Selasa, 03 Agustus 2010

Agraria untuk Siapa ?

Agraria untuk Siapa ?
Ibang Lukmanurdin
Deputi Umum Serikat Petani Pasundan
Menetapkan bentuk-bentuk hak atas tanah yang tepat yang memberikan jaminan hak untuk menghuni pada pengguna tanah, khususnya penduduk asli, perempuan, masyarakat lokal, penduduk kota berpenghasilan rendah, dan kalangan miskin di desa-desa... (ayat7. 30 Lembar Kerja Hak-hak Asasi Manusia PBB (The British Council)

Tanah walaupun hanya berasal dari lima hurup, tetapi menepati peranan yang terpenting bagi manusia dimanapun mereka tinggal dan hidup. Dari tanah yang dikelola secara arif akan menghasilkan ketentraman, kesejahteraan dan keselamatan. Selain menghasilkan bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan juga menghasilkan organisasi yang menjaga kehidupan dan perkembangan peradaban manusia. Petani mengelola dan memproduktifkan tanah, baik memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya. Kepastian akan akses pada sumber-sumber agraria memastikan petani akan memperoleh kesejahteraan. Lepasnya akses petani atas tanah tentu akan mengakibatkan kemiskinan. Seperti kejadian yang melanda Desa Cipanjalu Kec. Cilengkrang Kab. Bandung, kelaparan melanda sedikitrnya 30 KK. Kelaparan yang menyebar itu sejak diturunkannya Surat Edaran Gubernur No 522/2003 tentang pelaranga penananam tumpang sari di wilayah hutan. Sejak saat itulah warga kampung palintang kehilangan mata pencaharian dan daya belinya (Pikiran Rakyat, /2006). Lebih jauh akibat dari surat itu, warga tak bisa lagi menggarap lahan, sehingga praktis tak punya maakanan dan pendapatan (Pikiran rakyat , 2006) Kelaparan yang melanda warga dicontohkan oleh Ny. Aminah (60) yang dikabarkan sudah dua hari tidak makan. Meskipun ia beserta warga lainnya untuk menyambung hidup mendapat jatah raskin (beras miskin).
Tentu bila di luar rumah para petani yang berupa panggung, tersedia aneka macam makanan untuk mengatassi kelaparan. Namun sulit untuk diperoleh akibat daya belinya rendah. Beda bila ia beserta keluarga lainnya kembali memperoleh akses pada tanah yang ada diwilayahnya. Pengelolaan atas lahan itu akan menghasilkan penghasilan yang akan meningkatkan daya beli. Meski jaminan kepastian akan pasar relatif pluktuatif namun warga memiliki mata pencaharian.
Dengan kejadian yang fenomenal dimana akibat dari pelarangan warga atas tanah mengakibatkan kelaparan, menjadi bukti bahwa di negara yang masih mengaku agraris, hak-hak petani malah diabaikan. Petani tak punya posisi tawar yang kuat. Meskipun di tahun 1970-an ada agenda revolusi hijau, namun menurut Usep Romli (2006) revolusi Hijau menguntungkan kaum aristokrat, Birokrat, pemodal kapitalis dan borjuasi internasional dan merugikan para petani, selain kerusakan lingkungan dan tradisi. Kesuburan tanah dikarbit aneka macam obat dan pupuk kimia. Penyebaran hama dihadasng berbagai jenis insektisida dan pestisida. Lebih jauh menurutnya, para pertani tidak dapat lagi memperoduksi benih sendiri, membuat anti hama sendiri. Benih dan obat-obatan lokal, tak mampu lagi menunjang intensifikasi. Semua harus membeli dari toko. Akibatnya petani menjadi pembeli. produk-produk rekayasa genetika karya negara-negara maju.




Agraria untuk siapa?

Hal yang sulit dipungkiri bahwa asumsi dasar yang dipergunakan sebagai landasan ideologi negara adalah bahwa negara merupakan pembela kepentingan dan kedaulatan rakyat. Berkenaan dengan keberadaan tanah yang sempat lepas dari kuasa rakyat sejak kolonialisasi, maka Komitmen dan gagasan untuk mensejahterakan rakyat tersebut ditujukan dengan ditetapkannya undang-undang yang secara khusus berusaha untuk mewujudkan cita-cita mensejahterakan rakyat tersebut. Perlu waktu 15 tahun untuk menemukan bentuk mekanisme tentang bagaimana memelihara, mengelola, memperuntukkan sumber-sumber alam dan agraria tersebut bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Atas dasar itulah suatu kebijakan ditempuh yang akhirnya menghasilkan suatu kebijakan agraria yang dituangkan dalam “Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” yang selanjutnya terkenal dengan UUPA 1960 tersebut. Undang-undang inilah yang selanjutnya untuk pertama kalinya melahirkan Undang-Undang Land Reform Indonesia yang masih berlaku hingga saat ini.

UUPA dimasa Orde Baru
Menurut Gunawan Wiradi (2005) dimasa orde baru, reformal agraria seketika diabaikan. Bahkan rezim yang berkuasa untuk memenuhi ambisi swasembada pangan lebih berfikir pragmatis dengan melakukan revolusi hijau. Padahal penguasaan lahan oleh keluarga petani justru menunjukan kecenderungan semakin menyempit. Jumlah rumah tangga petani gurem, atau yang memiliki lahan kirang dari 0,5 hektar, meningkat. Namun disisi lain industrialisasi yang menjadi beban buat petani dan pertanian menjadi agenda terpenting. Banyak di masa berkuasanya rezim orde baru lahan-lahan yang produktif berubah fungsi menjadi areal industrialisasi, lapangan golp, dll. Tidak hanya itu, UUPA No 5 tahun 1960 di publikasikan sebagai kebijakan yang memiliki sejarah politik yang suram. Adapun peleksanaan pembaharuan agraria mengalami jalan buntu, dengan opini yang dibangun oleh penguasa Orde baru bahwa UUPA No. 5 tahun 1960 merupakan hasil produksi PKI dan akhirnya UUPA itu di masukan ke dalam peti mati. Dan persoalan penjernihan dan pelurusan sejarah persoalan UUPA, baru bisa dilakukan oleh Orde Baru secara legal formal setelah keluarnya Tap MPR No. IV / 1978 dan pada tahun 1979 membuat pernyataan yang isinya mengukuhkan kembali UUPA 1960 dan kemudian di bebankan kepada Menteri dalam Negeri untuk melaksanakan catur tertib pertanahan yang akhirnya dibentuk suatu panitia nasional agraria yang diketuai oleh Menpen, Dirjen dari berbagai Departemen dan Dirjen Agraria sebagai Sekretaris dan satu-satunya anggota yang non pemerintah adalah KHTI. Namun pelaksanaan agenda pembaruan agraria yang merupakan mandat penting dari UUPA No 5 tahun 1960 tetap diabaikan.

Menurut Soetarto dan Shohibuddin (2005), ada enam dampak ganda dari pelaksanaan reformal agraria. Pertama, akan menciptakan pasar dan daya beli. Melalui pemertaan tanah, maka tercipta kekuatan daya beli yang artinya juga kekuatan pasar. Kedua, petani dengan aset tanah yan terjamin dan memadai akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan surplus untuk ditabung. Ketiga, dengan berkembangnya kegiatan ekonomi pedesaan berkat kinerja pertanian yang baik maka pajak pertanian juga dapat ditingkatkan.keempat, kemungkinan terjadinya diperensiasi yang meluasd dari pembagian kerja dipedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri. Kelima, tanpa reformal agarria tak akan terjadi investasi di dalam pertania oleh petani sendiri. Malah akan terjadi disinvestasi karena lama kelamaan petani akan kehilangan tanah dan kemiskinanoun meluas. Keenam, tanah dapat diproduksikan petani dan tak jadi objek spekulasi. Petani tetap memegang kedaulatan atas alat produksi dan mampu memanfaatkan untuk kepentingan produktif. Reformal agraria akan mengantar sistem ekonomi modern dan berkelanjutan. Tanpa reformal agraria tak akan tercipta demokrasi ekonomi dan politik di pedesaan.dan secara praktis berbagai penelitian lepas yang dilakukan oleh para pemerhati pembaharuan agraria menyakinkan bahwa ketika rakyat memiliki akses akan agraria, maka daya beli warganya akan berangsur membaik. Tak hanya itu, berbagai konflik yang merupakan akumulasi kekeliruan puluhan-tahun akan terus menjadi potret wajah agraria di Indonesia.
Dengan agenda reformal agraria, maka ”revitalisasi Pertanian” yang merupakan program pemerintah akan mengobati muka muram wajah agraria di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Gunawan Wiradi (2006) Revitasisasi pertanian tanpa reformal agraria hanya akan mengulangi kesalahan di masa lalu dan meninggalkan Bom waktu memunculkan konflik baru diseputar masalah agraria.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar