Merupakan
menetapkan akan keberadaan Sang Illah yang tak terhingga akan kekuasaan-Nya.
Tak ada yang pantas memperoleh pujian hanya milik-Nya semata. Allah tentu merupakan nama suatu hakekat, atau
keniscayaan yang bersifat mutlak. Maka
dari itu, Nama itu hanya pantas
diperuntukan bagi Tuhan. Dia adalah Zat yang abadi dan kekal. Dia adalah Maha
Mutlak. Dia adalah yang Maha Nyata. Dia adalah Totalitas. Nama Allah yang
disebut sebagai Ism Al “Izzah yang merupakan nama Yang Khusus bagi-Nya. Dalam
hadis menyatakan bahwa” bagi Tuhan
memiliki 99 nama”, yang secara keseluruhan dinamakan al-Asma al-Husna
(nama-nama yng terbaik) dan nama tersebut terbagi dua jenis : Asma al-Zat (Nama
Esensi) dan Nama Al –Shifat ( Nama Sifat). Al- Awwal (57:3), al-Akhir (57:3),
al-Ahad ( 112:1), al-Badi”( 2:117), al-Bari (59:24), dan lain-lain. Hal ini
menandakan bahwa Dia Yang Maha Pantas
“al-Muqsit” ( 21:47) untuk memiliki keagungan, karena Dia Maha Agung “
al-Azhim”. Dia penerima taubat karena Dia Maha taubat “ al-Tawaab” ( 2:37). Dia
adalah Yang Maha Benar “ Al-Haqq” karena dia memiliki kebajikan “ al-Khabir (
6:18) dan Yang Tunggal “ al-Wahid (74:11)
Menurut
Muhammad Busyrah menyatakan : Nama “Allah” tersusun empat hurup yang dibaca
Allah. Jika hurup pertama dihilangkan terbaca Lillah (untuk atau kepada Tuhan
). Jika hurup berikutnya juga dihilangkan terbaca lahu (untuk-Nya atau
kepada-Nya). Dan jika hanya tinggal ha
terbaca hu (Dia) yang merupakan Nama Esensi atau Hakikat. Dengan cara yang
sama, maka ketika engkau berdoa atau berzikir dengan menyebut Nama Allah,
niscaya secara bertahap Nama tersebut akab melarut di dalam dada. Seperti
inipula perihal kematian seseorang dimana nyawanya ditarik sampai ujung napas,
dan akhirnya nyawa lepas meninggalkan badan dengan hembusan nafas yang
terakhir.
Dalam Al-Quran, menerangkan Allah dalam
sejumlah ayat dengan sangat Indah :
“Allah.Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup Lagi kekal abadi. Tidak
Pernah ngantuk dan tidur. Kepunyaannya apa yang ada dilangit dan di bumi.
Siapakah yang dapat memberi safaat disisi Allah tanpa Izin-Nya ?. Allah
Mengethaui semua yang dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka. Sedang
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan terhadap apa yang
dikehendaki-Nya. Singgasana Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi serta maha besar. (
ayat Kursiy, 2:255)
“ Dia adalah Allah. Tiada Tuhan
selain Dia. Maha mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia Maha Pemurah serta
Maha Penyayang. Dia adalah Allah. Yang tiada Tuhan selain Dia. Dia raja yang
menguasai segala kesucian, segala kesejahteraan, Yang Memberi Keamanan, Yang
Maha Memelihara, Maha Kuasa, dan Pemilik segala Keagungan. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan. Dia adalah Allah. Yang Maha menciptakan,
Mengadakan dan Yang memebentuk segala rupa. Pemilik nama-nama yang paling baik.
Seluruh yang ada dilangit dan di bumi bertasbih kepada_nya. Dia Maha Perkasa
serta Maha Bijaksana ( Qs. 59:22)
“ Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, supaya kamu pergunakan
sebagai penunjuk jalan dalam kegelapan didunia dan dilaut. Telah Kami jelaskan tanda-tanda
(kebesaran) Kami bagi orang-orang yang mengetahui dan paham (QS 6:97)
Tak
ada alam yang bukan kepunyaan-Nya. Sehingga bagi siapapun yang mengelola
alam-Nya harus bersyukur hanya kepadanya. Tak ada alam
tanpa kehadiran-Nya dan campur tangan-Nya. Tentu bentuk syukur akan terpancar dari akhlak
keseharian dan aqidahnya.
Bagi
para hamba yang menyakini akan kepemilikan-Nya, tak ada pemahaman akan
menghimpun segenap kekayaan hanya terpusat bagi diri dan keluarganya, sementara
disampingnya tergeletak dan terkapar para hamba yang kelaparan, kehausan dan
kedinginan. Begitupun ia tak akan menggusur, menelantarkan dan melakukan
kekerasan hanya karena atas nama “kekuasaan”
dan atau “pembangunan”. Ia tak akan menjual kejujuran dengan kebohongan.
Keserakahan, kedengkian, kedholiman, dan ketidak adilan, namun akan dipendamnya
menjadi penghormatan dan perlindungan. Dan ia tak akan mempertontonkan kekayaan
di depan kaum mustad’afin. Karen ia sadar bahwa perampasan dan pemaksaan atas
harta yang bukan haknya adalah kekeliruan besar. Bahkan lebih jauh baginda
Rasullullah mengecamnya seperti dalam salah satu hadis dari Abu Hurairah R.A.
katanya Rasulllah S.A.W. bersabda : “ tiap-tiap
seseorang mengambil sejengkal dari tanah yang bukan haknya, niscaya akan
dikalungi oleh Allah dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat. Sementara dalam
hadis lain bagi para korban yang memperjuangkan menuntut dan mempertahankan
hak-haknya akan memperoleh kedudukan yang sangat mulia, seperti dalam hadis
dari Abu Hurairah r.a. katanya : “
Datanglah seseoarang kepada Rasulllah s.a.w. lalu bertanya : “ Apakah yang ku
perbuat terhadap seseorang yang datang untuk
merampas harta saya ? “ Jawab rasulullah s.a.w. : “ Jangan berika harta anda ! “ Jika ia hendak membunuh saya
?’ Jawab Rasulullah s.a.w. “ Bunih pula dia !’ Kata orang itu lagi : “ Kalau
saya mati ?” Jawab Rasullah : “Anda Sahid.”
Untuk
itu dalam surat Al-anfal, 8:-4 ciri orang yang beriman adalah “ sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, mereka
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafakahkan sebagian dari
rizeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebanar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi
Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.
Sementara
bekenaan dengan perlakuan yang membaca kaum mustad ‘afin sebagai objek
eksploitasi, objek politisasi dan perbudakan tentu dilarang keras
keberadaannya. Seperti dalam surat Al An’am ayat 145 mengatakan haram hukumnya “memakan darah yang
mengalir”. Ayat ini dengan tegas
melarang proses penghisapan antar manusia hanya karena dia memiliki kekuasaan ,
jabatan dan harta. Begitu juga melarang sistem yang dirancang hanya diperuntukan bagi keuntungan
segelintir orang, dan menelantarkan banyak warga. Dalam surat An-Nisa
menyatakan bahwa “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling
memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil” ( 4 :29)
Al-Bathil
berasal dari al-buthl dan al-buthlan yang berarti kesia-siaan dan kerugian.
Artinya mengambil sesuatu tanpa disertai dengan keikhlasan, keridhoan. Dan
memperkerjakan orang dengan tanpa pemenuhan hak-hak yang dimiliki para pekerjaan
adalah bentuk al-bathil. Begitupun merampas, mengusur dan menguasai kekayaan dalam segala jenisnya yang tidak
tercatat hak kepemilikannya namun menurut hukum
diperuntukan bagi para mustad’afin ( kaum lemah dan tertindas)
tentu wujud al-Bathil. Padahal menurut Ash-Shahihain diriwayatkan, bahwa
Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya Islam yang paling utama dan paling baik
ialah memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah engkau
kenal maupun belum engkau kenal”. Lebih jauh makna dari hadis ini adalah Islam
merupakan agama yang melarang akan pemusatan kekayaan dalam segala jenisnya.
Namun memerintahkan untuk mendistribusikan atau melakukan penataan ulang atas
pemusatan kekayaan alam dalam segala jenisnya kepada mereka yang memilik hak
atas itu ( kaum mustad’afin). Hal ini dengan alasan umat Islam adalah umat yang
adil seperti dalam surat Al-baqarah ( 2 : 143.) yang artinya “ Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil”. dan dalam
banyak ayat, Allah Ta’ala memerintahkan supaya menegakkan keadilan, diantarnya
seperti dalam ayat Al-Maidah (5:8) artinya “ Berlaku adilah, karena adil itu
lebih dekat dengan takwa”. Dalam surat An-Nisa (4:135) artinya “Jadilah kalian
orang yang benar-benar menegakkan keadilan,” dalam surat Al-Hujurat (49-9)
menyatakan bahwa “ maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adilah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Dan orang
yang menyebarkan penghisapan , perbudakan pada manusia, melakukan ketidak adilan,
menggunakan hukum untuk melindungi dan menjaga diri dan kekayaan, menumpuk
kekayaan demi keuntungan yang terakumulasi pada kepentingan diri bukan
menafkahkan hartanya dijalan Allah maka mereka sebenarnya telah kembali ke
belakang sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka seperti dalam surat Muhammad
(47 :25) menyatkan “ Sungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada
kekafiran ) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan
mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka, “.
Lebih
jauh lahirnya kepemimpinan yang hanya menjadi bagian dari pemilik modal dan
pasar yang hidupnya mengklaim demi rakyat dan untuk rakyat, namun ia
menghianati rakyat dijelaskan dalam hadis dari Ma’qal bin Jasar Almuzani.
Katanya : Saya dengan Rasullullah S.A.W. bersabda “ tiap-tiap hamba Allah yang
diserahi kepemimpinan rakyat, sedangkan dia curang kepada rakyatnya itu, maka
Allah akan mengharamkan surga baginya.
Zakat yang termasuk dalam Ar-arkan Al-Islam bukti
kongkrit bahwa ketimpangan akan penguasaan atas kekayaan dalam segala jenisnya
akan terjadi. Dan ketimpangan ini lebih
disebabkan oleh sistem yang zulm. Dan bangkitnya kepemimpinan zulm tentu
fasca meninggalnya beliau (Rasulullah).
Di Era Rasulullah merupakan era ideal Islam
terwujud dengan amat sempurna. Muhammad dengan ajaran-ajarannya mendorong
penghormatan dan pembebasan pada kemanusiaan. Hal ini terlihat para pemeluk
agama Islam yang pertama diantarnya para budak-budak, mawali (budak yang telah
dimerdekakan) seperti Bilal, Syu’aib, Salman, Zaid ibn harithah, Abdullah ibn
Mas’ud, dan Ammar ibn Yassir, (Al-Jamiah, 432: 2005)
Dan
kemiskinan bukanlah dari Tuhan, namun ia lahir dari keserakahan. Hal ini
dijelaskan dalam surat an-Nisa “ sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang
walaupun sebesar dzarrah “ ( 4:40)
Manusia tanpa Tuhan maka ia akan
hidup hanya demi dirinya. Semua harta yang terkumpul dalam dirinya,
diperuntukan bagi kebahagian dan kecukupan nya. Mengangkat harkat dan martabat
kaum mustad’afin di klaim bukan sebagai upaya menafakahkan hartanya di jalan
Allah. Lebih jauh Semua di baca dengan bacaan “untung dan rugi”. Bukan sebagai
bentuk pengabdian pada Sang Maha Tunggal dan Tak Terhingga.
Menelusuri manusia, Manusia dalam terminology arab disebut insane yang
berasal dari kata nasiya yang berarti pelupa. Dilalah tersebut menunjukan adaya
potensi yang erat dengan kesadaran dirinya. Abu tamam dalam salah satu syairnya
yang dikutip Mahmud al-‘aqad mengatakan “ janganlah kau lupakan perjanjian itu,
engkau dinamakan insane karena engkau pelupa.
Kata insan jika dilihat dari asalnya
al-uns atau anisa dapat berarti jinak. Sehingga binatang yang jinak dapat
disebut anis seperti sebutan bagi kucing. Dalam Al-qur’an kata al-insan sering
di pakai dalam kaitannya dengan kata al-jinni, sehingga al-jinni sering dan
dapat di artikan sebagai lawan dari kata anisa (jinak).
Kata insane dalam al-qur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 32 ayat,
sedangkan kata ins di sebut 18 kali dalam 17 ayat, kata al- ans disebut 241
kali dalam 225 ayat. Kata unasi disebut 5 kali dalam 5 ayat, kata anasi dan
insiyya masing-masing disebut 1 kali dalam 1 ayat,.
Bahkan dalam al-qur’am manusia juga sering disebut basyar dalam beberapa kalimat dalam bahasa
revilasi. Dan penggunaan kata basyar ini seringkali menginformasikan pengertian
yang dimaksud dengan kata tersebut yaitu anak adam yang memerlukan makan,
tinggal dalam ruang dan waktu yang letak geografisnya khusus sesuai dengan
kondisi tubuhnya, biasa sakit, maut dan bahagia. Dan dalam
al-qur’an kata basyar di ulang sebanyak 32 jkali dalam 3 ayat.
Dengan demikian, manusia memiliki potensi dasar melakukan kejahatan selain kebaikan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yakni memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemenuhan itu seringkali mendorong untuk melakukan berbuat zulm. Padahal kekayaan yang dimilikinya bukanlah lahir dari dirinya semata, namun investasi dari para budak yang dipekerjakannya, diperintahnya, diekploitasinya dan ditindasnya. Padahal menempatkan kaum tertindas dalam kemuliaan dan penghormatan merupakan pintu menuju keridhoan-Nya. Seperti ditegaskan dalam suatu hadis dari Ibnu Umar ra. Rasulullah Saw. Bersabda “Setiap sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin dan orang-orang fakir (HR. Ibnu La-al).
Hampir seluruh sirah nabawiyah ,
pembebasan-pembebasan masa buruh dan atau para budak di beberapa kota mekah menjadi berita yang hangat. Bahkan dari
mulai diangkatnya Muhammad sebagai
utusan Allah, bahkan sampai berakhirnya alam ini berita pembebasan manusia dari penindasan,
penghisapan dan ekploitasi masih mewarnai lembaran ayat yang harus dibumikan.
Tentu pembebasan masa kaum mustad ‘afin dilakukan tidak hanya diarahkan kaum
yang memiliki kekayaan, namun harus
menjadi sikap politik penguasa dan atau imamah . Dan
kaum mustad ‘afin yang memadati lembaran suram masa depennya harus
menjadi perhatian semua unsur, bukan hanya dicatat menjadi sebuah dokumentasi
yang akan mengalirkan uang lembaran bagai kepentingannya.Sementara kaum miskin
terus hidup dalam kemiskinan.
Dalam sebuah Hadist yang dari Abu Darda ra.
Rasullah Saw bersabda “ Sampaikanlah hajat orang yang tidak mampu dengan
menyampaikan keperluannya kepada penguasa. Siapa saja yang menyampaikan
keperluan (orang tersebut) kepada penguasa, kelak dihari kiamat Allah Swt. Akan
menetapkan kedua telapak kakinya di atas Shirathal mustaqim ( HR. Ath Thabrani).
Namun upaya Baginda beserta para
pejuangan Al-Haq memperoleh Berbagai kecaman dari penguasa di lontarkan dan
teriakan oleh Abu Jahal, Abu Lahab dan
sahabatnya menolak ajaran-Nya. dari
kursi kemiskinan itu Nabi Muhamad melawan berbagai perlakuan pembumi hangusan
martabat manusia oleh kekuasaan. Bahkan selanjutnya tuntutan itu diikuti oleh
para budak yang telah merdeka , bila tuntutan para buruh tak dikabulkan.Bahkan
akibat kemarahan yang tak terkendali, beberapa para budak buruh mengekpresikan
amarahnya melalui pembangkangan menolak berbagai perlakukan diskriminatif,
penghisapan dan pengkerdilan . Bahkan akibatnya para budak itu di tangkap oleh pihak penguasa abu jahal.
Potret kekerasan dan perampasan hak kemanusiaan dan keringat para pekerja akan
terus hidup dan dihidupkan oleh orang yang menghimpun kekayaan untuk dirinya
semata. Dan potret kebangkitan penghisapan itu telah diingat oleh baginda Rasulullah dalam sebuah hadis dari Abi Hurairah ra.
Rasullah Saw. Bersabda “ Kan datang
kepada manusia suatu zaman, dimana zaman
tersebut seseorang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah
dari hasil yang halal ataukah dari hasil yang haram (HR, Bukhari)
Pertentangan Kelas dan
Perjuangan Kelas
Dengan ayat itu tentu dilalah
lain yang harus dipahami adalah bahwa dibumi ini seringkali terjadi pertarungan
antara kaum tertindan dan kaum penindas. Dan potret kecenderungan pertarungan itu
memiliki usia yang sangat jauh seperti pertentangan antara syetan dengan adam.
Syetan yang mengklaim berada di klas
yang tertinggi sementara adam berada di klas yang terendah. Namun pertentangan
itu dipastikan oleh Sang Maha Tak Terhingga bahwa hanya Dia (Allah SWT) yang
pantas dan berhak sebagai pemilik atas alam beserta isinya. Dan semua selain
dirinya adalah sama, tak ada perbedaan. Tentang sejarah semua sususan
masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah pertentangan kelas dan
perjuangan kelas, itu telah dikemukakan Al Quran melalui surat Al Mukminun
(53), Al Qashash (5-6) dan Ar Ra’du (11):
Al Mukminun 53: Mereka terpecah-belah sesamanya tentang
urusannya, menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan gembira dengan yang
ada pada mereka.
Al Qashash: 5-6: Dan kami hendak memberikan karunia
kepada orang-orang yang tertindas (mustadahin atau dhuafa) di bumi dan hendak
menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi.
Ar Ra’du 11: Sesungguhnya Allah tiada akan mengubah
keadaan suatu kaum, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
Ketiga surat-surat di atas
bila dibaca dengan serius, mengandung petunjuk bahwa masyarakat manusia tidak
satu lagi, tetapi telah terpecah-pecah dalam dua klas, yakni yang menindas dan yang tertindas. sementara
Tuhan dalam hal ini terang-terangan memihak kepada kaum yang tertindas. Itu
tercermin dari janji Tuhan dalam Al Qashash (5-6). Melalui surat Ar Ra’du 11 cukup jelas
dikemukakan, bahwa keadaan mereka yang tertindas dan miskin tetap akan
tertindas dan miskin, bila mereka sendiri tidak bangkit melemparkan belenggu
yang dililitkan kaum penindas atas leher mereka. Usaha kaum atau perjuangan
kelas dari kaum tertindas sendirilah yang menentukan terjadinya perubahan.
Bantuan dari luar berupa sedekah, infak, zakat bukan faktor yang menentukan
untuk terjadinya perubahan yang mendasar.
Perjuangan kelas seperti yang
dikemukakan surat Ar Ra’du 11 itu untuk membebaskan kaum yang tertindas dari
penindasan yang mereka alami, lebih dipertegas tentang pentingnya pembebasan
mereka itu dalam surat An Nisa ayat 75.
Mengapa tiada kamu mau berperang pada sabilillah dan untuk (membebaskan)
orang-orang yang lemah di antara laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak,
sedang mereka itu berdoa: Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
yagn aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang Wali dari sisiMu dan
adakanlah untuk kami yang mengurus pekerjaan dari kamu.
Imbauan berperang untuk membebaskan orang-orang yang
teraniaya dari surat Annisa 75, menunjukkan Tuhan mengizinkan jalan kekerasan
guna menegakkan keadilan. Malah dalam surat Al Hajji ayat 39 dengan tegas
dikatakan: “Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi,
disebabkan mereka teraniaya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.
Islam menentang kekerasan yang tidak adil. Seperti kekerasan untuk menjajah
negeri lain, untuk merampas harta orang lain, atau yang menimbulkan bencana
pada orang lain.
Hadis
Nabi Muhammad Saw juga mengatakan: Bila engkau melihat kemungkaran ubahlah dengan
tangan (kekuatan, kekerasan), dan bila tidak mampu, ubahlah dengan lidah
(kritik, nasehat) dan bila tidak mampu juga, ubahlah dalam hati dan itulah
selemah-lemahnya iman. Bagi yang imannya kuat, kemungkaran harus diubah dengan
tangan.
Agama dan manusia
Membaca agama, terdapat
empat hal yang terpenting: pertama keyakinan, kedua, upacara,ketiga, pengalaman
hidup beragama, dan keempat komunitas para pemeluk agama. Dan dalam Islam ke
empat elemen itu diyakini bersumber pada bahasa revilasi yang di wahyukan
melalui nabi yang teakhir. Tapi bagaimana masyarakat memahami nilai-nilai
tersebut sangat beragam, tergantung dari system social dan struktur social yang
membingkainya. Bahkan kalau membaca bacaan Greetz walaupun teorinya memperoleh
kritikan tajam dari para ahli. Bahkan di klaim geetz tak berhasil memahami
nilai sociol religius masyarakat jawa yang sangat komplek, menggolongkan
pemahaman pengalaman keberagamaan di jawa menjadi tiga kategori yaitu :
abangan, santri, dan priyayi
Sementara Menurut C.y Glock dan R Stark (1960) setiap
agama paling tidak memilki lima dimensi yaitu : Ritual, mistikal, intelektual,
idiologikal dan social. Dan unit-unit ini merupan hal terpenting untuk membaca
dan memahami agama dalam kontek universal. Artinya lima elemen itu sebagai
kerangka dasar pengabsahan agama langit. Karena dalam perkembangan wacana para
pemerhati agama, klaim perkembangan agama ada dua yakni agama langit dan agama
bumi. Menurut jalaluddin rahmat (1993) yang dimaksud dengan ritual berkenaan
dengan upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius seperti sholat, . Dimensi mistikal. Menunjukan pengalaman
keagamaan yang meliputi paling tidak tiga aspek : concern, cognition, trust dan
fear. Yakni keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang
Maha Kuasa. Dimensi Idiologi; mengacu pada serangkaian kepercayaan yang
menjelaskan eksistensi manusia vis-à-vis Tuhan dan Mahluk Tuhan yang lain. Pada
dimensi inilah misalnya, orang islam memandang manusia sebagai kholifatullah
fil ardh, dan orang islam di pandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan
amar Allah di bumi. Dimensi intelektual menunjukan pemahaman orang terhadap
doktrin-doktrin agama dan kedalamnnya tentang ajaran-ajaran agama yang
dipeluknya. Dimensi social, disebut glocak dan strark sebagai konsekwensional
.dimensi adalah manipestasi ajaran agama dalam kehidupan ber masyarakat. Ini
meliputi keseluruhan yang didefinisikan oleh agama.
Namun dalam memahami agama, J.P
Williams mengatakan bahwa dalam keagamaan setidak-tidaknya ada empat tipe tingkatan
keagamaan. Yaitu pertama tingkatan rahasia, kedua tingkatan pribadi, ketiga
tingkatan dominasi dan ke empat tingkat masyarakat. Tingkat rahasia yaitu
fenomena pemahaman seseorang dalam memegang ajaran agama yang dianut dan
diyakini itu untuk dirinya sendiri, dan tidak untuk dipublikasikan melalui
dialektika dengan komunitas lainnya. Tingkatan privat yaitu fenomena dinamika
dialektika dengan komunitas sebagai penyebaran dalam kenyakinan beragama. Dan
kontek ini dilakukan untuk meningkatkan spiritualitas soaial. Tingkat dominasi,
yakni kesamaan keyakinan dalam beragama dengan komunitas yang lainnya bahkan
dalam jumlah yang mayoritas sebagai agama yang dijadikan justifikasi kehidupan.
Tingkat masyarakat, yakni individu menyakini dengan kesadaran apa yang
diyakininya sama dengan keyakinan yang di sepakati masyarakat secara makro.
Membaca agama baik sebagai spiritual social mapun spiritual transedental,
memiliki dimensi yang terpenting bagi manusia. Kontek ini akibat manusia tak hanya
mahluk peradaban, namun ia memilki potensi untuk menggunakan
kekuatan untuk melakukan penindasan ,
eksploitasi dan penguasaan.
Membaca manusia memiliki potensi yang komplek, maka agama menjadi hal yang
tak bisa dipisahkan. Bahkan esensi bagi peradaban manusia. Menurut Popenoe (1989) ada lima penting
peranan agama sebagai lembaga universal yaitu ; pertama, memberikan dukungan
dan pelipur yang dapat membantu mengatasi kehawatiran tentang masa depan yang
tidak menentu dan mencemaskan. Kedua, memberikan man dan tujuan bagi keberadaan
manusia. Ketiga, memungkinkan mentransedensikan realitas sehari-hari. Keempat,
membantu manusia megembangkan rasa identitas. Misalnya rasa kebersamaan dalam
berorganisasi. Kelima, membantu manusia selama menghadapi krisis yang terjadi
pada tahap transisi kehidupan. Bahkan peranan agama sebagai pemeliharan
stabilitas kehidupan social, Popennoe dapat: pertama mengikat masyarakat secara
bersama melaui ritual ibadah dan ketaatan pada kekusaan yang suci. Kedua
membekali masyarakat norma dan nilai-nilai dasar yang lebih penting dan juga
lebih dapat diterima masyarakat. Ketiga, membantu masyarakat mengawasi
penyimpangan social. Ke empat, menolong mendamaikan masyarakat terhadap
kekerasan dan ketimpangan.
Untuk itu penyatuan pengalaman keberagamaan manusia mampu menghantarkan
manusia menjadi mahluk yang dimuliakan oleh Allah (al-Isro:70)
Islam
agama pembebasan
Istilah
Tauhid vertikal (membersihkan kepercayaan) dan Tauhid sosial (berjihad
menghentikan penghisapan manusia antar manusia ) dua mata uang yang tak bisa
dilepas. Kedua areana itu sangat relevan
digunakan sebagai konsep menegakkan keadilan sosial, politik kesejahteraan, dan
pembumian memanusiakan manusia. apalagi setelah peranan kekayaan diklaim milik
pribadi ansich. Potret yang tak bisa
dipungkiri dari masa feodalisme, sampai hari
ini ketimpangan dan kesenjangan sosial semakin terasa dan perbedaan
kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Jarak antara yang kuat dan kaya
dengan yang lemah dan miskin semakin menyolok mata. Kaum dhuafa (lemah dan miskin)
terhimpit oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan hidup tanpa masa
depan.
Karena setiap gejala eksploitasi manusia atas
manusia pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Jurang
yang menganga lebar antara lapisan kaya dan miskin, yang selalu disertai
kehidupan yang eksploitatif merupakan fenomena anti tauhid.
Tegasnya mempertajam tauhid sosial atau nama lain dalam
kerangka mengangkat dan menempatkan manusia pada perlombaan kebaikan, berarti
mempertajam perjuangan menentang eksploitasi manusia atas manusia, sampai pada
tingkat perang pembebasan kaum yang teraniaya, seperti yang diperingatkan surat
Annisa 75.
Cukup jelas mengenai ajaran Islam, bahwa membanguan
keadilan sosial, mendirikan pemerintahan yang amanat, melahirkan imamah yang
tablig, sidik, fathonah, dan amanah menjadi pilihan penting. Karena dengan
kepemimpinan model itu dilalah-dilalah agama akan terasa pada ummah secara
universal. Karena berbagai model berlkehidupan feodalistim, miiteristik,
otoreter, dan liberalistik akan terkikis.
Membumikan Isi Al Quran
Tentu tak ada pilihan lain untuk menjaga
keharmonisa sesama manusia, dan alam selain mengimplementasikan ayat-ayat
Al-Qur’an. Dengan petunjuknya itu, maka umat manusia akan terbingbing pada
penciptaan kesetaraan, keharmonisan dan keseimbangan. Manusia yang biasa hanya
menghimpun kekayaannya untuk akumulasi dirinya semata harus berubah mewujudkan
keadilan. Menghilangkan ketimpangan dan keserakahan.
Perlunya Bergandengan Tangan
Bertolak dari terdapatnya titik-titik persamaan antara
Islam dan gerakan sosial, seharusnya yang terjadi ialah bergandengan tangan
antara islam dan gerkan sosial: dalam memerangi kapitalisme, dalam menegakkan
sosialisme, untuk terwujudnya di bumi masyarakat tauhidi, masyarakat tanpa
kelas.
Karena belum bergandengan tangan itulah, maka meskipun
janji Tuhan dalam Al Qashash (5-6), telah lebih 14 abad, juga belum membumi,
belum terbukti, yaitu menjadikan kaum tertindas sebagai pemimpin di bumi dan
mewarisi bumi. Malah yang terjadi sementara yang mengaku beragama Islam
memerangi gerakan sosial. Pada hakikatnya: memerangi gerakan sosial, sama
dengan “memerangi” membuminya tujuan Islam itu sendiri.
Sekiranya sementara umat Islam yang memerangi komunisme itu
karena ketidaktahuannya akan perintah dan larngan-larangan agamanya sendiri,
itu mudah dipahami dan menjadi kewajiban pemuka Islamlah untuk mengingatkan
mereka kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Tetapi jika yang mengerti isi Al
Quran, yang memerangi gerakan sosial, itu sebabnya satu diantara dua:
1. Mungkin mereka sengaja hendak menyembunyikan ayat-ayat
tersebut, untuk ditukar dengan sedikit uang atau keuntungan. Bila itu yang
mereka lakukan, itu bertentangan dengan surat Al Baqarah 174 dan 175. Siksaan
yang pedih bagi mereka di akhirat kelak.
2. Atau mereka tidak mengimani, mengingkari ayat-ayat tersebut.
Mereka hanya mengimani ayat-ayat yang lain. Mereka masuk ke dalam Islam tidak
secara keseluruhan, seperti yangf diminta surat Al Baqarah ayat 208. Bila
mereka hanya beriman kepada sebagian kitab dan ingkar atas sebagian lain, surat
Al Baqarah 85 sudah menunjukkan akibatnya bagi mereka, yaitu kehinaan dalam
kehidupan di dunia dan siksaan di hari kiamat nanti.
Semoga mereka yang memerangi islam itu hanya karena
ketidaktahuan mereka saja kepada ayat-ayat Al Quran dan bukan karena
menyembunyikan sebagian ayat-ayat Al Quran, apalagi hanya beriman kepada
sebagian Al Quran dan ingkar atas bagian lain.
Dengan bergandengan tangan antara Islam dan gerakan sosial
dalam memerangi kapitalisme, menegakkan sosialisme untuk terwujudnya masyarakat
Tauhidi di bumi, maka gerakan transformatif dapat diperikirakan akan berjaya.
Insya Allah.
Arahman Nirohim
Allah Maha pengasih dan Penyayang
a. Memerangi Kapitalisme
Islam cukup jelas menentang adanya
manusia mengeksploitasi manusia lain. Itu tercermin dari surat Al An’am ayat
145 yang mengatakan haram hukumnya “memakan darah yang mengalir”. Memakan darah
yang mengalir, bukan hanya secara harafiah, yaitu melukai kulit seseorang,
kemudian menghirup darah dari tempat yang dilukai, tetapi yang hakiki ialah
tuan budak memeras tenaga para budaknya, tuan tanah memeras tenaga hamba
taninya, kaum kapitalis “mencuri” tenaga kerja kaum buruh. Budak, tani hamba,
buruh tidak akan dapat diperas, bila darah tidak megnalir lagi dalam tubuh
mereka.
Begitu juga surat Al Baqarah
ayat 188 dengan tegas mengatakan: walaa
ta’kuluu amwaalakum baenakum bi al-bathil “janganlah sebagian kamu memakan
harta orang lain dengan batil (menindas, menghisap, merampas) dan (jangan) kamu
bawa kepada hakim (pembenaran melalui kebijakan, pengadilan, atas nama
kekuasaan), supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa
(tidak adil), sedang kamu mengetahuinya.
Dan yang lebih tegas lagi
adalah ayat 1-4 surat Al Humazah. Yang jelas-jelas mengutuk orang-orang yang
menumpuk-numpuk harta. Dan orang-orang yang menumpuk harta tersebut ialah kaum
kapitalis.
“Menghisap keringatnya orang-orang yang
bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan keuntungan yang
semestinya (dengan seharusnya) menjadi bagian lain orang yang turut bekerja
mengeluarkan keuntungan itu,--semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx
disebut memakan keuntungan ‘meerwaarde’ (nilai lebih) adalah dilarang
sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan ‘riba’
belaka. Dengan begitu maka nyatalah, agama Islam memerangi kapitalisme sampai
pada ‘akarnya’, membunuh kapitalisme mulai darui ‘benihnya’, oleh karena
pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan
‘meerwaarde’ sepanjang pahamnya Karl Marx, dan ‘memakan riba’ sepanjang
pahamnya Islam” (Penerbit Bulan Bintang, Jkt, 1954, hal: 17).
b.
Menegakkan Keadilan Sosial
Islam hendak menegakkan keadilan
sosial . Lihatlah surat Al Qashash ayat 5-6. Di sana dengan gamblang
dikemukakan janji Tuhan yang akan menjadikan kaum tertindas dan miskin
(mustadafhin atau dhuafa) sebagai pemimpin di bumi dan mewarisi bumi. Bila kaum
tertindas telah menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, tidak ada tempat
lagi bagi kaum mustakbirin (para tiran, bangsawan,priyayi, angkuh dan kaya)
untuk melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kaum mustadafhin. Keadilan
sosial tegak.
Masyarakat yang berkeadilan
sosial, adalah masyarakat transisi
menuju masyarakat Tauhidi, “umat yang satu” seperti yang dikemukakan surat Al
Mukminun ayat 52.
Umat yang satu, yang dimaksud
surat Al Mukminun ayat 52 ini, tentu umat yang tidak terpecah lagi dalam
kaum-kaum tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) dan kaum mustakbirin
(para tiran, angkuh dan kaya). Tentu bukan umat yang satu bila sementara lain
hidup dengan melimpah-ruah, sedang sementara hidup serba kekurangan. Umat yang
satu, baru ada, bila setiap orang mendapat menurut kebutuhannya, bukan lagi
menurut prestasi kerjanya, apalagi mendapat menurut “kontrak kerja” seperti
yang berlaku dalam sistem kapitalis.
Mengenai masyarakat Tauhidi
ini, Asghar Ali Engineer melalui bukunya “Islam dan Pembebasan” mengemukakan
bahwa Tauhid tidak hanya menyatakan keEsaan Allah, tetapi juga kesatuan manusia
dalam semua hal. Suatu masyarakat jami’-i tawhid yang Islami, tidak akan
membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu didasarkan pada ras,
agama, kasta maupun kelas. Masyarakat tauhid yang sejati menjamin kesatuan sempurna
diantara manusia dan untuk mencapai ini, perlu untuk membentuk masyarakat tanpa
kelas. KeEsaan Allah mengharuskan kesatuan masyarakat dengan sempurna dan
masyarakat demikian tidak mentolerir perbedaan dalam bentuk apapun, bahkan
perbedaan kelas sekalipun. Tidak akan terjadi solidaritas imam sejati, kecuali
segala bentuk perbedaan ras, bangsa, kasta, kelas dihilangkan. Pembagian kelas
menegaskan secara tidak langsung dominasi yang kuat atas yang lemah dan
dominasi ini merupakan pengingkaran terhadap pembentukan masyarakat yang adil
(hal: 94).
Islam dan keadilan
Tak ada keraguan dalam islam akan kapitalisme.Dengan
mencermati ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran di atas, cukup jelas
menunjukkan bahwa Islam memerangi kapitalisme, Islam hendak menegakkan keadilan
dan , Islam bertujuan terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Dan untuk memenangkan
perjuangan mengalahkan kapitalisme, memenangkan keadilan dan kemudian
terwujudnya masyarakat tanpa kelas, Islam memberikan petunjuk harus dengan
melalui perjuangan kelas.
Semuanya itu menunjukkan
titik pusat Islam . Memang istilahnya tentu tidak sama. Misalnya menyebut yang diperanginya “kapitalisme”,
Islam memakai istilah ‘mengutuk orang-orang yang menumpuk harta”; memakai istilah “sosialisme” yang hendak
ditegakkan, Islam mengatakan ‘menjadikan kaum tertindas menjadi pemimpin di
bumi dan mewarisi bumi”. menyatakan
tujuan tujuannya yang terakhir terbentuknya “masyarakat sejahtera”, “masyarakat tanpa kelas”, Islam
memakai “masyarakat Tauhidi”. Dalam teori klas memakai istilah “perjuangan
kelas”, Islam memakai istilah “usaha kaum”. “Usaha” itu adalah “perjuangan”
“kaum”, itu adalah “golongan” atau “kelas”.
Tentang terdapatnya perbedaan antara Islam dan Komunisme tentu
tak akan ada yang menyangkal. Islam mempermasalahkan kehidupan di dunia dan
akhirat, sedang Komunisme hanya mempermasalahkan masalah kehidupan manusia di
dunia, bagaimana supaya tegak keadilan. Masalah akhirat, tidak dipermasalahkan
komunisme. Masalah akhirat, adalah masalah pribadi, masalah hubungannya dengan
yang menciptakannya.
Ini sesuai dengan surat Al Kahfi 29, yang mengatakan: Kebenaran
datang dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau (beriman) berimanlah, dan barangsiapa
yang mau (kufur) kufurlah. Dalam surat Al Qomar 19 dikatakan: seseorang di
akhirat akan menerima apa yang diusahakannya. Dengan kata lain, mau beriman
atau kufur, resikonya atau “hasilnya” masing-masing akan menerima di akhirat
kelak.
Malah dalam surat Yunus 99 dan 100 dipertegas: Jika Tuhan
menghendaki, niscaya beriman sekalian orang di bumi. Adakah engkau memaksa
manusia supaya mereka beriman? Tiadalah seorang beriman, melainkan dengan izin
Allah. Sedang dalam surat Al Baqarah 256 dikatakan: tidak ada paksaan dalam
agama.
Mengenai yang dipermasalahkan oleh gerakan lain hanya masalah
dunia, ini juga sejalan dengan sebuah Hadis Nabi Muhammad: “Jika aku berikan
perintah kepadamu mengenai agama, ikutilah, dan jika aku menyampaikan sesuatu
hal yang berasal dari pendapatku sendiri, ingatlah bahwa aku adalah seorang manusia”.
Al Saraksi dalam bukunya “Al Usul” menafsirkan sebagai berikut: “Jika aku
memberi tahu tentang hal agama, kerjakanlah menurut keteranganku dan jika aku
memberitahu tentang sosal-soal keduniaan, maka sesungguhnya kamu lebih tahu
tentang urusan keduniaanmu”.
Malah Mohammad Sobary melalui tulisannya “Merombak
Primordialisme dalam agama “mengartikan surat Ar Ra’du ayat 11 sbb: di dalam
Islam aturan sudah jelas bahwa untuk urusan dunia, Tuhan sudah melimpahkan
sepenuhnya pada kita. Kita diberi Tuhan hak mengatur sepenuh kehidupan kita.
Kita memiliki otonomi penuh. Dan ini tidak boleh dikembalikan kepada Tuhan”
(Spritualitas baru: Agama dan aspirasi rakyat”, 1994, hal:46).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar