Klas-klas Sosial dan Perjuangan Klas
(D. Lorimer)
Apakah yang disebut klas sosial itu? Mengapa terdapat klas-klas dalam perkembangan masyarakat? Dimana kedudukan hubungan antar klas dalam kehidupan sosil kita? Jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan itu tadi akan membawa kita pada pemahaman terhadap hakekat fenomena sosial penting di jaman modern, seperti Negara, relasi-relasi politik dan kehidupan ideologis. Pendekatan klas yang mengasumsikan bahwa kehidupan masyarakat itu terbagi kedalam klas-klas merupakan salah satu prinsip metodologi Marxisme yang paling mendasar. Dalam rangka menerangkan arti penting dari prinsip ini, Lenin menulis: ‘ orang-orang selalu menjadi korban tipu muslihat atau sering menipu diri sendiri dalam kehidupan politik dan mereka akan terus bersikap demikian hingga akhirnya mereka berhasil mengetahui kepentigan-kepentingan klas dibalik tabir tentang moral, agama sosial politik, deklarasi-deklarasi dan janji-janji’.
I. Konsep tentang Klas Sosial
Klas sosial adalah pengelompokan-pengelompokan yang ada dalam masyarakat. Namum disamping pengelompokan klas, masyarakat juga terbagi dalam pengelompokan-pengelompokan lain. Pengelompokan-pengelompokan tersebut sebagai contoh, berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, pekerjaan dan sebagainya. Beberapa pembagian tersebut ada yang berdasar ada yang berdasar pada penggolongan fisik (usia, jenis kalamin, ras), selain itu ada juga penggolongan yang bersifat sosial (kebangsaan, pekerjaan). Perbedaan-perbedaan dari segi politik tidak dengan sendirinya menyebabkan perbedaan-perebedaan sosial, dan hanya di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu saja hal tersebut bisa dikaitkan dengan ketimpangan sosial. Dengan demikian, ketimpangan yang berbasis ras sesungguhnya lebih bersifat historis ketimbang alami. Pengelompokan-pengelompokan rasial sendiri merupakan katagori sosial dan bukannya katagori biologis. Pengelompokan berdasarkan ras muncul dari praktik sosial kapitalisme yang memuja-muja perbedaan fisik manusia (biasanya merupakan perbedaan warna kulit) yang menganggap bahwa unggul dan rendahnya nilai-nilai sosial itu berasal dari perbedaan-perbedaan fisik itu. Sebagai akibatnya kemudian muncul pembenaran adanya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamain, ia lebih disebabkan oleh fakta-fakta hsitoris ketimbang fakta-fakta alam. Pada tahap awal perkembangan sejarah, yakni selama sistem komunal primitif, kaum perempuan memainkan peranan memimpin di tengah masyarakat. Namun peran kepemimpinan itu lambat laun pudar seiring dengan terbagi-baginya masyarakat ke dalam unit-unit keluarga yang dipisahkan satu sama lain berdasarkan pemilikan pribadi.
Secara umum pembagian-pembagian klas tak ada hubungannya dengan perbedaan-perbedaan yang bersifat alamiah: pembagian klas itu bisa terjadi dalam jenis ras yang sama, kelompok-kelompok etnis yang sama dan menerobos garis usia dan jenis kelamin.
Sejumlah sosiologis borjuis mencoba mencari sebab-sebab pembagian klas tersebut melaui faktor politik, yakni dilihat dari adanya penundukan secara paksa sekelompok orang oleh kelompok orang lain. Tentu saja peralihan dari masyarakat tanpa klas menjadi masyarakat berklas terjadi dengan pemaksaan. Akan tetapi pemaksaan hanyalah faktor pemercepat, yang semakin mempertajam ketimpangan sosial; pemaksaan bukanlah yang menjadi sebab utamanya. Kekerasan bukanlah penjelas dari adanya asal-usul klas seperti perampasan yang merupakan sebab dari asal-usul dari pemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi. Perampasan bisa jadi berakibat pada berpindahnya pemilikan pribadi alat-alat produksi dari satu orang ke pemilikan pribadi oleh orang lain, namun perampasan itu sendiri tidaklah melahirkan (sebab awal) adanya pemilikan pribadi.
Terbaginya masyarakat ke dalam klas disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, sebagai contoh itu terjadi di Mesir Kuno atau Yunani Kuno, dimana tidak terjadi adanya penaklukan-penaklukan yang menjadi penyebabnya pembagian kerja dalam masyarakat, yang mengasumsikan adanya pemisahan para produsen yang terlibat didalam berbagai bentuk aktifitas produksi dan adanya pertukaran antar produksi yang dihasilkan oleh kerja mereka. Pertama-tama, terjadinya pemisahan antara kerja bertani dan kerja beternak, kemudain pekerjaan kerajinan tangan terpisah dari kerja pertanian dan akhirnya pekerjaan mental (seperti: manajemen, pencatatan, administrasi publik) dipisahkan dari kerja manual. Pembagian kerja secara sosial dan pertukaran antar surplus hasil produksi inilah yang menyebabkan terjadinya pemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi, hal inilah yang mengantikan pemilikan alat-alat produksi secara komunal dan memunculkan pengelompokan-pengelompokan sosial yang tidak setara dalam proses produksi sosial yaitu: Klas. Masyarakat kemudian terbagi menjadi golongan kaya dan miskin, penghisap dan terhisap dan ketimpanganpun merajalela, sebagaimana Engels mencatatnya: ‘Klas-klas dalam masyarakat selalu merupakan produk dari corak produksi dan pertukaran, yaitu produk dari kondisi ekonomi pada jamannya’.
Klas-klas terbentuk melalui dua cara. Pertama, melalui kemunculan perkampungan komunal pada masa neolitik yang terdapat di lembah sungai Tigris dan Eufrat di Irak Selatan dan di lembah sungai Nil, Mesir. Pengelompokan tersebut terdiri dari kaum spesialis yang mengembangkan dan memonopoli pengetahuan serta ketrampilan yang sangat dibutuhkan bagi pengorganisiran pembangunan proyek-proyek raksasa.
Pertanian di lembah-lembah sungai ini sangat bergantung pada proyek-proyek irigasi raksasa yang pekerjaannya membutuhkan kerja gotong royong yang melibatkan banyak perkampungan di lembah sungai. Di Mesir, air didapat dari banjir tahunan sungai Nil. Akan tetapi, untuk memperoleh air yang cukup diperlukan pembangunan dan perawatan sejumlah besar bendungan dan kalau akan menyalurkan air secara reguler untuk menyirami tanaman. Di wilayah Irak Selatan (Sumeria), banjir tahunan dari sungai Tigris dan Eufrat tidak mencukupi, dan jumlah air yang memadai untuk mengairi lahan pertanian hanya bisa didapat melalui pembangunan dan pemeliharaan jaringan kanal yang ekstensif. Pengerjaan proyek irigasi ini memerlukan banyak tenaga kerja dari seluruh penduduk dibanyak perkampungan, menguras pengetahuan dan pengorganisiran wewenang. Akan tetapi, begitu golongan organisator dan administrator mengelompokan diri dalam kelompok-kelompok solid yang tinggal di perkotaan (biasanya tinggal di sekitar kuil pemujaan), maka upetipun mulai ditarik dari penduduk kampung secara paksa, dengan demikian masyarakatpun terbelah menjadi klas petani-tukang yang terhisap dan klas pejabat-pemuka agama yang menghisap. Klas penghisap ini dikepalai oleh seorang raja-pemuka agama yang dengan dalih perwakilan dewa di bumi, kemudian menegakan pemilikan tanah secara pribadi. Hal tersebut kemudian menjadi pola umum yang timbul dari masyarakat ber-klas pada tahap awal. Pola ini lahir dari corak produksi Asiatic yang muncul di Sumeria dan Mesir Kuno sekitar 5.500 tahun yang lalu.
Cara lainnya dalam proses pembentukan klas-klas adalah melalui proses pembudakan anggota-anggota kelompok lain yang ditaklukan melalui pertempuran atau pembudakan terhadap anggota-anggota kelompok sendiri yang selama ini terjerat hutang. Hal ini merupakan pola umum munculnya masyarakat kepemilikan budak, yang pada awalnya tumbuh di Yunani Kuno dan kemudian di Romawi Kuno pada 1000 tahun sebelum Masehi.
Dalam rangka merangkumkan pengalaman perkembangan klas-klas untuk pertama kalinya Marxisme menyumbangkan penjelasan yang otentik ilmiah terhadap esensi klas, alasan-alasan kemunculan klas dan cara melenyapkannya. Karl marx menghubungkan keberadaan klas-klas tersebut dengan fase historis perkembangan produksi sosial, sementara para ilmuan sosial borjuis selalu mengabaikan hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa klas merupakan fenomena a-historis yang sudah beda dari dulu hingga sekarang (selalu ada yang kaya dan miskin ditengah-tengah masyarakat). Marx membuktikan bahwa masyarakat ber-klas berwatak sementara dan menunjukan sayrat-syarat lenyapnya masyarakat ber-klas digantikan dengan masyarakat tanpa klas. Marx menunjukan bahwa masyarakat Kapitalis adalah tahapan terakhir keberadaan klas-klas yang antagonistik dalam sejarah umat manusia. Marx menekankan bahwa jalan menuju masyarakat terbentang melalui perjuangan klas proletariat menentang segala bentuk penindasan untuk menegakan kekuasaannya di masyarakat. Dalam surat yang dilayangkan kepada Joseph Weydemeyer di New York, bulan Maret 1852, Marx menuliskan bahwa:
‘bukanlah saya yang menemukan keberadaan klas-kals dalam masyarakat modern dan pertentangan antar mereka. Jauh sebelum saya, para sejarawan borjuis telah membeberkan perkembangan historis perjuangan klas ini, begitu juga para ekonom borjuis telah menguraikan anatomi ekonomi keberadaan kals-klas tersebut. Yang saya lakukan hanyalah membuktikan: 1) bahwa keberadaan klas-klas hanya terkait dengan fase-fase historis perkembangan produksi, 2) bahwa perjuangan klas mau tak mau mangarah pada kediktaktoran proletariat, 3) bahwa kediktaktoran ini sendiri hanyalah merupakan bentuk transisi/peralihan menuju penghapusan seluruh klas dan menuju pembentukan masyarakat tanpa klas …’.
Lenin lebih lanjut mengembangkan teori-teori kalsnya Marx dan mendefinisikan klas sebagai: ‘segolongan besar masyarakat yang dibedakan dengan segolongan masyarakat lainnya melalui posisi mereka secara historis dalam sistem produksi sosial, oleh relasi mereka (yang dalam banyak kasus dilegitimasikan oleh hukum) dengan alat-alat produksi, oleh peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial, dan sebagai konsekuensinya, adalah dimensi hilangnya kemampuan untuk mendapatkan jatah kekayaan sosial dan cara untuk memperolehnya. Klas-klas adalah kelompok-kelompok masyarakat yang berkemampuan untuk merampas kerja kelompok lainnya berdasarkan perbedaan posisi di tengah sistem sosial ekonomi tertentu’.
Mari kita mengkaji definisi tersebut secara lebih terperinci. Menurut Lenin, klas adalah kelompok-kelompok masyarakat yang terutama dibedakan satu sama lain oleh posisi mereka yang secara historis ditentukan ditengah-tengah sistem produksi. Hal ini berarti bahwa setiap klas harus dikaitkan dengan corak produksi yang melahirkannya, dan untuk itu tiap-tiap corak produksi yang antagonistik melahirkan masyarakat dimana garis pembagian klasnya (masyarakatnya) bersifat klas (sebagai contoh pembagian klas yang muncul adalah antara bangsawan pemilik tanah dengan petani pembayar upeti, pemilik budak dengan budak, tuan feodal dengan kaum hamba, kapitalis dengan kaum proletar).
Didalam sebuah sistem produksi, klas-klas menempati posisi yang berbeda dan saling bertentangan satu sama lain. Posisi ini ditentukan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Relasi produksi ditengah masyarakat berkelas adalah relasi penghisapan, dominasi dan penundukan. Hal ini disebabkan klas yang berkuasa memonopoli alat-alat produksi yang menentukan, yaitu memiliki alat produksi yang paling penting. Jika satu lapisan masyarakat memonopoli alat-alat produksi maka para pekerja, selain bekerja untuk menghasilkan sesuatu bagi subsistensi mereka juga menghabiskan waktu kerja mereka untuk menghasilkan surplus untuk pemilik alat-alat produksi.
Relasi klas-klas terhadap alat-alat produksi juga tergantung pada peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial. Klas-klas menjalankan fungsi yang beragam dalam produksi sosial; dalam masyarakat ber-klas, ada yang mengatur produksi, mengontrol ekonomi dan seluruh urusan sosial serta terlibat secara dominan dalam kerja mental, sementara klas yang lain menanggung beban menjalankan kewajiban pekerjaan fisik yang berat.
Begitu sistem produksi sosial dan seluruh kehidupan masyarakat tumbuh semakin kompleks, maka pengembangan fungsi kontrol semakin dibutuhkan. Sebagai contoh, pada masyarakat agraris di Mesir, Irak, Cina dan India Kuno. Proyek irigasi bersekala besar semakin menuntut spesialisasi pengetahuan dan pengorgnisiran kerja yang terpusat. Hal ini berbeda dengan kerja pertanian yang berskala kecil dan individual atau proyek pertanian komunal yang sederhana. Kita tak bisa membayangkan jika produksi yang berskala besar yang menggunakan mesin tidak ditopang oleh aktifitas yang terorganisir rapih dan manajemen produksi di segala bidang. Dalam masyarakat ber-klas, manajemen produksi sosial biasanya dibawah kendali klas yang memilik alat produksi. Marx mengungkapkan:
Seseorang tidak berarti menjadi kapitalis karena dia seorang pimpinan sebuah industri; yang terjadi justru sebaliknya, dia pimpinan industri karena dia seorang kapitalis. Kepemimpinan dalam bidang perindustrian merupakan pelengkap bagi modal (Kapital), sebagaimana fungsi yang dijalankan oleh seorang Jendral dan Hakim, yang tak lain merupakan pelengkap bagi sistem kepemilikan tanah pada masa feodal.
Saat relasi-relasi produksi tertentu mulai menghalangi perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, peran klas yang berkuasa didalam organisasi kerja secara sosial mengalami perubahan; klas tersebut mulai kehilangan fungsinya dalam mengorganisasi produksi dan lantas merosot menjadi parasit yang melekat pada tubuh masyarakat. Perkembangan ini menimpa klas pemilik budak dan kaum aristokrat feodal pada masanya masing-masing, dan hal yang sama juga menimpa kalangan borjuis besar (klas inipun akhirnya melepaskan fungsi pengorganisiran kerja secara sosialnya pada kalangan manajer yang digaji, supervisor dan bahkan kepada regu-regu pekerja).
Klas-klas juga dibedakan satu dengan yang lainnya menurut ukuran (besarnya) dan sumber pendapatan (income) sosial mereka. Perbedaan ukuran dan sumber income sosial ini tidak diragukan lagi memilik arti yang demikian pentingnya, namun hal tersebut bukanlah faktor yang paling utama. Dengan mudah kita bisa memahami hal ini jika kita menanyakan diri kita dengan pertanyaan: Mengapa ada berbagai sumber pendapatan (income), yang menjadi syarat-syarat keberadaan klas-klas? Jawabannya terletak pada posisi mereka ditengah-tengah sistem produksi sosial. Marx menyatakan bahwa, secara sekilas, klas itu terdiri dari sejumlah orang yang memilik sumber pendapatan yang sama. Namun hal tersebut tidak menukik pada apa yang sesungguhnya menjadi dasar keberadaan klas-klas; fakta menunjukan bahwa relasi-relasi yang paling utama dan menentukan justru adanya bentuk distribusi yang bergantung pada relasi produksi. Jika kita hanya menghitung sumber dan ukuran pendapatan, kita tidak bisa mendefinisikan klas-klas dengan pengelompokan-pengelompokan dan strata-strata sosial lainnya yang keberadaannya juga ditentukan oleh berbagai sumber pendapatan. Sebagai contoh, dalam sistem kapitalisme, para buruh yang melakukan pekerjaan yang sama menerima upah melalui sumber pendapatan yang berbeda-beda, sementara yang lainnya mendapatkan upahnya dari negara. Para pekerja yang trampil dibayar lebih tinggi daripada buruh yang tak punya ketrampilan khusus. Tetapi apakah dengan demikian memberi alasan untuk menganggap klas mereka berbeda?
Pembagian klas membelah kehidupan sosial dari atas sampai bawah, mempengaruhi seluruh sistem sosial. Relasi-relasi ini dibagi menjadi relasi-relasi yang bersifat material dan ideologis. Tetapi pertanyaannya sekarang adalah: relasi-relasi macam apakah yang ada diantara klas-klas?, bersifat material atau ideologis? Jawabannya adalah: bersifat kedua-duanya. Keberadaan klas-klas dikaitkan dengan relasi-relasi ekonomi tertentu yang memungkinkan klas-klas penghisap merampas kerja klas terhisap. Totalitas dari seluruh relasi inilah yang membentuk struktur klas dalam masyarakat dan menyediakan basis bagi perjuangan klas. Akan tetapi, relasi-relasi antar klas ini tidak terbatas dibidang ekonomi semata, relasi-relasi ini paling menunjukan ekspresinya (perwujudannya) terutama dalam kehidupan politik. Pada akhirnya relasi-relasi antar klas perjuangan klas dipaparkan secara gamblang dalam level ideologi, dalam kehidupan intelektual masyarakat. Persis sebagaimana dikatakan oleh para peletak dasar Marxisme bahwa pertentangan antara proletariat dan borjuasi, yang berurat berakar pada relasi-relasi produksi kapitalisme, kemudian mempengaruhi seluruh kehidupan sosial, kondisi-kondisi yang melingkupi keberadaan klas-klas, relasi-relasi antar kalangan mereka sendiri dan itu juga menyebabkan para buruh memiliki gagasan-gagasan, ide-ide, prinsip-prinsip moralitas dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang berbeda dengan borjuasi. Perbedaan-perbedaan itulah yang menggambarkan posisi anggota-anggota klas dalam kehidupan sehari-hari, dalam pendidikan dan kulturnya, gagasan-gagasan, keyakinan-keyakinan, psikologi sosial mereka dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan turunan dari relasi-relasi ekonomi.
Disamping adanya perbedaan-perbedaan klas dalam masyarakat ada juga perbedaan-perbedaan sosial lainnya, sebagai contoh, ada perbedaan antara desa dan kota yang pada akhirnya juga mempengaruhi keberadaan mereka yang bekerja dilapangan industri dengan yang bekerja dilapangan pertanian, dan juga pembedaan antara mereka yang terlibat kerja fisik dengan kerja mental.
Pembagian antara desa dan kota memecah seluruh populasi menjadi dua, yakni yang tinggal di perkotaan dan yang tinggal di pedesaan. Pembagian ini lantas menyediakan ciri-ciri yang unik dalam semua formasi klas. Sebagai contoh, dalam masyarakat feodal klas petani dan klas tuan feodal terutama terpusat di wilayah pedesaan. Sementara daerah perkotaan terutama ditinggali oleh para pengrajin/tukang, kaum pedagang dan cikal bakal borjuasi. Sementara dalam masyarakat kapitalisseluruh klas sosial dengan kadar yang berbeda satu sama lain, bisa kita lihat kehadirannya baik di kota maupun di desa. Disini kita melihat pembagian borjuis dan borjuis kecil baik di kota maupun di desa, pembagian diantara klas pekerja antara kota dan desa dan sebaginya.
Pembedaan-pembedaan sosial juga tampak dengan adanya pengelompokan-pengelompokan kecil yang ada didalam satu klas yang sama. Sebagai contoh, kaum borjuasi sendiri terbagi antara kapitalis kecil, menengah dan kapitalis besar yang semuanya ditentukan oleh jumlah (banyaknya) kapital yang mereka miliki.
Disini kita juga meyakinkan kelompok-kelompok sosial yang tidak terkait dengan klas tertentu, seperti para mahasiswa yang hidup dari (dibiayai oleh) negara, atau para perwira polisi yang mendapat gaji namun yang peranannya dalam sistem produksi kapitalis adalah untuk melindungi milik pribadi kaum kapitalis. Ada juga kita melihat keberadaan orang-orang yang tak termasuk dalam salah satu klas, yaitu orang-orang yang telah kehilangan koneksi dengan klas mereka sendiri, sebagi contoh adalah kaum lumpen proletariat dibawah sistem kapitalisme, yang terdiri dari orang-orang yang tak punya pekerjaan yang jelas, tak punya keinginan untuk memperoleh pekerjaan dan yang hidup dengan memangsa/menggerogoti klas borjuis dan borjuis kecil. Yang masuk dalam golongan ini adalah para pengemis, maling-maling dan semacamnya.
Diantara berbagai pengelompokan sosial yang ada, pengelompokan yang paling utama dan jelas adalah pengelompokan berbasis klas. Pertama, klas-klas itu tumbuh dari fondasi-fondasi masyarakat yang paling mendasar yaitu langsung berasal dari relasi masyarakt/manusia dengan alat-alat produksi yang menentukan relasi-relasi lainnya. Kedua, klas merupakan pengelompokan sosial yang paling kuat dan paling banyak keanggotaannya ditengah-tengah masyarakat, yang relasi-relasi serta perjuangan mereka sangat mempengaruhi seluruh sejarah, kehidupan sosial, politik dan ideologi masyarakat.
Para sosiolog borjuis sering mengkaburkan konsep “klas” menjadi konsep “kelompok sosial ekonomi“ pada umumnya, yang keberadaannya ditentukan oleh timngkat pendapatan,mereka membagi masyarakat kapitalis bukan ke dalam klas tetapi ke dalam lapisan-lapisan masyarakat, “strata” (terminologi seperti “strata” dan “stratifikasi”,diambil dari ilmu geologi untuk menunjukkan terbaginya masyarakat menjadi berbagai lapisan yang membentuk hirarki masyarakat). Banyak kriteria yang digunakan untuk menentukan komposisi berbagai strata, di antaranya adalah kreteria jenis pekerjaan, kekayaan, pendidikan, tempat tinggal dan semacamnya, namun para sosiolog borjuis tidak memberikan penekanan pada faktor yang paling utama dan menentukan yaitu posisi orang dalam sistem produksi kapitalis dan relasi-relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Padahal inilah yang menentukan distribusi kekayaan sosial dan yang menentukan cara memperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh Lenin :
“Kriteria-kriteria fundamental yang menggolongkan orang ke dalam klas-klas adalah posisi yang mereka tempati dalam produksi sosial, dan juga relasi mereka terhadap alat-alat produksi”.
Sosiologi borjuis menganalisis klas dengan menggunakan kategori pekerjaan dan statistik pendapatan (yang membawa mereka pada kesimpulan bahwa mayoritas kaum buruh di negeri-negeri kapitalis maju termasuk dalam kelompok kerah putih dan kelompok sosial ekonomi yang berpendapatan menengah, dan oleh karena itu mereka termasuk dalam ‘klas menengah’). Berbeda dengan metode analisis yang superfisial tersebut, Marxisme berpandangan bahwa klas-klas terbentuk dalam relasinya satu sama lain dan secara fundamental ditentukan oleh posisi yang mereka tempati dalam sistem produksi sosial dan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Dengan demikian, sebagai contoh, yang disebut kaum borjuis bukan sekedar segolongan orang yang memiliki banyak uang; begitu juga kaum proletartiat bukan sekedar sekumpulan orang miskin dengan pekerjaan buruh. Akan tetapi, keberadaan kedua klas ini ditentukan oleh relasi satu sama lain yang bersifat khusus dalam sistem produksi sosial kapitalis. Kaum kapitalis memiliki dan mengontrol alat produksi dan subsistensi sementara kaum proletar tak memiliki apa-apa kecuali tenaga kerja yang ada pada mereka. Sebagai akibatnya, kaum kapitalis mampu membayar buruh dan merampas kerja mereka, menghasilkan nilai yang lebih besar dari bayaran yang mereka (buruh) terima.
Analisa pendekatan Marxis terhadap klas-klas ini dipakai untuk membongkar relasi-relasi antar klas yang berwatak menghisap dan menindas yang kemudian memunculkan perjuangan klas antar mereka yang pada akhirnya mendorong maju perkembangan sejarah. Bertentangan dengan analisis Marxis, sosiologi borjuis justru melihat keberadaan klas saling terpisah satu sama lain berdasarkan besar (ukuran) pendapatan atau jenis kelamin. Dengan demikian hal itu mengaburkan relasi-relasi antar klas yang berwatak menghisap dan menindas dalam masyarakat kapitalis yang artinya mengaburkan basis material perjuangan klas antar mereka.
II. Struktur Sosial Dan Cara-Cara Perubahannya
Totalitas dari klas-klas, lapisan-lapisan dan kelompok sosial serta sistem yang mengatur hubungan antar mereka ini kemudian membentuk struktur sosial masyarakat. Dalam menganalisis struktur sosial, Marxisme membuat pembagian antara klas fundamental dan klas non fundamental. Klas-klas fundamental adalah klas-klas yang dilahirkan dari corak produksi yang berlaku, dimana klas-klas tersebut tidak mungkin kita temukan di bawah corak produksi lainnya. Kontradiksi mendasar dari corak produksi yang berlaku terwujud dalam pola hubungan dan pola perjuangan antar klas. Seluruh corak produksi yang antagonistik ditunjukkan dengan keberadaan dua klas yang secara fundamental saling bertentangan.
Dengan corak produksi asiatik.yang merupakan klas-klas fundamentalnya adalah para pemuka agama dan bangsawan/petinggi militer yang dikepalai oleh pemuka agama yang merangkap sebagai raja dan pahlawan negara di satu pihak, sementara di pihak lain adalah para penduduk kampung, yakni kaum tani. Seluruh tanah dan sumber air—yang merupakan alat-alat produksi yang menentukan—dimiliki oleh raja, yang di mata para petani dianggap sebagai tuan penguasa. Seluruh kaum bangsawan, dari raja hingga gubernurnya hidup dari upeti yang diperoleh dalam bentuk kerja atau produk berlebih dari para penduduk.
Di negeri-negeri yang didominasi oleh corak produksi pemilikan budak (yaitu pada masa kekaisaran Romawi dan Yunani kuno), yang menjadi klas fundamentalnya adalah tuan pemilik budak dan para budak. Para tuan pemilik budak ini bukan sekedar memiliki alat-alat produksi melainkan juga memiliki para budak yang diperlakukan sekedar sebagai instrumen produksi. Seorang penulis pada zaman Romawi Kuno, Marcus Terentius Varro, dalam risalahnya tentang pertanian membagi kerja penggarapan ladang ke dalam tiga kategori :
“…ada peralatan kerja yang bisa bicara, ada aktivitas yang mengeluarkan suara tapi tak bisa bicara, dan ada aktivitas kerja yang bisu, yang bicara adalah para budak, yang mengeluarkan suara tapi tak bisa bicara adalah hamba, sementara alat kerja yang bisu adalah gerobak…”
Dibawah corak produksi feodal, dua klas yang merupakan klas fundamental adalah para pemilik tanah feodal (termasuk didalamnya adalah para pemuka tertinggi agama) dan para hamba. Para hamba terpaksa menggarap tanah-tanah pertanian berkala kecil dan hanya menggunakan instrumen-instrumen produksi tertentu. Sementara tuan feodal merupakan pemilik alat produksi utama, yaitu tanah. Pemilikan atas tanah inilah yang memungkinkannya untuk merampas kerja lebih kaum tani. Para hamba ini yang tak seperti para budak yang merupakan hak milik tuan feodal. Para hamba ini tidak bisa diperjual-belikan oleh para tuan feodal (terkecuali jika si tuan feodal ini menjual tanahnya). Tuan feodal merampas produk surplus petani, baik dengan cara “corvee” (bayaran sesuai waktu kerja) atau melalui quit-rent (bayaran sesuai jumlah produk), atau bisa juga melalui peminjaman uang, yakni petani menyewa tanah dari tuan tanah. Hal ini terutama terjadi pada masa menjelang berakhirnya feodalisme.
Sementara pada masa corak produksi kapitalisme, yang memiliki klas fundamentalnya adalah klas borjuis dan proletariat. Mereka yang terlibat dalam produksi secara langsung, yakni para buruh upahan, secara hukum adalah para pekerja bebas, akan tetapi tak memiliki akses pemilikan alat-alat produksi. Tak seperti warga kampung di bawah corak produksi asiatic atau para hamba yang hidup pada masa feodal, para pekerja upahan ini tidak memilki dan juga tak berhak menggunakan alat-alat produksi. Mereka hanya bisa mendapatkan akses terhadap alat-alat untuk subsistensi (untuk bertahan hidup) jika mereka menjual tenaga kerjanya kepada kaum kapitalis. Dengan alasan ini, Marx dan Engels menyebut relasi penghisapan kapitalis merupakan sistem yang mendasarkan dirinya pada perbudakan upah.
Dalam masyarakat (corak produksi Asiatic), pemilikan budak dan feodal, pembagian klas-klas dalam masyarakat dipertajam dengan adanya intervensi negara yang membagi penduduk menjadi kasta-kasta dan lapisan yang turun temurun. Sebagai contoh di India kuno, masyarakat-masyarakat terbagi ke dalam 4 kasta yakni Brahmana (keluarga bangsawan pemuka agama), Ksatria (bangsawan petinggi militer, waisya (masyarakat kampung), Sudra (lapisan masyarakat yang paling rendah yakni orang-orang yang disingkirkan dari komunitasnya). Pembagian kasta ini dibenarkan oleh agama Hindu. Pemeluk agama ini meyakini bahwa Dewa Brahma menciptakan kaum Brahmana dari mulutnya, Ksatria diciptakan dari tangannya, Waisya diciptakan dari pahanya, sementara Sudra yang paling rendah diciptakan dari kaki sang Dewa.
Dalam masyarakat pemilikan budak (di Yunani kuno, Romawi dll) dan dalam masyarakat feodal, penduduk di bagi dalam tingkatan-tingkatan, dimana hukum yang berlaku mengatur hak serta kewajiban masing-masing tingkatan. Lapisan-lapisan tersebut dibentuk berbasiskan pembagian klas, akan tetapi ia tidak sepenuhnya berkaitan dengan hal itu—karena lapisan-lapisan/tingkatan-tingkatan tersebut juga memunculkan hirarki kekuasaan dan hak-hak istimewa dalam dunia hukum.
Selama berlakunya relasi produksi tertentu format pembagian klas yang ada masih menyisakan hal-hal peninggalan corak produksi lama atau juga menyambung cikal bakal corak produksi yang baru. Keadaan seperti inilah yang mampu menjelaskan keberadaan klas-klas non-fundamental atau klas-klas transisional (klas antara). Dalam corak produksi asiatic kita mendapatkan adanya para budak (terutama bekerja pada sektor-sektor kerja kerumah-tanggaan non produktif), pegawai-pegawai rendahan (juru tulis), pedagang-pedagang kecil dan lintah darat, atau mereka yang bekerja sebagai tukang ransum. Selanjutnya, para bangsawan lokal yang mengumpulkan/menarik upeti dari penduduk kampung, mencoba mendapatkan legalitas pemilikan tanah yang mereka kuasai di wilayah kekuasaan mereka, dengan demikian mereka mendapatkan keabsahan untuk menarik upeti dari penduduk. Akan tetapi dengan adanya perkembangan penguasaan tanah pribadi secara besar-besaran, maka hal tersebut memperlemah kemampuan negara yang selama ini menjalankan fungsi ekonomi seperti kontrol terhadap penggunaan air dan proyek-proyek irigasi. Karena pemerintah pusat tidak bisa lagi pekerjaan/proyek-proyek umum yang mengakibatkan keruntuhan kekuasaannya. Sementara produksi pertanian merosot tajam, maka petani semakin tak sanggup membayar upeti kepada tuan-tuan tanah lokal. Situasi ini biasanya berakibat pada munculnya krisis politik berupa pemberontakan kaum tani yang bermuara pada jatuhnya dinasti yang berkuasa. Pemberontakan ini kemudian memunculkan dinasti penguasa yang baru.
Dalam masyarakat pemilikan budak, kita juga mendapati adanya kaum pedagang, para lintah darat, petani-petani lepas, para tukang, kaum pekerja upahan (khususnya para nelayan) dan juga elemen-elemen non klas yang hidup sebagai parasit dalam jumlah besar. Dalam masyarakat feodal, juga terdapat klas-klas sosial yang terdiri dari para tukang yang terhimpun dalam gilda-gilda dan perusahaan-perusahaan kaum pedagang, dan sebagainya yang tinggal di daerah perkotaan. Para tukang di gilda-gilda itu kemudian menjadi penghisap. Sementara orang-orang yang magang pada mereka berfungsi sebagai pekerja-pekerja tereksploitasi. Para tuan tanah besar yang menggunakan cara-cara kapitalis dan pra-kapitalis dalam menghisap kaum tani pun masih bisa kita jumpai (masih bertahan lama) dalam masyarakat kapitalis.
Pada sebagian besar negara-negara kapitalis, juga kita dapat jumpai keberadaan klas-klas non-fundamental borjuis kecil yang terdiri dari kaum tani, para tukang, pedagang kecil dan para pemilik alat-alat produksi kecil. Jumlah mereka sangatlah besar dan memainkan peranan penting dalam perjuangan politik. Secara ekonomis, klas borjuis kecil ini menempati posisi penyangga di antara borjuasi dan proletariat. Keberadaan mereka sebagai pemilik alat-alat produksi secara pribadi menjadikan mereka lebih dekat ke borjuasi (meskipun tak sama dengan para kapitalis pada umumnya, mereka ini juga mempekerjakan/mengupah orang lain, yaitu berdasarkan ikatan kerja personal), namun mereka juga mempunyai ikatan dengan kaum proletar karena mereka mempekerjakan diri mereka dan juga mengalami penindasan modal.
Hubungan antara klas-klas fundamental dengan klas-klas non-fundamental sendiri saling tergantung sama lain. Hal ini disebabkan adanya perkembangan sejarah yang memungkinkan beralihnya klas-klas fundamental menjadi klas-klas non-fundamental, begitu juga sebaliknya. Klas-klas fundamental akan merosot menjadi klas-klas non-fundamental ketika relasi-relasi produksi yang sebelumnya menjadi dasar yang dominan dari corak produksi tertentu lambat-laun dominasinya digantikan (secara bergilir) oleh relasi-relasi produksi yang baru. Kemunculan relasi produksi yang baru kemundian mentrans formasikan klas-klas non-fundamental menjadi klas fundamental ketika relasi-relasi produksi yang baru berhasil mengkonsolidasikan dirinya dan kemudian memunculkan corak produksi yang baru sama sekali.
Corak produksi kapitalis merupakan corak produksi yang unik. Dalam waktu singkat, ia berhasil menyederhanakan struktur klas dalam masyarakat, membelahnya menjadi dua, yakni antara segelintir klas yang berkuasa dan massa proletariat yang terus tumbuh dan berkembang. Pada pertengahan abad ke 19, jumlah kaum borjuis sangat banyak. Hal ini dikarenakan instrumen-instrumen kerja terutama dimiliki oleh para kapitalis menengah dan kecil. Di Inggris, klas ini mencakup 8% dari seluruh penduduk yang masuk usia keja; di negeri-negeri lain proporsinya bahkan lebih besar lagi, sementara barisan buruh/pekerja upahan tidak melebihi separuh dari penduduk yang memasuki usia kerja.
Akan tetapi perkembangan kapitalisme monopoli telah menyebabkan konsentrasi produksi dan sentralisasi modal yang tak ada bandingannya. Hal ini terutama terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II. Jumlah kaum borjuasi semakin mengecil di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan adanya monopoli yang menghancurkan sejumlah besar kaum kapitalis kecil dan menengah. Di negeri-negeri kapitalis maju prosentasi kaum borjuis antara sebanyak 1% hingga 4% dari keseluruhan penduduk. Akan tetapi, pada saat bersamaan kekuasaan dan kekayaan kaum borjuis monopolis di negeri-negeri kapitalis maju ini telah berlipat ganda. Hanya 1% keluarga dari seluruh keluarga di Amerika Serikat menguasai sekitar 80 % dari seluruh asset produksi.
Dalam tahapan kapitalisme pra-monopoli, kaum borjuis terutama terdiri dari sejumlah besar individu pemilik perusahaan kecil dan menengah, akan tetapi selama abad ke 20, kita menyaksikan tumbuhnya perusahaan saham gabungan sebagai bentuk pemilikan kapitalis yang dominan. Pada awalnya, penjualan saham perusahaan ini merupakan cara menarik dana segar/modal dan tabungan dari para borjuis kecil yang kaya untuk mengkonsentrasikan dan menanamkan dana ini untuk kepentingan para pemegang saham besar. Para ekonom borjuis kemudian menginterpretasikan hal ini dengan atau sebagai adanya transformasi perusahaan-perusahaan kapitalis menjadi ‘milik umum” dan sebagai pertanda bangkitnya “kapitalisme rakyat”. Dalam realitanya, dengan menjadi pemegang saham, seseorang tidak kemudian menjadi seorang kapitalis. Terlebih lagi orang inipun tidak memiliki hak bicara untuk menentukan jalanya perusahaan yang dia miliki. Tujuan sesungguhnya dari perusahaan-perusahaan yang ‘go public” adalah untuk menarik tabungan para buruh sehingga bisa dimanfaatkan guna melayani kepentingan pemilik saham besar.
Kemunculan kapitalisme monopoli ini menggiring pada pemisahan pemilik modal dengan berjalannya fungsi manajerial dengan perkembangan ini, sejumlah sosiolog borjuis beranggapan bahwa “klas manajer” telah mengambil kekuasaan dan kontrol terhadap perusahaan-perusahaan ini dari kaum kapitalis. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa persoalan pemilikan sudah tidak relevan lagi. Akan tetapi dugaan-dugaan ini tidaklah mencerminkan situasi yang sesungguhnya. Pertama, kaum borjuis monopolis menjalankan kekuasaannya dengan cara terlibat langsung dalam mengatur bank dan perusahaan industri mereka. Para anggota keluarga-keluarga kaya kemudian duduk dalam jajaran direktur perusahaan industri dan perdagangan serta perbankan. Di samping itu, mereka mempromosikan para kerabat mereka untuk menduduki posisi-posisi yang menentukan dalam administrasi perusahaan. Kedua, para manajer top dari perusahaan-perusahaan dan perbankan besar (para eksekutif bisnis, pegawai-pegawai eksekutif papan atas) walaupun tak direkrut dari kalangan keluarga kaya, mereka kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran borjuasi mereka. Sementara itu pula, presiden, wakil presiden, CEO dan eksekutif-eksekutif top perusahaan adalah pegawai-pegawai yang gaji serta bonusnya jauh melebihi dari nilai pasar kinerja mereka. Dengan demikian merekapun memainkan peran khusus dalam partisipasi mereka merampas nilai lebih yang diciptakan dari kerja orang lain. Gaji dan bonus yang mereka peroleh memungkinkan mereka untuk mengakumulasi modal/kapital termasuk juga melalui pembelian sejumlah besar saham (yang dalam banyak kasus menjadi bagian dari “paket gaji” yang mereka terima).
Sementara itu, jumlah pekerja upahan yang berhadap-hadapan dengan modal tumbuh semakin besar dalam dua abad terakhir. Barisan mereka telah berlipat ganda karena mereka dibanjiri oleh para mantan borjuis kecil di kota dan desa yang tersisih dari bisnisnya.
Semakin kapitalisme berkembang, maka semakin terkoyaklah jajaran borjuis kecil. Sementara itu, sebagian besar dari mereka mengalami kebangkrutan dan merekapun ada yang berubah menjadi pemilik alat-alat produksi kecil yang tergantung secara ekonomi, atau menjadi semi-proletar dan proletariat. Ini merupakan sebuah proses rutin yang melandaskan dirinya pada laju perkembangan produksi berskala besar yang melampaui produksi berskala kecil, sebagaimana yang diprediksikan oleh Marx dalam hukum konsentrasi dan sentralisasi kapital.
Akan tetapi, kaum Marxist tak pernah mengklaim bahwa kecenderungan proletarisasi klas menengah pasti akan mengarah dan pelenyapan klas ini secara total. Sebagaimana pernah diamati oleh Lenin bahwa perkembangan produksi kapitalis monopoli jalan yang kontradiktif :”Sejumlah ‘strata menengah’ baru dilahirkan kembali oleh kapitalisme (para pemilik perusahaan sub-kontraktor pabrik, industri rumah tangga, bengkel-bengkel kecil yang bertebaran di seluruh negri untuk melayani kebutuhan industri besar, seperti industri sepeda dan otomotif, dsb). Produsen-produsen baru yang berskala kecil ini mau tak mau dicampakkan lagi menjadi barisan proletariat”.
Kapitalisme monopoli juga menghancurkan klas menengah ‘lama” yang terdiri dari petani-petani kecil, para pemilik toko, pengusaha kecil, dan kaum proifesional mandiri (dokter, pengacara, guru, dll). Mereka ini terlempar dari klasnya untuk menambah jumlah barisan proletariat. Sementara itu, pada saat bersamaan, kapitalisme monopoli menghasilkan klas menengah ‘baru” yang bekerja secara langsung untuk melayani kepentingan kapitalisme monopoli. Mereka ini terdiri dari para teknisi, ahli pemasaran, manajer, ahli keuangan, ahli kesehatan dan para pengacara yang menempati posisi penyangga antara borjuasi dan proletariat. Akan tetapi, untuk jangka waktu lama, kapitalisme monopoli cenderung akan memproletarkan posisi-posisi tadi dengan cara memperdagangkan kerja mereka dan dengan menghancurkan monopoli mereka atas ketrampilan yang mereka miliki.
Barisan buruh upahan ini “dibebaskan” oleh modal dari setiap pemilikan alat-alat produksi yang terdapat di negri kapitalis maju dimana mayoritas penduduknya (lebih dari 75 %) merupakan lapisan masyarakat yang aktif secara ekonomis. Dalam skala dunia para pekerja upahan ini berjumlah milyaran manusia.
Para ideolog borjuis sering beranggapan bahwa dengan adanya perkembangan sistem produksi yang semi-otomatis dan dengan adanya pemanfaatan teknologi komputer dengan skal luas, maka proletariat ditakdirkan akan melenyap. Alasannya, Pertama, demikian kata mereka, karena terjadinya penurunan jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan industri produksi barang, sementara di pihak lain semakin banyak orang yang bekerja di sektor jasa, dan alasan kedua, adalah peningkatan kerja-kerja non manual (meningkatnya jumlah pekerja “krah putih” secara umum).
Akan tetapi disini harus dicatat bahwa para sosiolog dan ekonom borjuis secara salah menghubungkan konsep “proletariat” hanya dengan pekerja manual. Tak lain Marx sendirilah yang mengintrodusir konsep pekerja kolektif yang terdiri dari para pekerja manual dan pekerja mental, yaitu mereka yang secara langsung terlibat dalam proses produksi dan berbagai fungsi tambahan. Dalam mendefinisikan klas pekerja, kita harus terlebih dahulu mengetahui posisi klas pekerja dalam sistem produksi sosial, relasinya terhadap alat-alat produksi dan peranannya dalam organisasi kerja secara sosial. Menurut Marxisme, klas pekerja itu terdiri dari seluruh orang yang, pertama-tama, karena tidak memiliki alat-alat produksi terpaksa menjual tenaga kerja mereka untuk mendapatkan upah atau gaji, dan kedua, jika mereka dipekerjakan, maka mereka menghasilkan nilai lebih dari kerja mereka atau yang memungkinkan majikan mereka untuk merampas nilai lebih yang diciptakan oleh orang lain.
Pekerja kerah putih bukanlah sebuah klas tersendiri; kebanyakan dari mereka adalah pekerja upahan yang bekerja di sektor-sektor non-industrial, yakni sektor-sektor yang memungkinkan para majikan untuk merampas nilai lebih yang diciptakan oleh para buruh industri dan pertanian. Peningkatan jumlah para pekerja krah putih sejak abad 19 dimungkinkan oleh perkembangan sektor jasa (transportasi, komunikasi, perdagangan, kredit, perbankan dan asuransi, industri-industri kebudayaan,dsb). Akan tetapi sektor ini juga memproduksi struktur masyarakat kapitalis. Orang-orang yang bekerja di sektor jasa tidaklah berdiri sendiri di luar pembagian klas dalam masyarakat. Mereka menjadi bagian yang terintegrasi dari klas-klas masyarakat, baik itu pada bidang industri dan pertanian. Tingkat pertumbuhan pegawai krah putih yang cepat yang melebihi pertumbuhan seluruh penduduk yang telah memasuki usia kerja tidak berarti telah terjadi adanya proses “deproletarisasi” penduduk atau munculnya intelektual “klas menengah baru” yang meleburkan proletariat.
Terminologi “intelektual” biasanya digunakan untuk menujukkan segolongan orang yang secara profesional terlibat dalam kerja-kerja yang bersifat intelektual. Ia juga mencakup sebagian pekerja krah putih, namun sebagian besarnya lagi menjalankan fungsi kerja yang teknis sifatnya. Terlebih lagi, komputerisasi yang menggejala akhir-akhir ini telah memekaniskan kerja-kerja administrasi dan pejualan. Dengan demikian hal tersebut telah menyerap para pekerja krah putih menjadi operator-operator mesin dengan kondisi kerja yang tak jauh beda dengan kondisi kerja yang melingkupi para buruh industri.
Mengamati kondisi di atas maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa struktur klas masyarakat kapitalis itu begitu beragam. Disamping adanya klas-klas fundamental di dalamnya juga kita temui adanya klas-klas non-fundamental dan lapisan-lapisan perantara/penyangga. Yang lebih spesifik lagi, dalam masyarakat kapitalis, klas-klas yang ada bukan merupakan kelompok-kelompok yang sifatnya tertutup sebagaimana halnya pelapisan hirarkis pada masa feodal. Dalam masyarakat kapitalis, orang-orang bisa saling berpindah dari kelompok-kelompok atau strata-strata sosial lainnya.
Menghadapi fenomena ini maka para sosiolog borjuis secara semena-mena menganggap bahwa pembagian klas tersebut melenyap dalam masyarakat kapitalis. Beberapa kalangan dari mereka beranggapan bahwa klas-klas bergerak secara konstan seiring dengan terserapnya orang ke dalamnya, serta mereka bergerak naik-turun namun tetap terkungkung dalam klas yang sama persis seperti naik-turunnya lift di sebuah bangunan besar. Tentu saja, dalam masyarakat kapitalis terjadi mobilitas sosial yang jauh lebih besar ketimbang dalam masyarakat feodal dimana banyak terdapat penghalang yang bersifat hirarkhis.akan tetapi batas-batas klas ini tidak melenyap, bahkan di bawah sistem kapitalisme kontradiksi klas mengalami peningkatan. Jika pada tahap-tahap awal perkembangan kapitalisme sebagian kalangan bangsawan penguasa tanah, kaum tani kaya, dsb, mampu menerobos masuk jajaran borjuasi maka dalam tahap perkembangan selanjutnya jauh lebih sulit memasuki lingkaran monopolis ketimbang upaya yang dulu dilakukan borjuis kecil ketika memasuki lingkaran kaum ningrat semasa absolutisme feodal. Seorang ekonom AS Ferdinand Lundbery,dalam bukunya The Rich and The Super Rich,menulis bahwa pada dekade 1960-an terdapat sekitar 200.000 orang kaya di AS. Kebanyakan dari mereka berasal dari sekitar 500 keluarga terkaya.
Meskipun status klas dari individu-individu tertentu mengalami perubahan, hal ini tidak berarti perbedaan klas dalam masyarakat telah menghilang. Malahan perubahan-perubahan status sosial yang terjadi pada masa kapitalisme, keruntuhan bisnis-bisnis skal kecil, proletarisasi yang terjadi pada kerja intelektual dan meningkatnya jumlah pengangguran, hanya memperlebar kesenjangan antara klas-klas fundamental dalam masyarakat.
III. Kepentingan Klas-Klas & Perjuangan Klas
Perjuangan klas telah berlangsung sepanjang sejarah masyarakat, bahkan sejak runtuhnya komune primitif. “Orang-orang merdeka dan budak, bangsawan dan orang udik, tuan dan hamba, pemilik gilda dan pengembara, pendek kata, penindas dan tertindas, saling berhadapan dan bertentangan, melancarkan perjuangan tanpa henti, baik terselubung maupun terbuka, sebuah perjuangan yang tiap kali berakhir, baik itu berupa bentuk perubahan revolusioner di masyarakat, maupun keruntuhan bersama dari klas-klas yang saling berlawanan”. Begitulah Marx dan Engels menggambarkan bentuk-bentuk dasar dari perjuangan pada periode pra-kapitalisme, sebagaimana mereka terangkan di dalam Manifesto Komunis. Munculnya kapitalisme telah menjadikan perjuangan klas ini semakin intensif.
Apakah yang menjadi sebab konflik antar klas? Apakah itu tidak terelakkan dalam sejarah? Para ahli sejarah dan sosiolog borjuis menganggap bahwa terjadinya perjuangan klas disebabkan oleh adanya “kesalahpahaman”, “tersumbatnya jalur komunikasi antar klas-klas dalam masyarakat, disebabkan oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang salah dan adanya hasutan oleh elemen-elemen jahat di masyarakat”, dsb. Untuk itu mereka menyarankan perlunya ditegakkan nilai-nilai sosial dan moral yang mampu menyatukan klas-klas yang saling bertentangan. Akan tetapi upaya-upaya tersebut tidak lebih dari upaya yang salah dan idealis dalam melakukan pendekatan permasalahan. Dalam realitasnya, tak mungkin tercipta adanya kesatuan sosial, politik dan kesatuan moral yang stabil dalam masyarakat yang sudah terpecah-pecah ke dalam kls-klas yang bertentangan,yang merupakan akibat dari kondisi keberadaan ekonomi mereka.
Perjuangan klas itu muncul dari posisi sosial yang berhadap-hadapan secara diametral dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari klas-klas yang berbeda. Apakah yang disebut dengan kepentingan klas itu? Apa yang menjadi latar-belakangnya? Kadang-kadang disebutkan bahwa kepentingan klas itu ditentukan dari kesadaran dari para anggota dari klas yang bersangkutan. Hal ini tidaklah benar. Klas pekerja di setiap negara kapitalis bisa saja tidak menyadari kepentingan-kepentingan fundamentalnya sehingga mereka membatasi perjuangan mereka hanya untuk mendapatkan reformasi-reformasi terbatas yang tidak langsung menohok posisi dan kepentingan klas kapitalis yang paling mendasar (sebagai contoh, klas pekerja hanya menuntut kenaikan upah, pengurangan jam kerja, dsb). Namun tidak adanya kesadaran tersebut tidak berarti tidak adanya kepentingan klas yang mendasar.
Kepentingan klas tidak ditentukan oleh kesadaran klas tetapi ditentukan oleh posisi dan peranan nya dalam sistem produksi sosial. Kepentingan klas proletariat yang paling mendasar adalah menghapuskan pemilikan pribadi; hal ini disebabkan karena proletariat sendiri merupakan klas yang tak bermilik dan pemilikan pribadi itu sendiri merupakan penghisapan dan penindasannya.
Borjuasi dan proletariat adalah klas-klas yang antagonistik karena kepentingan-kepentinan mereka saling bertentangan secara diametrial dan tak bisa didamaikan. Hal yang sama juga terjadi pada klas-klas fundamental yang ada pada masa pra-kapitalisme, yakni pertentangan kepentingan antara klas bangsawan penimbun/penarik upeti dan kaum petani, antara pemilik budak dan budak, antara tuan feodal dan hamba.
Disini kita tidak hanya melihat adanya pertentangan antara klas-klas yang antagonistik yang terdapat dalam sebuah formasi sosial-ekonomi dengan klas formasi sosial-ekonomi yang digantikannya. Sebagai contoh yaitu, adanya pertentangan antara kaum borjuis dengan kaum aristokrat feodal ketika terjadi konflik antara metode penghisapan borjuis dengan metode penghisapan feodalisme. Di sejumlah negri kita juga melihat adanya penggabungan yang sementara antara metode penghisapan feodal dengan metode penghisapan borjuis. Di bidang politik, kita sering menyaksikan pembentukan front anta kaum borjuis dengan para tuan tanah, khususnya saat mereka menghadapi musuh bersama, yaitu massa rakyat yang dipimpin oleh proletariat.
Jika pertentangan dan perbedaan kepentingan klas merupakan basis atau dasar bagi perjuangan klas, maka kesamaan kepentingan klas-klas yang berbeda membuka kemungkinana kerja sama. Dalam situasi-situasi tertentu, khususnya pada era kapitalisme kontemporer kita dapat menemukan kondisi-kondisi yang memungkinkan aksi gabungan antara kaum porletariat dan barisan klas menengah di desa dan kota melawan kaum monopolis. Sebagai klas yang paling revolusioner, terorganisir dan bersatu, maka proletariat merupakan pemimpin sejati dari barisan ini.
Dalam perjuangan klas, kepentingan dari berbagai klas sosial yang saling bertentangan secara radikal dimungkinkan untuk dipertemukan untuk sementara jika menghadapi musuh bersama. Sebagai contoh, dalam perjuangan pembebasan nasional dimungkinkan adanya aksi gabungan antara massa rakyat pekerja (klas buruh, petani, borjuis kecil perkotaan) dengan kaum borjuis nasional. Namun dalam situasi demikian, tiap-tiap klas berjuang sesuai dengan kepentingan klas-nya. Atas dasar inilah Lenin menekankan perlunya “…analisa yang tepat terhadap kepentingan-kepentingan klas yang beragam yang dipertemukan dengan tujuan-tujuan bersama yang jelas dan terbatas”.
Para Sosiolog borjuis dan para pemebela gagasan kerjasama antar klas mengingkari perlunya perjuangan klas. Mereka menilai bahwa yang menjadi motor kemajuan adalah adanya “kerjasama antar klas”. Akan tetapi fakta justru menunjukan bahwa yang menjadi motor penggerak yang mendorong maju perkembangan masyarakat ber-klas adalah perjuangan antar klas. Dialektika Materialisme menjelaskan pada kita bahwa yang menjadi sumber/penyebab dari seluruh perkembangan itu terletak pada perjuangan antara kekuatan-kekuatan dan kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan. Dalam masyarakat berklas, hukum dialektika ini tercermin dalam perjuangan klas.
Sebagai contoh, perjuangan klas memberikan pengaruh yang membedakan terhadap perkembangan kekuatan-kekuatan produktif. Salah satu alasan untuk memperkenalkan mekanisasi adalah adanya keinginan kaum kapitalis untuk memaksa kaum buruh agar mengikuti ritme kerja pabrik. Ketika mengamati perkembangan yang terjadi di Inggris bahwa “…sejak 1825, penemuan mesin dan penerapan mekanisasi tak lain merupakan hasil dari peperangan antara kaum buruh dengan majikan”. Perlawanan kaum buruh telah mencegah kaum kapitalis untuk melipatgandakan laba mereka yang selama ini mereka peroleh melaui penambahan jam kerja dan pemaksaan kaum buruh untuk semaksimal mungkin menghemat waktu dengan cara meningkatkan produktifitas buruh, dengan cara penerapan mekanisasi secara lebih efisien. Walaupun demikian bukan berarti bahwa perjuangan klas yang merupakan motor penggerak perkembangan masyarakat ber-klas merupakan sebab utama dari perkembangan kekuatan-kekuatan produktif. Yang terjadi adalah struktur klas dalam masyarakat dan perjuangan klas yang dilahirkannya justru ditentukan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dan relasi-relasi produksi. Perjuangan klas berperan sebagai motor penggerak perkembangan sejarah karena ia merupakan cara mentransformasikan sistem sosial yang usang menjadi sistem sosial yang baru dan lebih tinggi. Konflik yang terjadi antara keuatan-kekuatan produksi yang baru dengan relasi-relasi produksi yang sudah usang tercermin dalam antagonisme antar klas. Konflik ini kembali diselesaikan melalui sebuah revolusi sosial, yang merupakan manifestasi perjuangan klas yang tertinggi.
Perjuangan memainkan pernanan sebagai motivator peristiwa sejarah baik pada masa revolusi maupun pada masa damai. Faktapun menunjukan bahwa reformasi tambal sulam-pun, yang dipuji-puji oleh kaum liberal dan sosial demokrat, pada hakekatnya adalah produk perjuangan klas. Lenin membandingkan teori sosialis tentang perjuangan klas sebagai satu-satunya penggerak sejarah dengan teori borjuis tentang kerja sama antar klas sebagai motor penggerak kemajuan sosial. Dia menyebutkan bahwa “menurut teori Sosilisme,…motor penggerak sejarah yang sesungguhnya adalah perjuangan klas yang revolusioner. Sementara menurut teori para filsuf borjuis yang menjadi tenaga penggerak kemajuan adalah persatuan diantara seluruh elemen dalam masyarakat yang sama-sama menyadari “ketidak-sempurnaan”/”kelemahan” dari beberapa institusi di dalamnya. Teori yang pertama berwatak materialis, sementara yang kedua berwatak idealis. Yang pertama berwatak revolusioner, sementara yang kedua berwatak reformis. Yang pertama merupakan basis bagi taktik perjuangan proletariat di negri-negri kapitalis modern, sementara yang kedua merupakan basis bagi taktik borjuasi”.
IV. Bentuk-bentuk Perjuangan Klas dan Organisasi
Karakter dan bentuk perjuangan sangatlah beragam. Ia terjadi di semua lini kehidupan sosial –dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan lapangan ideologis; intensitasnyapun berbeda-beda, mulai dari penentangan yang bersifat pasif terhadap musuh klas hingga berbentuk serangan aktif terhadap posisi musuh dan pertarungan yang dualistik antar klas, ia bisa terjadi secara tertutup atau secara terbuka, spontan atau sadar. Perubahan bentuk perjuangan klas ke bentuk perjuangan yang lain sangatlah tergantung dari situasinya, tergantung dari intensitas kontradiksi diantara kepentingan-kepentingan berbagai klas dalam masyarakat, dan tergantung dari perkembangan tiap-tiap klas.
Bentuk-bentuk perjuangan klas sangat berkaitan erat dengan bentuk organisasi klas. Hal ini tergambar sangat jelas dari perjuangan klas proletariat. Klas buruh sendiri menjalankan perjuangannya menentang kapitalisme dalam tiga bentuk yaitu: ekonomi, politik dan ideologi.
Secara historis, perjuangan ekonomi merupakan bentuk pertama-tama perjuangan klas proletar. Di semua negeri, perjuangan buruh biasanya dimulai dengan perjuangan mempertahankan kepentingan ekonomi sehari-hari mereka. Mereka memperjuangkan kenaikan upah, pengurangan jam kerja, perbaikan kondisi kerja, dsb-nya. Dalam perjuangan semacam inilah organisasi-organisasi pertama kaum proletar tumbuh yaitu serikat-serikat buruh yang merupakan sekolah bagi perjuangan klas. Pemogokan-pemogokan, baik yang dilancarkan bagian perbagian maupun umum, merupakan alat perjuangan yang sangat penting.
Para ideolog borjuis kontemporer beranggapan bahwa sekarang ini klas buruh di negri-negri kapitalis maju telah “terintegrasi” dalam masyarakat kapitalis dan “memilik cantolan” di masyarakat tersebut karena mereka telah menerima/mendapatkan manfaat bagi kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka menyembunyikan fakta bahwa hal-hal yang baik itu diproduksi oleh klas buruh dan sebagian yang diproduksi oleh buruh itupun dapat diperoleh kembali melalui perjuangan yang keras. Dan sebagaimana pada masa yang lampau , kaum buruh yang produktifitasnya telah meningkat berkali-kali lipat, masih juga tak memperoleh bagian terbesar dari kekayaan yang mereka ciptakan. Hal ini dikarenakan mereka ditipu oleh nilai lebih.
Perjuangan ekonomi tidak hanya meniadakan proses pemiskinan proletariat; namun ia juga memberikan kepada proletariat bentuk organisasi untuk menjalankan tugas-tugas revolusioner yang lebih luas. Marx menekankan bahwa jika kaum buruh tidak memerangi nafsu kapital yang merampok, maka mereka akan mengalami degradasi/kejatuhan dan menjadikan mereka barisan kaum melarat. “Jika dalam konfliknya melawan kekuasaan modal kaum buruh mudah menyerah maka mereka tak akan pernah berhasil menggalang gerakan yang lebih besar”.
Akan tetapi, walaupun bersifat signifikan, perjuangan ekonomi saja tidak cukup untuk melenyapkan penghisapan dan penindasan kapitalis, karena perjuangan ekonomi tidak mengusik pemilikan kaum kapitalis terhadap alat-alat produksi dan kekuasaan politik mereka. Perjuangan ekonomi hanya bisa mendapatkan konsesi-konsesi kecil dari kaum borjuis. Dengan demikian jika kita terlalu memuja-muja perjuangan ekonomi dan membatasi perjuangan klas proletariat hanya untuk mendapatkan reformasi dalm batas-batas sistem kapitalis, maka al itu akan merugikan kepentingan klas buruh. Hal ini hanya akan menghalang-halangi perjuangan proletariat dalam meraih kesadaran revolusioner. Untuk mencapai hal iti, maka proletariat harus melancarkan perjuangan politik.
Perjuangan politik merupakan bentuk perjuangan klas proletariat yang tertinggi untuk menentang borjuasi. Tujuan akhir dari perjuangan ini adalah perebutan kekuasaan oleh kaum proletariat, yang akan membuka jalan bagi pembebasan sosial melalui penghapusan sistem penghisapan kapitalis. Berbeda dengan perjuangan ekonomi yang tak lebih hanya untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi sehari-hari, maka perjuangan politik dilancarkan untuk memperjuangkan kepentingan klas proletariat yang paling mendasar. Kesemuanya itu hanya bisa dipenuhi dengan transformasi politik radikal.
Perjuangan politik beragam bentuknya, mulai dari partisipasi dalam pemilu untuk memilih wakil di parlemen, dewan-dewan daerah dan organisasi-organisasi negara hingga ke bentuk-bentuk demonstrasi massa dan pemogokan politik (pemogokan untuk memaksa perubahan kebijakan pemerintahan), dari perjuangan parlementer yang damai hingga perjuangan revolusioner untuk merebut kekuasaan. Tujuan utama perjuangan politik kaum proletariat adalah untuk menggulingkan kekuatan politik klas kapitalis dan untuk menegakan kekuasaannya, kediktaktoran klas buruh, dan setelah kekuasaan berhasil dimenangkan maka ia harus dikonsolidasikan sebagai instrumen pembangunan masyarakat sosialis.
Secara historis, perjuangan politik berkembang setelah perjuangan ekonomi, walaupun demikian perjuangan politik merupakan bentuk perjuangan yang lebih tinggi dari perjuangan ekonomi. Alasannya adalah sebagai berikut:
Perjuangan ekonomi mensyaratkan bahwa kaum penghisap dapat dilakukan oleh sebuah detasemen klas buruh (yaitu cukup dengan buruh perusahaan atau satu cabang industri), sementara perjuangan politik kaum buruh dilancarkan terhadap perwakilan kolektif klas kapitalis, yakni kekuasaan negara.
Dalam perjuanganekonomi, kaum buruh mempertahankan kepentingan-kepentingan jangka pendek/sehari-hari, dimana kadang-kadang yang diperjuangkan kepeningan sehari-hari oleh berbagai kelompok buruh yang terpisah-pisah. Sementara dalam perjuangan politik, kaum buruh memperjuangkan kepentingan-kepentingan klas secara umum.
Jika perjuangan ekonomi dipisahkan dari perjuangan politik, kaum buruh hanya akan meraih kesadaran serikat buruh-isme, dimana meeka hanya mencapai reformasi-reformasi di dalam sistem kekuasaan dan penghisapan kapitalis; sementara itu dalam perjuangan politik yang dipimpin oleh partai Marxis, klas buruh dapat meraih kesadaran klas dan kesadaran sosialis proletariat yang terjadi, dapat meraih pemahaman kepentingan klas yang fundamental, dapat mencapai misi historis dan tujuan revolusioner.
Perjuangan ekonomi menyediakan kesempatan proletariat dengan organisasi-organisasi meluas seperti serikat-serikat buruh yang sekedar mencurahkan komitmen mereka pada satu atau segelintir isu; perjuangan politik menuntut proletariat untuk membentuk partai politiknya sendiri, yang menghimpun kekuatan-kekuatan yang memilik pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan klas proletariat yang mendasar dan program yang jelas untuk menjalankannya
Perjuangan ideologis juga merupakan perjuangan klas proletariat yang sangat penting. Untuk bisa membangkitkan daya juang klas buruh, baik dalam perjuangan ekonomi dan politik, maka kita harus menyadari/memahami kepentingan-kepentingan klas yang mendasar. Teori sosilisme ilmiah memberikan kesadaran/pemahaman tersebut kepada klas buruh. Ia membongkar hukum-hukum yang menggerakan perkembangan sosialisme, hukum-hukum perkembangan kapitalisme dan menunjukan jalan dan cara perjuangan untuk membebaskan diri dari penghisapan dan penindasan untuk mencapai sosialisme. Perjuangan teoritis dan ideologis klas pekerja, perjuangan partai-partainya ditujukan untuk membebaskan kesadaran buruh dari ide-ide dan prasangka-prasangka borjuis. Pengenalan ideologi sosialis Marxis kepada gerakan klas pekerja akan meningkatkan perjuangannya mencapai tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu bentuk ideologis dari perjuangan klas sangatlah esensial bagi kemenangan final klas proletar dalam bentuk lain dari perjuangan klas.
Dalam jalanya perjuangan ini klas-klas memperoleh bentuk politis dan ideologisnya. Jalannya perjuangan klas yang kompleks ini mentrasformasikan klas-klas tersebut dari obyek sejarah yang bersifat pasif menjadi subyek yang aktif dan sadar sebagai pencipta sejarah. Dari sekedar klas sebagai obyektif dalam dirinya menjadi klas sebagai kesadaran atas dirinya.
Marx menulis bahwa “Kondisi ekonomi pertama-tama mentrasformasikan massa rakyat menjadi kaum buruh. Penggabungan modal telah menghadapkan massa rakyat kepada situasi dan kepentingan yang sama. Massa rakyat telah menjadi sebuah klas yang kepentingannya berhadapan dengan kapital, akan tetapi mereka belum memiliki kesadaran klas. Dalam perjalanannya (perjuangannya) … masa-massa rakyat kemudian menyatukan dan membentuk dirinya sebagai klas yang sadar atas dirinya”.
Selama proses pembentukan klas untuk menjadi subyek yang aktif, maka peran yang sangat penting dimainkan dengan munculnya organisasi-organisasi politik, khusunya kemunculan partai-partai politik. Perjuangan klas menemukan perwujudannya yang paling nyata melaui perjuangan partai-partai politik. Partai-partai politik mengekspresikan kepentingan-kepentingan klas dan memimpin perjuangan mereka.
Partai-partai berbeda dengan klas dalam hal bahwa partai-partai (1) bukan meliputi seluruh klas namun hanya merupakan perwakilan sebagai bagian dari klas—istilah partai berasal dari kata latin pars (partis) yang artinya adalah satu bagian; dan (2) menyatakan hasil dari penggabungan perwakilan-perwakilan klas yang paling sadar dan aktif dalam bentuk gagasan-gagasan dan cita-cita politik yang tegas, dimana klas-klas itu sendiri lahir secara spontan sebagai akibat dari perkembangan ekonomi masyarakat. Dengan demikian partai muncul hanya setelah sebuah klas lahir/terbentuk.
Para ideolog borjuis dan juga ideolog kaum reformis/revisionis berupaya mengaburkan kaitan antara partai dengan klas. Banyak ahli sosilogi borjuis yang mengikuti tafsiran seorang sosiolog Jerman Marx weber yang membagi masyarakat menjadi tiga entitas tatanan yang terpisah satu sama lain, yaitu: ekonomi, sosial, dan politik. Mereka menempatkan klas sebagai bagian dari entitas/tatanan ekonomi. Apa yang mereka namakan sebagai kelompok status adalah sebuah pengelompokan yang mendasarkan dirinya pada tingkat kemampuan mereka dalam memegang kekuasaan di masyarakat. Mereka menempatkan kelompok-kelompok status ini sebagai bagian dari tatanan sosial, sementara itu lembaga-lembaga kepartaian ditempatkan sebagai bagian dari tatanan politik. Cara pandang seperti ini telah menempatkan partai sebagai entitas yang terpisah dari klas.
Tentu saja pembagian masyarakat ke dalam partai tidak selalu seiring dengan pembagian masyarakat ke dalam klas-klas. Sebuah klas yang ada dalam masyarakat sering diwakili oleh tidak hanya satu melainkan oleh sejumlah partai yang tidak hanya mengekspresikan kepentingan klas secara umum, namun juga berbagai kepentingan kelompok yang terdapat dalam sebuah klas.
Sebuah partai proletariat merupakan bagian yang paling maju dan yang paling aktif dari klas buruh yang secara politik terorganisir. Partai Proletariat merupakan elemen pelopor dari suatu klas. Yang membedakan elemen pelopor dari mayoritas kaum buruh adalah bahwa yang terakhir ini tidak sepenuhnya mencapai tingkat kesadaran klas. Hal ini dikarenakan fisik dan mental mereka sudah dihancurkan oleh kondisi kerja yang melingkupi mereka. Bahkan serikat buruh, yang merupakan bentuk organisasi yang paling sederhana dan yang paling mudah dipahami oleh elemen-elemen buruh yang terbelakang sekalipun, tidak mampu menjangkau proletariat secara keseluruhan. Oleh karena itu, selama kapitalisme tetap bercokol (bahkan ketika memasuki tahap transisi dari kapitalisme menuju sosialisme) kita tak boleh berilusi bahwa garis pembatas antara elemen pelopor klas pekerja dengan seluruh klas akan melenyap secara otomastis. Garis pembatas ini akan terhapus hanya jika masyarakat sosialis terwujud.
Sementara itu bentuk-bentuk organisasi proletar lainnya, seperti serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok kebudayaan dan pendidikan buruh dll, tetap dibutuhkan dalam perjuangan klas. Akan tetapi organisasi semacam itu tak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang mendasar yakni persoalan penghapusan sistem kapitalisme dan melancarkan sebuah revolusi sosialis. Hanya sebuah partai Marxis yang merupakan organisasi klas proletar yang tertinggi yang mampu menyatukan seluruh aktifitas kaum proletar dan memimpin mereka kepada tujuan revolusi sosialis.
Namun disamping adanya partai-partai revolusioner, kita juga dapat menjumpai adanya sejumlah partai reformis dibeberapa negri kapitalis. Reformis bukanlah fenomena yang bersifat kebetulan dalam kancah gerakan klas pekerja. Reformisme merupakan produk yang tak terelakan dari gerakan buruh yang spontan. Namun disini kita harus membedakan antara dua bentuk reformisme. Salah satu bentuk reformisme tetap meyakini adanya antagonisme kepentingan antara buruh dengan para majikan mereka dan meyakini bahwa kaum buruh tak akan memperoleh apapun dari kaum kapitalis tanpa perjuangan. Walaupun demikian, horizon mereka terbatas pada tujuan untuk mencapai perbaikan-perbaikan dalam pengupahan, kondisi kerja dan kebebasan dalam batas-batas sistem kapitalisme. Reformisme jenis ini –reformisme perjuangan klas– muncul secara spontan dari pengalaman sehari-hari secara langsung dari mayoritas klas buruh.
Bentuk reformisme lainnya yang terdapat dalam gerakan klas pekerja muncul dari jaminan yang diberikan oleh kapitalisme monopoli. Dengan laba besar yang mereka dapat, mereka bisa menyediakan kondisi kerja yang nyaman kepada sebagain kecil pekerja (biasanya adalah pekerja trampil, pekerja laki-laki dan yang terorganisir dalam serikat buruh). Dengan demikian kaum kapitalis monopoli dapat menyuap sebagian kecil kaum pekerja dan ini memberikan keuntungan material bagi mereka ditengah-engah persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di pasar tenaga kerja. Keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada lapisan atas klas pekerja ini—aristokrasi buruh—kemudian memunculkan perspektif reformisme kerjasama antar klas (class collaboratorist reformism), yaitu pandangan bahwa kepentingan kaum kapitalis dan kaum buruh upahan pada hakekatnya selaras, tidak bertentangan. Dengan demikian, menurut pandangan ini kaum buruh dapat memperbaiki kondisi kehidupan mereka dengan cara bekerja sama dengan kapitalis sehingga bisnis mereka akan lebih menguntungkan. Pandangan-pandangan ini memberikan landasan bagi dominasi kepemimpinan oleh birokrasi serikat buruh atau kaum karier-ist borjuis kecil di dalam gerakan klas pekerja.
Keragaman watak yang terdapat dikalangan klas pekerja memungkinkan munculnya beragam pandangan dan aspirasi dari berbagai kelompok di dalamnya. Dan pada tiap tahap perjuangan klas, perbedaan-perbedaan pandangan ini semakin intensif dan bisa memunculkan penyimpangan, baik itu penyimpangan yang bersifat kekiri-kirian maupun penyimpangan dan kecenderungan oportunisme kanan.
Proses dialektika yang terjadi pada gerakan revolusioner yang tumbuh pada akhirnya merangsang keterlibatan lebih banyak lapisan dari kalangan klas pekerja dan khususnya juga dari strata sosial lainnya (sebagai contoh adalah keterlibatan borjuis kecil). Perkembangan ini tentu saja positif sifatnya, akan tetapi pada saat bersamaan ini juga bisa memancing sektarianisme kekiri-kirian ataupun oportunisme dalam gerakan sosialis.
Oportunisme merupakan bentuk perkembangan ideologi dan politik gerakan sosialis ke kesadaran dan politik reformis yang muncul dari gerakan buruh yang spontan. Kecenderungan ini mengakibatkan perbedaan-perbedaan kualitatif dalam bidang ideologi, politik dan organisasi antara keduanya. Sementara itu, sektarianisme kekiri-kirian merupakan akibat dari upaya kelompok-kelompok kecil sayap kiri yang menjalankan aksi dan memegang prasangka dogmatik karena kesukaran yang mereka hadapi dalam memainkan politik revolusioner dikalangan massa buruh.
Oportunisme dan sektarianisme kekiri-kirian berasal dari akar klas yang sama. Keduanya muncul dari ketidaksabaran, inkonsistensi dan kebimbangan yang melanda intelektual borjuis kecil radikal dan kaum buruh yang berhasil mereka pengaruhi. Psikologi radikal borjuis kecil bisa menggiring orang untuk merancang slogan-slogan super-revolusioner dan aksi-aksi petualangan. Dengan demikian mereka memisahkan diri dari gerakan massa karena hal itu dianggap tidak memuaskan idealisme romantik dan prasangka-prasangka dogmatik yang mereka anut. Jika super-radikalisme itu tidak memperoleh hasilnya, maka para revolusioner borjuis kecil itu menyerah/takluk pada kesadaran dan politik reformis dari gerakan buruh yang spontan.
Perbedaan-perbedaan internal yang terdapat dikalangan klas pekerja dan politik kerja sama antar klas yang dianut oleh birokrasi serikat buruh sering dimanfaatkan oleh borjuis sebagai alat memperlemah gerakan klas pekerja. Akan tetapi meskipun untuk sementara waktu, kaum borjuis di sejumlah negri berhasil menghambat laju perjuangan klas mereka tak punya kekuatan untuk menghentikannya.
Perjuangan klas merupakan hukum dasar yang menggerakan perkembangan masyarakat ber-klas. Hukum yang ditemukan oleh Marx dan Engels ini menunjukan bahwa:”…seluruh perjuangan yang terbentang dalam sejarah, apakah itu yang bertitik tolak dalam bidang politik, agama, filsafat dan wilayah-wilayah ideologis lainnya, tak lebih dari perwujudan perjuangan klas-klas sosial dan bahwa kesadaran dari klas-klas ini serta perbenturan yang terjadi diantara mereka sangat ditentukan oleh tigkat perkembangan posisi ekonomi mereka, oleh corak produksinya dan pertukaran yang ditentukan oleh corak produksi yang bersangkutan”. Engels menekankan bahwa hukum ini memiliki arti yang sangat penting bagi ilmu sejarah untuk memahami perkembangan masyarakat berklas, sebagaimana arti penting kita memahami hukum kekekalan energi untuk memahami ilmu pengetahuan alam.
Diedit pada tanggal 3 Juni 1999
Jam 12.25 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar