PHBM, Anarkisme, dan Wanalaga Lodaya Menuai Bencana
Lukman Ibang
Masih basah di ingatan warga Kecamatan Pasirwangi, Sukaresmi, Cisurupan, Wanaraja dan Cibalong, 11 Agustus 2003 dimulainya Oprasi Wanalaga Lodaya yang di gelar Departemen Kehutanan yang melibatkan berbagai Instansi, yakni Polda jabar, Polres Cianjur, Polres Garut, BKSDA jabar I, dan perum Perhutani Unit III jawa barat. Menurut kapolda jabar, Irjen Drs Dadang Garnida “oprasi ini untuk menyelamatkan dari tindakan pencurian kayu yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab bahkan oprasi tersebut tidak hanya sekedar razia, tapi sekalian mensosialisasikan undang-undang kehutanan dan mengusahakan pekerjaan alternatif (metro 22/8 –2003)
Yang lebih ironis, sampai sekarang perkembangan yang di klaim para oknum penjarahan selamat tak ada yang mendekam di penjara. Tetapi rakyat yang puluhan tahun hidupnya di areal itu harus masuk terali besi. Korban dari oprasi itu di implementasikan, tak kurang sekitar 1000 petani. Tak tanggung-tanggung di Kecamatan Cibalong rumah-rumah warga pun di bakar selain tanamannyapun di tebang. Sedikitnya 20 ribu rakyat yang hidupnya dari wilayah sekitar secara turun temurun jadi kehilangan sumber nafkahnya.
Sementara di sisi lain ngomong soal sosialisasi UU kehutanan No 41 tahun 1999, pertayaan yang sangat sederhana mengakapa tidak sekalian menjelaskan kepada rakyat tentang Mandat TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria, UUPA No 5 tahun 1960 dan Kepres No 34 tentang kebijakan Pertanahan, UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ? ini artinya persoalan tentang sosialisasi dan pelaksanaan Kebijakan lebih bernuansa politis, pesan-pesan yang membisikan , paketan bukan soal penegakan supremasi hukum. Ini terbaca sangat mudah bila setiap materi kebijakan itu melindungi, memenuhi, hak ekonomi, social, budaya, politik, dan sipil rakyat pasti di kubur (di peti-mati), namun bila lebih banyak menguntungkan unit-unit penyelengara negara gembar gembor seketika (hukum cerminan rekayasa social bukan cerminan keadilan). Dan bila nampak pintu-pintu dan ruang penolakan rakyat, model kekerasan menjadi jawaban penyelesaian.
Yang lebih prihatin, BPN, yang seharusnya masip menjelaskan kesejarahan pengelolaan hutan yang selama ini memiliki akar dengan pengelolaan masa kolonial, berbasis eksploitatif, KKN, Monopoli,top down, tidak membaca kontek social, kearpan local, sebagai lembaga yang terpenting menyelesaikan sengketa agraria membisu. Jauh mengkampanyekan TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria, kepres 34 tentang kebijakan pertanahan, UUPA No 5 tahun 1960, pentingnya pengadilan landreform, dll. Akibatnya Perhutani, dan institusi –institusi sektoral yang berkepentingan akan agraria (tanah, tambang, air dll) merebut dengan sekehendak hatinya dengan mengatasnamakan kebijakan yang kedudukannya lebih rendah dari TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, UUD 45 pasal 33 dan UUPA No 5 tahun 1960. padahal kampanye penyelengara negara selama ini, setiap kebijakan yang keluar tidak boleh bertentangan dengan kebijakan yang lebih atas. Namun cerita itu akhirnya tinggal suara yang tanpa makna. Bisa jadi penyelengara negeri ini sedang mengigau belum bangun dari tidurnya yang panjang.
Sampai sekarang yang tak bisa di pungkiri, hancurnya perekonomian rakyat akibat wanalaga lodaya. Kombes Pol. DRS. H.C. Tukimin, Direktur sapta polda jabar boleh bangga menyatakan berhasil atas oprasi tersebut sesuai dengan rencana yang ditetapkan baik oprasional maupun admnitrasi (PR, 9 –9 /2003)
Rakyat yang tinggal di Kecamatan Pairwangi, Sukaresmi, Cisurupan, Wanaraja dan Cibalong, di kawasan kelolanya menjadi penggangur. Tak ada yang menjadi buruh tani, apalagi petani akibantnya banyak yang pergi ke kota sebagai musafir, tak bisa lagi makan, kelaparan, anak-anak putus sekolah, menjadi kelompok urban yang tinggal di bawah jembatan, pinggir kali, tumpukan sampah, dll. Rakyat sudah tak bisa lagi meminjam ke warung yang terdekat akibat tida ada lagi jaminan. Padahal negara merdeka ini lahir untuk melindungi, menjaga dan menghormati rakyat yang puluhan tahun melawan kolonial. Tapi setelah merdeka, negeri ini milik kaum menengah yang menguasai alat-alat produksi bukan memastikan dan terpenuhi hak-hak dasar hidupnya warga.
Yang lebih ironis, sampai sekarang perkembangan yang di klaim para oknum penjarahan selamat tak ada yang mendekam di penjara. Tetapi rakyat yang puluhan tahun hidupnya di areal itu harus masuk terali besi. Korban dari oprasi itu di implementasikan, tak kurang sekitar 1000 petani. Tak tanggung-tanggung di Kecamatan Cibalong rumah-rumah warga pun di bakar selain tanamannyapun di tebang. Sedikitnya 20 ribu rakyat yang hidupnya dari wilayah sekitar secara turun temurun jadi kehilangan sumber nafkahnya.
Sementara di sisi lain ngomong soal sosialisasi UU kehutanan No 41 tahun 1999, pertayaan yang sangat sederhana mengakapa tidak sekalian menjelaskan kepada rakyat tentang Mandat TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria, UUPA No 5 tahun 1960 dan Kepres No 34 tentang kebijakan Pertanahan, UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ? ini artinya persoalan tentang sosialisasi dan pelaksanaan Kebijakan lebih bernuansa politis, pesan-pesan yang membisikan , paketan bukan soal penegakan supremasi hukum. Ini terbaca sangat mudah bila setiap materi kebijakan itu melindungi, memenuhi, hak ekonomi, social, budaya, politik, dan sipil rakyat pasti di kubur (di peti-mati), namun bila lebih banyak menguntungkan unit-unit penyelengara negara gembar gembor seketika (hukum cerminan rekayasa social bukan cerminan keadilan). Dan bila nampak pintu-pintu dan ruang penolakan rakyat, model kekerasan menjadi jawaban penyelesaian.
Yang lebih prihatin, BPN, yang seharusnya masip menjelaskan kesejarahan pengelolaan hutan yang selama ini memiliki akar dengan pengelolaan masa kolonial, berbasis eksploitatif, KKN, Monopoli,top down, tidak membaca kontek social, kearpan local, sebagai lembaga yang terpenting menyelesaikan sengketa agraria membisu. Jauh mengkampanyekan TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria, kepres 34 tentang kebijakan pertanahan, UUPA No 5 tahun 1960, pentingnya pengadilan landreform, dll. Akibatnya Perhutani, dan institusi –institusi sektoral yang berkepentingan akan agraria (tanah, tambang, air dll) merebut dengan sekehendak hatinya dengan mengatasnamakan kebijakan yang kedudukannya lebih rendah dari TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, UUD 45 pasal 33 dan UUPA No 5 tahun 1960. padahal kampanye penyelengara negara selama ini, setiap kebijakan yang keluar tidak boleh bertentangan dengan kebijakan yang lebih atas. Namun cerita itu akhirnya tinggal suara yang tanpa makna. Bisa jadi penyelengara negeri ini sedang mengigau belum bangun dari tidurnya yang panjang.
Sampai sekarang yang tak bisa di pungkiri, hancurnya perekonomian rakyat akibat wanalaga lodaya. Kombes Pol. DRS. H.C. Tukimin, Direktur sapta polda jabar boleh bangga menyatakan berhasil atas oprasi tersebut sesuai dengan rencana yang ditetapkan baik oprasional maupun admnitrasi (PR, 9 –9 /2003)
Rakyat yang tinggal di Kecamatan Pairwangi, Sukaresmi, Cisurupan, Wanaraja dan Cibalong, di kawasan kelolanya menjadi penggangur. Tak ada yang menjadi buruh tani, apalagi petani akibantnya banyak yang pergi ke kota sebagai musafir, tak bisa lagi makan, kelaparan, anak-anak putus sekolah, menjadi kelompok urban yang tinggal di bawah jembatan, pinggir kali, tumpukan sampah, dll. Rakyat sudah tak bisa lagi meminjam ke warung yang terdekat akibat tida ada lagi jaminan. Padahal negara merdeka ini lahir untuk melindungi, menjaga dan menghormati rakyat yang puluhan tahun melawan kolonial. Tapi setelah merdeka, negeri ini milik kaum menengah yang menguasai alat-alat produksi bukan memastikan dan terpenuhi hak-hak dasar hidupnya warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar