekonomi kaum tunakisma, buruh tani, petani pengarap. Dan ini akibat dari hilangnya kepastian hak atas akses agraria (tanah) dan sumber agraria lainnya. Bahkan jawaban tuntutan kaum buruh tani atas keadilan agraria dengan kekerasan penyelengara negara memperparah wilayah ekonomi, politik dan social kaum buruh tani.

Selama orde baru berkuasa, perampasan yang dilakukan oleh rezim berakibat pada tmbuhnya kantung-kantung kemiskinan di areal buruh tani, selain menyebarnya berbagai generasi buruh migran yang mengadu nasib di metropololitan. Meskipun areal pelarian itu tak memberikan jaminan kepastian hidup layak, memperoleh perlindungan,layanan kesehatan, tetap menjadi pilihan penting. Sementara 3-7 % dari warga yang masih hidup di wilayah agraria yang telah berubah menjadi sitem ekonomi pertanian kapitalis menjadi buruh mesin-mesin produksi perkebunan. Dan eksploitasi itu, tak lain dari model perbudakan baru di masa tuntutan atas penghormatan HAM. Setiap para budak mesin produksi itu memiliki energi cukup untuk memutarkan akumulasi keuntungan kaum modal dan pasar, seketika dipeliharan dan di hisap tenaganya. Namun bila kekuatan itu mulai hilang, para buruh itu akhirnya di berhentikan tanpa terkecuali. Hal ini tentu di klaim akan mengurangi sirkulasi keuntungan . sehingga untuk menjaga hasil produksi harus di gerakan oleh kekuatan energi yang besar. Dan system ekonomi pertanian kapitalis telah berlangsung lama semenjak masa berkuasanya kolonial. Dan kelakukan itu dikukuhkan dimasa berkuasanya rezim orde baru. Untuk menjaga meluasnya dan melanggengkan eks-ploitasi, rezim orde baru memisahkan komunitas-komunitas kaum buruh dengan warga lainnya.berbagai informasi yang diperoleh buruh hanya satu kominikasi dan satu arah. Berbagai perkembangan dunia luar baik berkenaan dengan perkembangan standar kelayakan hidup normal, jaminan perlindungan social, jaminan pemenuhan politik, dan sipil sangat terbelakang. Begitu juga berbagai organisasi, kendaraan politik, dan jaminan pendidikan politik hanya di sentralkan pada satu unit politik hegemoni. Untuk itu, berbagai penindasan, eksploitasi, dan intimidasi yang di lakukan oleh unit yang berada di wilayah nya tak pernah dirasakan sebagai pelanggaran HAM. Padahal bila mereke membuka lembaran document intrumen kemanusiaan, akan bangun dari tidurnya. Namun gerakan memutuskan rantai kesadarannya dijaga oleh kaum penguasa, modal, militer dan pasar.untuk itu kemiskinan yang menyelimutinya yang tidak hanya sekedar warisan kolonial di yakininya sebagai kekuatan takdir, bukan diciptakan oleh penyelengara, modal, pasar yang otoriter.

Dan kemiskinan yang menyelimuti warga buruh tani, tunakisma,buruh perkebunan, tidak hanya menghantarkan mereka pada penghisapan, namun mempengaruhi tingkat pendidikan, jaminan kesehatan,perumahan,perlindunga dari kekerasan. Potret malapetaka ini tak pernah memberikan kehendak komitken politik pemerintah dalam memenuhi, melayani, dan melndungi. Yang nampak tak lain kelakukan pemerintah wajib di layani oleh warganya. Padahal berbagai jaminan pinjaman utang, gajih pemerintah, perumahan pemeritah, jaminan tingkat pendidikan, jaminan kesehatan,jelasnya berbagai hal yang dinikmati dalam hidupnya tak lain dari tetesan keringat rakyat, dan setoran berbagai pajak yang dikenakannya. Dari mulai menyetor pajak rokok dan berbagai kebutuhan primer, sekunder. Namun pengorbanan rakyat yang terhisap dalam hidupnya sampai hari ini tak ada jaminan social untuk bisa hidup layak sebagai warga negara. Bahkan berbagai penggusuran nilai-nilai kearipan local melalui revolusi hijau, intrumen negara (polisi, milisi sipil,kebijakan) yang mengarah pada pola kapitalis, telah membumi hanguskan tradisi kolektif ke individualis, dan konsumtif,

Untuk itu, tumbuhnya berbagai tuntutan pengelolaan keadilan agraria oleh warga tunakisma yang hidup di pinggir dan dalam hutan maupu di pinggir perkebunan tak bisa di baca sebagai upaya inkonstitusional, penjarahan, pengrusakan, dan pola makar atas pemerintahan yang sah. Apalgi dibaca sebagai tumbuhnya pola terorisme, hingga dijawab dengan pola penyelesian dimasa berkuasanya kolonial melalui kriminalisasi, stigmatisasi dan kambing hitam. Sekalipun tuntutan itu di ikuti dengan gerakan rekleming. Namun upaya tuntutan itu di manipestasikan oleh kaum tertindas akibat politik kebijakan agraria yang di implementasikan oleh pe,meritah mengacu pada kelakukan kebijakan agrarist west 1870. bukan beralas pada UUPA No 5 tahun 1960 sebagai payung hukum tentang agraria yang menghanguskan model kelakuan kolonial (agrarist west 1870).

Tapi sampai hari ini kelakuan kolonial masih dipelihara dalam merespon tuntutan gerakan rekleming oleh kaum tunakisma.kekerasan, intimidasi, pemenjaraan, penembakan, pemukulan, menggunkan intrumen kekerasan kepolisian untuk membumi hanguskan tuntutan keadilan pengelolaan agraria menjadi pilihan tindakan penyelesaian. Dan pola kekerasan itu menyelimuti perkampungan warga-warga tuna kisma di wilayah pinnggir dan dalam hutan bahkan di wilayah perkampungan pinggir perkebunanpun menjadi potret kekerasan. Untuk itu tak heran bila banyak warga yang hidup di sekitar kehutanan dan perkebunan tiba-tiba rumahnya mengalami perlakukan yang tidak manusiawi. Seperti penodongan, penculikan, dijadikan areal pelatihan secara sistematis. Seperti kasus di Cisompet, Cilawu, Bungbulang, pakenjeng, Samarang, Cituak, kadungora, sarimukti, Cisepan, Sukatani, mekarjaya, Lewi pari, telah terjadi 27 petani yang di kriminalkan, dan puluhan petani yang mengalami kekerasan.

Kekerasan dalam sengketa agraria
Dalam sengketa tanah di wilayah perkebunan dan kehutanan, catatan LASPIM masih banyak menggunakan kekerasan atau penggunaan intrumen represi Negara (POLISI) dalam mempertahankan rampasan tanah rakyat. Sebagai mana terjadi pada tahun 2001 di priangan (Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis) terjadi kriminalisasi lebih dari 300 petani dalam kasus tanah perkebunan dan 271 petani di areal klaim PERHUTANI. Tahun 2002 lebih dari 205 petani dalam kasus perkebunan dan 231 petani di areal perhutani. Begitu juga Tahyo salah seorang warga selasari, kecamatan langkap lancar kanupaten Ciamis hanya karena salah satu kunci sejarah perampsasan tanah rakyat ia terpaksa mendekam di penjara 2 tahun. Terakhir di penghujung tahun 2003, penangkapan terjadi di Garut akibat Oprasi Wanalaga Lodaya hampir 2000 orang warga, begitupun pembakaran, pemerasan terhadap petani di penghujung tahun itu. Sekurang-kurangnya 30 rumah yang dibakar di desa Sancang Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut, puluhan Hektar tanaman rakyat yang di rusak di Garut. Di daerah Kabupatenm Ciamis lebih dari 15 di tahun 2003 terjadi penagkapan, dan pemukulan oleh milisi sipil, dan Pak Oman warga desa Banjar anyar Kecamatan Banjar sari merupakan salah satu korban penganiayaan. Tahun 2003 di Kabupaten Ciamis 4 warga Desa Siondang asih kecamatan Cikatomas kabupaten tasik harus mendekam di penjara akibat. Begitu juga di penghujung tahun 2004 terjadi tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi dengan tuduhan yang tak jelas hanya karena mempertahankan lahan arean hidupnya yang selama ini di klaim oleh pihak perhutani mengkaibatkan 5 (Tahyo, kaswan, Sopan, Sapja, Sukin) orang warga desa selasari kecamatan parigi Kab. Ciamis, 6 orang desa Cimanggu, Kecamatan langkap lancar Kabupaten Ciamis. mendekam di penjara. Di tasikmalaya 3 orang warga desa sindang asih kecamatan Cikatomas, 3 orang desa Neglasari Kecamatan Pancatengah Kabupaten Tasikmalaya. Begitu juga Di kabupaten Garut pemanggilan sampai sekarang masih terjadi. Tahun 2006 terjadi pembarakaran rumah, pengrusakan lahan dan pemenggalan hewan piaraan oleh masa SP-BUN Buni Sari rendra bahkan terjadi penembakan pada anggota masyarakat .

Tidak jauh berbeda respon penyelengara Negara sampai hari ini tak memberikan kelakukan yang baik bagi para korban, bahkan BPN yang menjadi ujung tombak dalam menyelesaiakn sengketa agrarian di berangus oleh pihak yang hendak mempertahankan perampasan dan perampokan lahan-lahan areal rakyat yang berubah menjadi klaim perkebunan dan kehutanan. Dan persoalan konflim agrarian tak hanya semata soal perampokan areal oleh kelakuan BUMN/BUMS tapi di pasilitasi oleh kebijakan yang memberangus hak-hak rakyat selain tidak adanya komitmen politik pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar