Selasa, 03 Agustus 2010

Aksi dan Refleksi

Aksi dan Refleksi
Bagi Para Pelayan Kemanusiaan
Oleh : Ibang Lukmanurdin

Sungguh sangat membahagiakan dan membanggakan untuk dapat ikut terlibat dalam silaturahmi wacana ini. Karena pada dasarnya silaturahmi ini merupakan pertemuan kolektif yang selain merefleksikan kedalaman pemahaman dan pengetahuan yang luar biasa dari para penganjur lahir dan tumbuhnya kesadran masa yang matang, juga menyajikan latar belakang permasalahan secara baik. Selain itu silaturahmi ini juga mencerminkan komitmen, pemihakan dan kesungguhan bagi para pemerhati perubahan untuk menciptakan proses transformasi sosial, yakni penciptaan hubungan yang secara fundamental baru dan lebih adil melalui berbagai proses pelayanan lintas sektoral . Komitmen dan pemihakan serta pemberdayaan untuk memakmurkan rakyat melalui proses pendidikan politik penyadaran yang secara mendasar adil, sesungguhnya bukanlah hanya visi dan cita-cita generasi saat ini saja. Kenyataan cita-cita untuk memakmurkan rakyat telah mendorong ditetapkannya visi negara dalam konstitusi bangsa telah muncul sejak zaman sebelum kemerdekaan. Sehingga pada saat Republik Indonesia baru berdiri, cita-cita tersebut dirumuskan secara tegas oleh para pendiri republik ini dengan gagasan bahwa sumber-sumber agraria, yakni tanah atau bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Begitupun dilahirnya lembaga-lembaga sentral kekuasaan dan partai hanya untuk memastikan agar rakyat tertindas hidup sebagai manusia dengan seperangkat harkat dan martabatnya.Tak ada alas an lain selain hanya hendak menempatkan manusia sebagai fitrohnya manusia. Lepas dari kemiskinan, penindasan, eksploitasi, intimidasi dan objek politisasi.
Tentu makanya mengapa asumsi dasar yang dipergunakan sebagai landasan ideologi negara pada waktu itu adalah bahwa negara merupakan pembela kepentingan dan kedaulatan rakyat. Komitmen dan gagasan untuk mensejahterakan rakyat tersebut ditujukan dengan ditetapkannya undang-undang yang secara khusus memberikan kemungkinan legitimasi operasional untuk mewujudkan cita-cita mensejahterakan rakyat tersebut.
Namun ironisnya munculnya gagasan kesejahtreaan seiring dengan konstitusi itu hingga hari ini tak ada tanda hendak diurus dengan serius. Negara beserta sentral kekuasaan lainnya terus sibuk mengurus dirinya sendiri. Mereka memenuhi haknya sendiri dan mencukupinya, maka tak heran bila di sector agrarian untuk membicarakan pembaharuan agraria dan land reform pada saat ini sangat asing. Padahal agenda itu telah dirancang seiring dengan upacara kemerdekaan tahun 1945. selanjutnya untuk membuktikan keberpihakan para penyeru kemerdekaan dirancang suatu kebijakan yang spesifik mengatur, menata pengelolaan agrarian hingga akhirnya membutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk menemukan bentuk mekanisme tentang bagaimana memelihara, mengelola, memperuntukkan sumber-sumber alam dan agraria tersebut bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Atas dasar itulah suatu kebijakan ditempuh yang yang akhirnya menghasilkan suatu kebijakan agraria yang dituangkan dalam “Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” yang selanjutnya terkenal dengan UUPA 1960 tersebut. Undang-undang inilah yang selanjutnya untuk pertama kalinya melahirkan Undang-Undang Land Reform Indonesia yang masih berlaku hingga saat ini.
Namun ironis mandate konstitusi itu 30 tahun kemudian, yakni suatu era yang dikenal sebagai era globalisasi ini selain dianggap mengejutkan juga dianggap sangat kontroversial. Persoalannya mengapa cita-cita yang dulunya menjadi harapan sebagian besar atau mayoritas masyarakat Indonesia khususnya para petani miskin tersebut, kini menjadi konsep asing sehingga perlu dikenalkan kembali. Reformasi agraria yang intinya land reform yang dulunya pernah menjadi diskursus dominan dalam pembahasan mengenai perubahan sosial bangsa Indonesia sejak kemerdekaan hingga tahun enampuluhan, kini bahkan menjadi ancaman sehingga tabu untuk dibicarakan. Gagasan reformasi agraria yang lebih ditujukan ntuk memungkinkan bagi kesejahteraan rakyat kecil, tidak saja dianggap aneh oleh sementara orang, namun juga dianggap tidak relevan dengan ‘kebenaran global’ serta arus utama yang dominan tentang perubahan sosial dewasa ini. Karena agenda umumnya orang saat ini adalah lebih pada bagaimana menciptakan kebijakan tanah yang lebih memudahkan untuk investasi perusahaan besar (fakih,2004).

Disituasi yang mencekam gelap gulita bagi kaum tani miskin, buruh, miskin kota, nelayan akibat biaya kelakukan penyelenggara Negara, PMK,HKBP Jakarta menyakini untuk terus melakukan berbagai kegiatan pelayanan melalui penguatan dan penumbuhan organisasi rakyat lintas sektoral. Tentu kerja-kerja ini sangat melelahkan, membosankan dan beresiko. Namun dengan semangat spiritualitas dan penghayatan teologi kemanusiaan yang tinggi dan ikhlas berbagai pencitraan, penuduhan dan pengkerdilan terus disadarkan dan dilawan. Padahal dimasa orang mulai berfikir kapitalis sangat sedikit orang atau lembaga dan organisasi yang masih memiliki nurani untuk menghadirkan dan berbagi kesaksian hidup denga kaum tertindas. Karena gagasan hidup dengan kesaksian kaum tertindas adalah suatu gagasan yang sama sekali tidak ada di dalam agenda diskursus umum kaum kapitalis tentang bagaimana mengentaskan kemiskinan. Ini berarti gagasan memanusiakan kaum tertindas merupakan versi kecil (subversion) yang bertentangan dengan gagasan umumnya tentang pengentasan kemiskinan melalui pendekatan ‘pertumbuhan’ dan upaya membuat ‘trickle down’ melalui Inpres Desa Tertinggal, yang menjadi versi dominan wacana pembangunan saat ini. Kedua, gagasan ini juga akan berhadapan dengan arus utama ekonomi dunia yang lebih dimenangkan oleh gagasan ekonomi liberal yang kapitalistik dalam era yang dikenal dengan globalisasi. Orang umumnya saat ini sedang membicarakan pasar bebas, dan tidak tertarik untuk membahas mengenai akar penyebab kemiskinan, akan tetapi lebih tertarik membahas mengenai program nasional untuk menyongsong liberalisasi investasi.
Padahal, para pejuang kemanusiaan sangat percaya bahwa kemiskinan yang diderita oleh jutaan warga bangsa Indonesia adalah suatu kekeliruan yang disebabkan oleh ketidak mampuan penyelenggara Negara untuk menghentikan idiologi kapitalis. Dengan model ekonomi itu kemungkinan terjadinya krisis kemanusiaan dan krisis agraria akan memanifestasi dalam bentuk krisis sosial politik yang lebih luas dan besar. Dalam studi sosial yang disajikan dalam berbagai pertemuan , menunjukkan bahwa krisis multidimensi yang tengah terjadi memerlukan penanganan secara komprehensif dan mendasar. Kasus-kasus tersebut memberikan tanda bahwa menyelesaikan persoalan –persoalan social seperti agraria secara mendasar tidak bisa ditunda lagi. Namun kenyataannya optimisme dan komitmen ini sedang berhadapan dengan ideologi dan keyakinan ‘mainstream’ yang dianut sebagian besar rakyat, kaum intelektual dan birokrat yang dibangun oleh hegemoni informasi penganut paham modernisasi dan globalisasi (Fakih, 2004).
Menurut Mansur fakih (2005) Ada beberapa tantangan bagi para pelayan kaum tertindas, seperti di sector untuk melaksanakan reformasi agraria pada era globalisasi saat ini.
Pertama, gagasan reformasi agraria dengan prasyarat land reform yang lebih memihak pada kepentingan untuk mensejahterakan rakyat pada dasarnya bertentangan dengan agenda globalisasi yang lebih mengabdi pada kepentingan perusahaan transnasional raksasa (TNCs) dan pemilik modal raksasa, yang justru menjadi pendorong globalisasi. Kampanye besar-besaran terhadap gagasan globalisasi melalui media global sangat bertentangan dengan gagasan reformasi agraria, terutama gagasan land reform. Justru peperangan yang terbesar adalah perang informasi untuk melakukan dan mengkampanyekan land reform sekaligus mendekontruksi globalisasi. Apa yang dimaksud globalisasi pada dasarnya adalah suatu proses untuk menciptakan suatu sistem ekonomi dunia dengan bersandar pada liberalisasi perdagangan dunia, yang ditopang oleh pengembangan sistem finansial global serta berkembangnya produksi transnasional berlandaskan pada ketentuan dan homogenisasi nilai. Yang dimaksud homogenisasi nilai di sini adalah nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme. Globalisasi sebagai suatu proses mendapat respon luar biasa dari berbagai pemerintah dunia ketiga. Berbagai bentuk globalisasi ditandai dengan dorongan merajalelanya Perusahaan Transnasional (TNCs), reformasi restrukturisasi ekonomi, dikembangkannya perdagangan intra-regional serta pusat-pusat pertumbuhan.
Umumnya, masyarakat merespon globalisasi tanpa kesadaran kritis dan kecemasan. Hal ini karena berhasilnya media massa yang mewakili kepentingan globalisasi untuk menyediakan informasi dan analisis yang mendukung gagasan globalisasi. Tidaklah mengherankan jika bahkan banyak kalangan masyarakat justru menyambutnya dengan antusiasme, seolah-oleh globalisme memberikan harapan dan kesempatan baru. Umumnya masyarakat menyongsongnya lebih dengan menyiapkan diri, tanpa penolakan terhadap hakekat globalisasi sebagai jalan yang seharusnya, hanya bagaimana menyiapkan diri untuk menghadapinya. Bahkan sebagian besar masyarakat tanpa menyadari keberadaannya.
Integrasi sistem ekonomi nasional dengan sistem ekonomi dunia yang berdasarkan perdagangan liberal pada dasarnya adalah cita-cita Dunia Barat lama sejak zaman Kolonialisme. Setelah kolonialisme berlalu dengan ditandai berakhirnya Perang Dunia II, suatu ketentuan dan kesepakatan dagang baru ditetapkan melalui suatu pertemuan yang terkenal dengan pertemuan Bretton Woods, yakni didirikannya Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan disahkannya the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Gagasannya adalah lebih dimaksudkan sebagai jalan pelicin untuk kepentingan Perusahaan Transnasional (TCNs). Perubahan dunia, yakni terbukanya pasar karena globalisasi produksi perusahaan transnasional, runtuhnya blok sosialis, perkembangan telekomunikasi dan bioteknologi, krisis hutang dan keberhasilan negara dominan mengkampanyekan model pembangunan pertumbuhan secara global ikut mempengaruhi lajunya gagasan liberal. Terbentuknya World Trade Organization (WTO), setelah melalui proses perjanjian yang sulit yang dikenal dengan ‘Uruguay Round’ pada dasarnya merupakan saat berakhirnya kesepakatan mengenai perdagangan dan tarif yang sudah berlaku sejak tahun 1949 yang dikenal dengan “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO merupakan kesepakatan aturan baru dalam hal perdagangan dan investasi yang menganut sistem bebas.
Mekanisme dan proses globalisasi yang pada dasarnya diarahkan dan peran utamanya dimainkan oleh Perusahaan Transnasional, lembaga-lembaga finansial internasional seperti Bank Dunia dan IMF, serta Institusi Liberalisasi Perdagangan seperti WTO, NAFTA ataupun APEC akan mendesakkan kesepakatan internasional yang menghasilkan reformasi kebijakan suatu negara dalam berbagai bidang seperti perpajakan, ketenagakerjaan, perdagangan, hutang serta investasi. Liberalisasi investasi inilah yang pada pelaksanaannya akan mendorong kebijakan negara yang memudahkan bagi kepentingan investasi untuk mengeksploitasi sumber-sumber agraria. Desakan inilah yang kemudian akan berhadapan dengan mereka yang menghendaki sebaliknya, yakni tersedianya akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria. Sehingga kebijakan agraria harus direformasi untuk memudahkan investasi dan globalisasi. Salah satu yang diadvokasikan oleh penganut globalisasi adalah “to reduce entitlement of resources and legitimacy”. Dengan begitu, sekali lagi globalisasi melalui rezim WTO yang tengah mendorong untuk dilakukannya reformasi kebijakan di negara-negara dunia ketiga untuk memberi kemudahan bagi investor, khusus Perusahaan Transnasional, dalam mengeksploitasi sumberdaya agraria. Dengan pendekatan seperti itu cita-cita bahwa sumber-sumber agraria harus dinikmati sebanyak-banyaknya oleh rakyat akan disingkirkan oleh ideologi dominan globalisasi.
Tantangan kedua bagi gagasan land reform adalah karena ia juga bertabrakan dengan “gagasan modernisasi dan pembangunan” yang dewasa ini memenangkan wacana mengenai persoalan kemiskinan, yang dalam bentuk nyatanya bernama “Revolusi Hijau”. Kebijakan pembangunan pertanian ini sangat membuat frustasi bagi mereka yang ingin memahami dan memerangi proses pemiskinan melalui solusi yang secara struktural lebih mendasar. Masalah kemiskinan di pedesaan dan keamanan pangan oleh kaum modernis direspon dengan pendekatan prakstis melalui proyek sempit pembangunan pedesaan, tanpa kaitan analisis politik ekonomi antara terbelakangnya suatu desa dan kaitannya dengan sistem politik pada tingkat yang lebih makro, yakni tingkat nasional maupun global. Padahal kalau dilihat lebih kritis, apakah Revolusi Hijau merupakan jalan keluar, atau justru sebagai bagian dari masalah. Karena ternyata Revolusi Hijau sebagai salah satu bentuk implementasi dari model pembangunan pertanian memiliki kaitan yang erat dengan marginalisasi terhadap petani kecil. Dengan kata lain Revolusi Hijau yang merupakan proses yang menciptakan ketergantungan dan keterbelakangan ekonomi, teknologi, budaya, pengetahuan, gender maupun politik secara sistemik berkaitan dengan pemiskinan petani.
Menurut fakih (2004) sesungguhnya Revolusi Hijau bukan sekedar program teknik pertanian belaka, melainkan suatu strategi perubahan dan penyingkiran kebudayaan pertanian lokal. Selama empat puluh abad pengetahuan masyarakat dalam bertani untuk pertama kalinya menghadapi penggusuran. Untuk pertama kali dalam sejarah manusia, suatu model pertanian yang dipelopori oleh pengusaha multinasional, melakukan homogenisasi keanekaragaman pengetahuan pertanian manusia, direduksi menjadi satu pola bentuk pertanian. Program yang didukung oleh 13 lembaga penelitian raksasa dikelola oleh CGIAR (the Consultative Group for International Agricultural Research) tersebut mampu merubah kebudayaan pertanian dunia. Akibatnya, petani yang telah selama 5000 tahun (lima puluh abad) memproduksi, menseleksi, menyimpan dan menanam bibit mereka telah tergusur. Bibit tidak saja menjadi komoditi komersial tetapi juga alat kontrol (Morgan, D. 1979). Jika ditinjau dari aspek politik ekonomi, Revolusi Hijau yang dilakukan melalui “komando subsidi” memang berhasil melipatgandakan hasil padi dibandingkan hasil pertanian Jawa tahun 1960-an. Secara kuantitatif program ini berhasil mengantarkan status Indonesia dari pengimpor terbesar beras dan tahun 1985 menjadi mandiri. Namun jika dilihat secara kualitatif terdapat persoalan yang mempunyai dampak terhadap meningkatnya kemiskinan, urbanisasi, serta meningkatnya represi politik terhadap kaum tani. Justru persoalan perampasan tanah terjadi secara proses dan sistemik yakni melalui pengenalan pertanian kapitalistik, dan hal ini telah mengakibatkan naiknya tingkat landlessness di Jawa. Ekstrapolasi data yang dilakukan oleh Hüsken (1987) dengan data sensus yang tersedia pada periode (1961, 1971 dan 1980) menunjukkan jika pada tahun 1963 sekitar 73% keluarga di pedesaan memiliki tanah lebih dari 0,1 hektar, maka pada tahun 1983 turun secara drastis hanya 57% keluarga yang memiliki sawah, suatu kenaikan jumlah petani tak berlahan yang agak dramatis yakni 16% dalam waktu 20 tahun.
Namun ironisnya Revolusi Hijau, dan agenda lainnya dewasa ini masih imani sebagai jalan terbaik, terutama jalan untuk menyelesaikan masalah sosial. Meskipun telah terjadi kritik luar biasa terhadap praktek-praktek itu. Revolusi Hijau, JPS,dan betuk-bentuk program lainnya yang dirancang penguasa. Dengan demikian, kerja-kerja PMK dan UCM masih panjang karena dituntut untuk terus menganalisis mengenai bagaimana proses pemiskinan di pedesaan terjadi secara struktural, yakni penjelasan yang memfokuskan pada bagaimana kaitan pemiskinan dengan sistem dan struktur yang dilegitimasi melalui kebijakan serta dilanggengkan oleh perilaku politik dan kepentingan golongan tertentu dalam masyarakat . Karena hanya dengan penjelasan seperti itu memungkinkan menciptakan strategi pemecahan yang menjurus pada diperlukannya penumbuhan gerakan sosial bisa dimengerti. Karena analisis strukturallah yang memungkinkan untuk memahami bagaimana proses pemiskinan didekati melalui aspek yang mendasar yakni politik kesadaran.
Asumsi di balik usaha untuk memahami dan menyelesaikan masalah melalui perspektif agraria, pada dasarnya berangkat dari keyakinan bahwa pokok permasalahan kemiskinan terletak pada bagaimana alat produksi, dan secara lebih luas sumber daya seperti tanah dikelola secara adil untuk kepentingan sebanyak-banyaknya rakyat baik pada level lokal maupun nasional. Karena memang bagi negara agraris, masalah tanah pada hakekatnya adalah masalah fundamental.
tulisan ini bukan sekedar bacaan ataupun renungan tentang apa itu PMK dan UCM dan mengapa kita memerlukannya. Namun ia merupakan dokumen YAPEMAS dan SPP, untuk kesaksian kaum yang tertindas. Dengan begitu tulisan ini merupakan refleksi yang dihimpun dari aksi lapangan untuk terus memperbaiki upaya pelayanan terhadap kaum tertindas.


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar