PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT Bencana (disaster) merupakan praktek sosial yang peting dilakukan. Beberapa hal mungkin terjadi dalam bencana. Pertama,bencana terjadi apabila komunitas /penyelenggra negara mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman resiko yang mungkin terjadi padanya. Kedua,Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan dan atau penyelenggra negara memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Dilihat dari waktu terjadinya, ancaman dapat muncul secara tiba-tiba dan tidak terduga, ancaman berangsur, terduga dan dapat dicermati,serta ancaman musiman yang datang setiap perioda waktu tertentu . Ancaman yang muncul secara tiba-tiba akan menimbulkan bencana tiba-tiba (misal tumpahan limbah, kebocoran nuklir dll); ancaman yang berangsur dan musiman akan menyebabkan bencana yang berangsur (banjir kiriman, kekeringan, degradasi lingkungan akibat polusi, pestisida dan pupuk kimia) dan musiman (gerakan tanah/tanah longsor, kekeringan, banjir pasang surut, banjir hujan) untuk itu, upaya perbaikan senantiasa merupakan pilihan yang tak dapat tergadaikan.
Latar Belakang
Posisi geograpis indonesia telah menempatkan tanah air kita sebagai salah satu wilayah yang rawan bencana alam. Indonesia merupakan negara kepulauan tempat dimana tiga lempengan besar dunia betremu, yaitu Lempeng Indo –Asustralia,Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasipik. Akibatnya interaksi antar Lempeng menempatkan wilayah Indonesia rawan bencana alam.untuk itu, keterampilan dan pengetahuan akan penanganan bencana, dan pengetahuan-pengetahuan lainnnya yang memiliki relasi dengan posisi geograpis indonesia sangat penting. Untuk itu,sulit dipungkiri penanganan bencana tentu ujian yang berat bagi pemerintah.Berkali-kali bencana datang,Masyarakat selalu yang merasakan dampak paling besar ketika terjadi bencana. Bahkan lebih dari 2 dekade terakhir ini; terbukti bahwa pola pendekatan manajemen bencana “konvensional” gagal untuk menjawab kebutuhan spesifik komunitas-komunitas yang rentan (korban)terhadap bencana; kondisi rentan komunitas akan diperparah ketika pendekatan seperti ini seringkali tidak menghiraukan kapasitas dan sumber daya lokal.Begitujuga kurang cukupnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki elemen-elemen yang penting dalam penaangulangan bencana semakin memperparah situasi psikologi para korban bencana. Apalagi bila pandangan kenvensional menjadi budaya pilihan tindakan dalam menangani bencana, maka semakin memperparah para korban, disisi lain akan semakin menipisnya kepercayaan para korban pada penyelenggra negara.
Pandangan Konvensional
Tentu sulit dipungkiri bila fotret fenomenal ini disebabkan karena beberapa hal seperti pendekatan konvensional melihat bencana sebagai sebuah kejadian yang terisolasi; yang terjadi begitu saja sebagai bentuk dari penyimpangan dari praktek pembangunan. Keterkaitan bencana itu sendiri terhadap kondisi dan konstruksi sosial di masyarakat tak dilihat sebagai faktor penting dari bencana.
Pandangan model ini juga merasa bahwa solusi dari sebuah bencana - atau pilihan cara mencegah bencana - adalah dengan sedapat mungkin menyiapkan teknologi yang bisa menghindari atau tahan terhadap kejadian bencana.
Selain itu; dominasi “pusat” – itu bisa berarti pemerintah pusat dalam pengambilan keputusan terhadap strategi penanganan bencana cenderung diturunkan terpusat dari pengambil keputusan di tingkat atas; terus di turunkan ke masyarakat yang terkena bencana. From “top” to “down”. Masyarakat yang mengalami secara langsung bencana diperlakukan sebagai “korban” yang butuh ditolong dan pasif.
Intervensi selalu dilakukan setelah bencana terjadi. Tujuan melakukan intervensi adalah melakukan semaksimal mungkin agar masyarakat yang terkena dampak bisa kembali “normal” seperti masa sebelum bencana. Dengan berjalan nya waktu; model pendekatan “top-down” ini perlahan disadari ternyata memperbesar tingkat kerentanan komunitas. Dan tentu perubahan pandangan itu harus dilakukan bila hendak menempatkan para korban sebagai subjek. Untuk itu dengan adanya model penanganan bencana berbasis komunitas kemudian muncul sebagai alternatif pendekatan baru yang dipelopori oleh lembaga swadaya masyarakat,dan masyarakat internasional yang peduli terhadap bencana yang terjadi perlu dikenali dan dipahami. Sehingga kesiapan pengetahuan dan keterampilan dalam menangani penanganan bencana dimiliki oleh semua elemen. Dan berbagai rapot merah dapat di perbaiki sebagai bentuk perbaikan pelayanan kewajiban.
Model Alternatif
Kegelisahan untuk menemukan sebuah konsep yang lebih baik untuk menjawab kebutuhan komunitas yang terkena bencana, didasari oleh beberapa hal. Tentu, selain untuk menjawab kelemahan dari model konvensional; juga karena disadari model konvensional meniadakan akses dan kontrol – terutama oleh komunitas yang menerima dampak bencana – terhadap sistim pengurangan resiko yg dibangun; padahal tidak ada yang lebih memahami masalah bencana ditingkat komunitas selain komunitas yang mengalami bencana itu sendiri.
Dengan mengembalikan kontrol terhadap pengurangan resiko dan penanggulangan bencana kepada komunitas; maka skenario menghadapi kondisi bencana bisa secara maksimal beradaptasi dengan kondisi komunitas, karena komunitas tentu memiliki kesempatan untuk mengetahui tantangan, ancaman, hambatan dan kekuatan lokal yang dimiliki.
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM)
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM)
Konsep Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat atau PBBM (Community Based Disaster Risk Management/CBDRM) dikembangkan untuk menjawab kebutuhan untuk mengembalikan akses dan kontrol masyarakat yang terkena bencana; sebagai jalan utama untuk mengurangi hilangnya jiwa manusia karena bencana.
Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia (Asian Disaster Preparedness Center / ADPC) kemudian mendefinisikan PBBM sebagai suatu proses pengelolaan resiko bencana dimana masyarakat yang menghadapi resiko secara aktif terlibat dalam identifikasi, analisis, tindakan, pemantauan, dan evaluasi resiko bencana untuk mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan kapasitas mereka.
Ini berarti bahwa; masyarakat merupakan pusat pengambilan keputusan dan pelaksanaan aktivitas pengelolaan resiko bencana. Keterlibatan mereka yang paling rentan adalah sangat penting dan dukungan dari yang paling tidak rentan adalah perlu. Dalam PBBM, pemerintah setempat dan tingkat nasional terlibat dan mendukung. Terdapat beberapa definisi dengan prinsip yang sama tentang PBBM, namun semuanya memuat aspek utama yaitu keterlibatan aktif komunitas beresiko dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, sebagai ciri yang paling berbeda dengan model pendekatan yang lain.
Tidak ada yang lebih memahami kondisi bencana selain komunitas dimana bencana itu terjadi. Konsep PBBM difokuskan untuk semaksimal mungkin mengurangi resiko bencana dengan cara mengurangi kerentanan komunitas terhadap bencana dan meningkatkan kapasitas komunitas (termasuk didalamnya individu dan rumah tangga dalam komunitas) dalam menghadapi dampak merusak dari bencana.
Partisipasi Maksimal
Partisipasi Maksimal
Letak kekuatan PBBM sudah tentu berada pada ruang yang cukup luas bagi seluruh komponen yang ada dalam komunitas untuk turut berpartisipasi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada komunitas.
Yang paling mencolok berbeda dengan pendekatan penanganan bencana konvensional adalah; komunitas dan kelompok paling rentan adalah aktor utama dan memegang pernanan kunci dalam perencanaan dan proses seterusnya. Masyarakat (komunitas) tidak lagi sekedar sebagai “korban” yang perlu dibantu.
PBBM pun tidak serta merta meniadakan keterlibatan pihak luar komunitas. Sebagai sebuah fungsi kerja yang terkait dan melibatkan banyak sektor, sudah tentu keterlibatan pihak luar komunitas; lembaga pemerintah, pemerintah pusat, dan juga termasuk di dalamnya LSM, dalam integrasi perencanaan aksi sebagai hasil dari PBBM. Pihak luar (LSM, misalnya) berperan mendukung dan mengambil peran fasilitasi seperti membantu melakukan analisis situasi, mengukur tingkat perencanaan dan implementasi. Model strategi pendekatan “top down” hanya diijinkan dalam penegakan aturan dan hukum saja.
Dengan terlibat semaksimal mungkin, komponen dalam komunitas (perempuan, laki-laki dan kelompok/individu yang paling rentan), maka diagnosa akar masalah bencana ditentukan secara tepat. Pilihan strategi penanggulangan dan pemulihan akibat bencana bisa dilakukan secara tepat. Eksistensi kelembagaan di komunitas yang dimandatkan untuk penanganan bencana mengandaikan respon yang cepat/tepat pada masa darurat. Metode PBBM memang disengaja agar melibatkan sebanyak mungkin anggota dan unsur komunitas, sehingga pada akhirnya PBBM itu sendiri meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap aktifitas PBBM yang direncanakan; yang sudah tentu berbanding lurus dengan keberlanjutan dan partisipasi masyarakat ketika rencana-rencana tersebut dijalankan.
Mengurangi Resiko, Meningkatkan Kapasitas
Mengurangi Resiko, Meningkatkan Kapasitas
Target utama dari pola PBBM adalah melakukan pengurangan semaksimal mungkin kerentanan masyarakat terhadap bencana, mengelola ancaman yang ada, peningkatan kapasitas masyarakat dalam memonitor, adaptasi, respon, mempersiapkan kondisi sebelum bencana, melakukan peringatan dini, dan keterlibatan penuh masyarakat (atau keterwakilannya) dalam seluruh aspek perencanaan bencana.
Model PBBM juga meletakan komunitas sebagai sumber daya utama dari pengetahuan dan keahlian; bahkan semaksimal mungkin untuk mengelola pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang sudah terbukti turun-temurun. PBBM; karena diletakan pada dasar pengalaman komunitas terhadap bencana, secara langsung mengaitkan unsur ekologi kedalam model pengurangan resiko dan penanganan bencana.
Kejadian bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 lalu hingga terjadinya gempa 2009 di Jawa Barat (Tasikmalaya), seperti mengingatkan kita akan perlunya sebuah konsep kesiapsiagaan yang dapat menyentuh masyarakat paling rentan di daerah beresiko. Karena bencana masih akan ada.
Tanggap darurat
Tanggap darurat
Penyelenggara negra telah menetapkan bahwa tanggap darurat selama 14 hari sehingga tentu penetapan pilihan itu dengan beberapa indikator yang harus dicapai. Sementara menurut UU No 24 tentang Penanggulangan bencana Tahun 2007 BAB 1 pasal 1 ayat 10 yang dimaksud dengan tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,pemenuhan kebutuhan dasar,perlindungan, pengurusan pengungsi,penyelamatan serta,pemulihan prasarana dan sarana. Tentu bila kita hendak bercermin dari amanat kebijakan itu, penting kiranya menempatkan pendekatan manajemen yang integral berbasis komunitas, maka untuk mencapai kesempurnaan dari mandat itu perlu kiranya kita membagi pengalaman dan pengetahuan dalam penanganan bencana.Sehingga upaya perbaikan senantiasa menjadi tindakan kolektif yang diaktualisasikan oleh semua unsur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar