Potret melakukan
kecintaan yang tak terhingga pada Sang Illahi seperti yang di ungkapkan oleh
seorang sufi “mabuk”, merupakan istilah
mistis yang menggambarkan keadaan mabuk cinta kepada Tuhan; ia merupakan tujuan utama dan ambang yang
mendekati akhir perjalanan hidup. Bahkan Bayazid al-Bistami memandang bahwa mabuk cinta tersebut merupakan
cara tertinggi meraih cinta kepada Sang maha Tunggal. Dan tentu kecintaan itu
tak akan menjadi pusat kegiatan seorang
hamba bila proses al-fana (pemusnahan)
tidak dilakukan. Menurut Ibn Atha’illah dalam kitab hikam menyatakan bahwa “jika
engkau hendak bersatu dengan-Nya, maka sekali-kali engkau tidak akan bersatu
dengan-Nya kecuali setelah engkau memusnahkan segala sifat burukmu dan
menghancurkan keinginanmu sendiri atas alam materi. Maka jika ia menghendaki
menyatukan dengan dirimu didalam diri-Nya, niscaya ia akan menutupi sifat dan
watak hewan mu dengan sifat dan watak-Nya dan dengan demikian ia menyatukan
nilai-nilai kebajikan yang datang dari-Nya kepada dirimu, tidak dengan kebaikan
yang berasal dari mu untuk-Nya.
Menurut perkataan al- Niffari : Pada suatu waktu ketika
aku membuat pandanganmu atas seluruh eksistensi menjadi sebuah penglihatan yang
tinggi, maka pada kondisi seperti itu beberapa bentuk-Ku akan tampak olehmu,
sehingga jika kesadaranmu telah mengetahui-Nya, maka panggilah aku dengan
bentuk tersebut tetapi jika kamu sama sekali tidak mengetahui, maka ingatlah
Aku didalam deritamu dan melalui pandanganmu yang penuh kecemasan. Dengan
pandangan yang seperti itu engkau akan dianugrahi pandangan yang mendalam dan luas,
yang memenuhi dada, dan segala sesuatu
berada di dalamnya, dan mereka merupakan eksistensi yang menyeluruh
ibarat wujud yang abadi, dan ibarat kegembiraan di dalam permusuhan yang tiada
terakhir. Maka engkau akan mudah mengamati segala sesuatu. Bagi-Nya alunan
keagungan, masing-masing bergerak menuju kepada-Ku dalam peribadatan, pujian
senantiasa mengagungkan aku hendaklah engkau tidak khawatir dan cemas karena
saat yang engkau nanti-nantikan segera
tiba; dan hendaknya tidak seorang kawan yang menghengkangkan kamu pada saat
seperti itu, yakni ketika aku hendak menjadikan dirimu sebagai sang penonton,
sehingga Aku akan membuatmu sebagai penglihat, sehingga diri-KU dapat kau
kenali, sekalipun hanya sesaat dalam usaha hidupnya. Pada saat itu Aku hendak
berkata kepadamu, dan engkau segera mengetahuinya, bahwa engkau pencinta-Ku,
karena engkau menghindar dari segala sesuatu untuk mencapai apa yang telah Aku
perlihatkan kepadamu, sehingga Aku menjadi penguasa dan pengatur dirimu, dan
engkau segera tiba bersanding bersama-Ku ketika itu segala sesuatu berada di
luar Kita. Ketika engkau melekat dengan- ku, maka segalanya akan melekat
kepadamu dan sama sekali tidak kepada-Ku. Demikianlah orang yang benat-benar
mencintai-Ku. Dan ketahuilah jika sudah demikian, maka seluruh pengetahuan akan
di kenali kekasih-Ku tiada ada yang tersisa. dan hal ini sungguh tidak dapat
dilukiskan.
Dalam hal lain ibn Ath’illah mengatakan : Bagaimana
bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya, sedang Dia satu-satunya yang
mewujudkan segalanya? Bagaimana dapat terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya
sedang Dia menjelmakan diri melalui segala sesuatu ? bagaimana bisa terjadi
bahwa sesuatu menghalangi-Nya sedang Dia menjelma ke dalam sesuatu ? bagaimana
bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya sedang Dia menjelma kepada segala sesuatu?
bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-nya sedang telah nyata sebelum
terjadi segala sesuatu ? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya
sedang Dia lebih nyata dari segalanya? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalanginya, sedang
tidak ada sesuatu pun yang menyertainya? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu
menghalanginya, sedang Dia lebih dekat kepada dirimu dan segalanya? bagaimana
bisa terjadi sesuatu menghalangi-Nya, sedang jika bukan karena Dia segala
sesuatu tidak akan terwujud? Dapat menjelma ke dalam sesuatu yang maya, dan
betapa sesuatu yang jamak dapat bersanding dengan-Nya sang pemilik Sifat
keabadian.
Firman Allah, Artinya : Dialah (Allah) yang menjadikan
langit dan bumi dalam enam hari (masa), kemudian ia bersemayam di atas arasy,
ia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar di permukaan
bumi, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke langit, ia bersamamu
dimana saja kamu berada, dan ia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. ( Qs Saba’2)
Firman Allah, Artinya : tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang kecuali Dia (Allah) yang ke empat dari antara mereka itu, dan
tiada (pembicaraan rahasia ) antara lima orang, melainkan Dia yang keenamnya,
tiada juga kurang dari itu dan tiada juga lebih melainkan Dia (selalu) bersama
mereka, dimana saja mereka berada, kemudian Dia akan memberik tahukan kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan ( di dunia) kelak di hari kiamat,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu ( Qs Al-Mujadalah 7 ) .Firman
Allah Artinya : sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang taqwa dan
orang-orang yang berbuat kebajikan. ( Qs. An-nahl 128)
Untuk itu Tak ada keraguan bagi manusia yang menebar
kasih sayang pada semua manusia dan mengangkat manusia yang teraniaya menjadi
mulia dan terhormat, menjadi hamba-hamba Nya yang ditempatkan dalam posisi yang
sempurna (taqwa). Bahkan beruntunglah bagi mereka yang dalam mengisi hidupnya sesak,
penuh, sibuk dengan arena kecintaan yang tak tehingga pada-Nya merupakan bentuk
pendakian pesan para Nabi-nabi-Nya yang
sempurna. Dan hamba-hamba yang mengikuti pendakian itu tak ada yang tertinggal
dari dirinya selain mengingat Allah.
Bulan Ramadhan yang berarti “yang sangat panas” merupakan bulan yang disucikan karena bulan
ini bulan memulihkan jiwa yang tercela (al-nafs al-ammarah), setelah itu
kedudukannya digantikan dengan jiwa damai (al-nafs al- muthma’innah).
Selanjutnya menghadirkan sebuah pemusnahan yang menurut istilah sufistik
dikenal sebagai fana’ al-fana (puncak segala pemusnahan). Dengan cara ini puasa
di bulan ramadhan memusnahkan sama sekali dirinya dihadapan keagungan Allah SAW,
berganti dengan puncak al-mahabbah pada Sang Maha Tak Terhingga. Puasa melahirkan
baqa yang menar-benar haqiqi terlepas dari segala keterikatan dengan segala
ego, menghilangkan seluruh kepribadian yang berlebihan dan menghalalkan segala
cara dalam memenuhi kepuasan alam material demi mencapai al-fana Allah (pemusnahan diri
menuju Allah) taqwa. Karena derajat ketaqwaan tak akan kita gapai bila
jiwa-jiwa yang tercela masih dipelihara dan disebarkan dengan subur. Dalam hal
ini Ibn atha’illah berkata dalam al Hikam : Jika engkau hendak bersatu
dengan-Nya, maka sekali-kali engkau tidak akan bersatu dengan-Nya kecuali
setelah engkau memusnahkan segala sifat burukmu dan menghancurkan keinginanmu
sendiri. maka jika ia menghendaki menyatukan dengan dirimu didalam diri-Nya,
niscaya Ia akan menutupi sifat dan watakmu dengan sifat dan watak-Nya. Dan
dengan demikian Ia menyatukan nilai-nilai kebajikan yang datang dari-Nya kepada dirimu, tidak dengan kebaikan
yang berasal darimu untuk-Nya.
Untuk itu puasa
Ramadhan hari ini menjadi apa yang diungkapkan oleh Abusy syiish dalam bait
syair nya : cintaku selalu mengikuti kemauanmu, tanpa ada perasaan apakah aku
diacuhkan ataukah diperhatikan. Bila kau lecehkan diriku, aku berupaya keras
untuk bersikap sabar, bagiku tidak penting apakah engkau menolak cintaku atau
menerimanya. Sikapmu kepadaku mirip dengan musuh-musuhku sehingga aku menyukai
mereka, mengingat perlakuan yang kuperoleh darimu sama dengan perlakuan yang
kuperoleh dari mereka. Kurasakan celaan orang lain karena kecintaanmu begitu
menyenangkan sebab begitu tulusnya cintaku kepadamu, maka biarlah celaan
orang-orang yang suka mencela. Kurasakan celaan karena kecintaanmu begitu
menyenangkan, karena suka dengan sebutanmu, maka biarlah celaan orang yang
mencela. Inilah pandangan orang yang jatuh cinta pada “puasa”. Menurut Hasan
al-Bashri, Allah menjadikan puasa sebagai latihan dasar bagi setiap hambanya
yang akan mengantarkan mereka menuju ketaatan kepada-Nya. Diantara manusia
berhasil dan mendapatkan penghargaan (dalam berpuasa); sementara yang lainnnya
mengalami kegagalan, dan meraih hasil yang mengecewakan. Demi seluruh hidupku,
andaikan penutup (hijab) dibukakan, niscaya orang shalih akan semakin sibuk
dengan kebajikannya, dan mereka pelaku kejahatan segera menggantikan bajunya
atau meminyaki rambutnya’. Bukanlah suatu yang mengherankan jika orang yang
tersesat akan tetap tersesat, dan mereka yang selamat niscaya terselamatkan. Untuk itu pantaslah kita menyatakan apa yang
pernah diungkapkan al-Ghazali dalam kitab al-Munqiz min al-Dalal sebagai
berikut ; kami berdoa kepada yang Maha kuasa semoga Allah mencatat kita sebagai
kelompok orang yang terpilih dan dipilih-Nya, yakni mereka yang dibimbing dan
ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran, mereka yang mendapat kemudahan untuk
selalu mengingat-Nya dan sama sekali tidak pernah melupakan-Nya mereka yang
terjaga dari segala macam kejahatan yang akan menyebabkan terjatuhnya dari
Allah, dan mereka yang berusaha menyatukan dirinya semata-mata untuk Allah
amin. Wallahu
a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar