Sabtu, 21 Februari 2015

Perjuangan Pemuda Petani sampai Akhir

Panen Ikan dari Kolam Sendiri

Oleh : Momor[i]

Suara adzan subuh berkumandang, membangunkan tidurku untuk segera melakukan melakukan ibadah sholat berjamaah dan tolabul ilmi dengan anak anak di Pesantren Ath Thaariq, sebuah pesantren yang berdiri ditengah sawah, kolam dan kebun.
            Tak lama kemudian, cahaya matahari pagi tersenyum memandang wajah dan menyegarkan tubuhku untuk melakukan berbagai kegiatan. S emua tumbuhan dan ikan, ayam, bebek dan dombaku termasuk milik teman - temanku terus memanggilku.
Tumbuhan yang kutanam seolah berkata tiap pagi,  “petik aku, aku menantimu, aku akan berikan kekuatan buatmu dengan kesegaranku pagi ini”. –Hewan periharaanku pun demikian, “cepatlah ke sini, dekat denganmu dan aku ingin mencicipi makanan buatanmu yang penuh gizi dari semua tumbuhan yang kamu tanam”, Alhamdulilah....
            Setiap hari, sebelum berangkat kuliah, aku  menyiram tanaman di halaman, memberi makan semua hewan periharanku, beres-beres rumah, lantas bersiap siap berangkat kuliah.
            Aku seorang anak buruh tani yang dilahirkan di kampung  terpencil,  jauh dari kota dan tempat pendidikan. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Aku paham keluargaku sulit sekali mencari biaya untuk kebutuhan hidup sehari- hari. Aku  sekolah di SD Mekar Jaya, yang sangat  jauh dari tempat tinggalku, harus berjalan kaki hampir satu setengah jam dari rumah.
Sejak kelas satu SD aku sudah bekerja,  membantu ibu bapak mencari rumput makanan ternak kambing. Ini kulakukan tiap hari hinggai kelas enam SD. Di kelas enam, baru saja setengah semester aku terpaksa putus  sekolah karena kendala biaya. Juga  dianggap sudah cukup besar untuk membantu kedua orang tuaku menjadi buruh tani.
Namun Tuhan berkehendak lain. Satu setangah bulan kemudian, aku didatangi dan dijemput guruku untuk sekolah kembali. Mereka membebaskanku dari biaya sekolah. Syukur Alhamdulilah, Ahirnya aku lulus SD.
Setelah lulus, kembali aku mengikuti kedua orang tuaku untuk menjadi buruh tani. Tiga bulan aku menjadi buruh tani. Saat itu, aku masih mengkhayalkan untuk melanjutkan sekolah, yang tidak mungkin kuraih. Namun Tuhan selalu memberikan keajaibannya. ada  sekolah Madrasah Tsanawiyah Sururon di Desa Sarimukti, desa tetangga, dan gratis. Sekolah ini didirikan Serikat Petani Pasundan. Akhirnya akupun bisa melanjutkan kembali sekolah yang aku impikan.
Walau kembali bersekolah, sepulang sekolahpun aku tetap mencari rumput. Namun kini sedikit berubah, jika liburan sekolah tiba. Aku berhenti menjadi buruh tani, dan harus  pergi ke kota mencari pekerjaan. Pernah, aku bertemu tetanggaku dan diajak jualan bubur ayam di Bandung. Dua minggu aku berjualan bubur ayam. Uangnya aku belikan perlengkapan sekolah, baju, buku dan sepatu, sisanya kugunakan membeli kelinci dan ayam. Aku tabungkan uangku dalam bentuk hewan peliharaan. Dulu setiap liburan sekolah,  aku  jualan bubur ayam, kadang bekerja di pasar malam, hingga aku lulus Madrasah Tsanawiyah.
Tapi, selesai Madrasah Tsanawiyah aku kebingungan. Apa yang harus aku lakukan, bekerja ke kota atau menjadi buruh tani di kampung? Sebulan kemudian, aku bekerja menjadi buruh tani di kampung. Tapi tak lama, sebab guru-guru Serikat Petani Pasundan belakangan membuat sekolah pertanian gratis, namanya SMK Pertanian Pasundan. Akhirnya aku mendaftar tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Aku diterima dan menjadi peserta didik angkatan pertama di sana.
            Waktu itu, SMK Pertanian Pasundan masih berada di Desa Sarimukti, belum mempunyai kelas, tapi peserta didiknya cukup banyak. Jumlahnya mencapai 53 siswa, semua adalah anak anak buruh tani. Kegiatan belajar mengajar dilakukan pada sebuah madrasah yang dipinjamkan oleh sebuah pesantren.
            Biasanya, sepulang sekolah,  aku dan teman-teman pergi ke kebun untuk meminta pohon kayu untuk bahan bangunan sekolah, semacam iuran kayu. Tiap satu minggu sekali, kami mengumpulkan kayu hasil dari iuran para petani. Waktu itu, aku masih tinggal di rumah Dewan Guru. sebuah tempat yang disediakan untuk kantor, skelaigus  termpat beristirahat bagi guru-guru yang tinggalnya jauh dari Desa Sarimukti.
            Setengah semesterpun tiba. Akhirnya aku ungkapkan pada kedua orang tuaku kalau aku sekolah di SMK Pertanian Pasundan. Orang tuaku menyuruh aku keluar dari SMK dengan alasan sangat membutuhkan aku.  Setelah berpikir lebih dalam, melihat kedua orang tuaku yang terus kelelahan ditengah hidup yang serba kekurangan, dengan kegelisahan yang panjang, akupun memutuskan keluar. Lantas mencari pekerjaan membantu kedua orang tuaku. Ikut  tetangga kembali berjualan bubur ayam. Tapi kali ini dengan kesungguhanku ingin bersekolah dan ingin merubah kehidupan keluargaku. Allah ternyata mendengarku.
            Kakakku pulang dari Bandung (memang daia dari mana ayau tinggal dimana?) , dia melarangku berjualan bubur dan harus melanjutkan sekolah. Akupun kembali ke rumah bersama kakakku, berbicara dengan keluarga besarku. Aku bilang  aku ingin sekolah! Akhirnya kedua orang tuaku berkata, ”Silahkan kamu sekolah, tapi kalau ada yang menyangkut biaya, ayah dan ibu tidak bisa membantu, karena kondisi yang minim sekali, mau makan juga harus bekerja dulu mencari uang, baru bisa membeli beras”. Ijin mereka saja sudah membuatku gembira.  Selebihnya aku akan berjuang sendiri dan tidak akan membebani mereka.  
Aku sangat bersyukur bisa kembali sekolah, berkumpul dengan teman teman, bertekad untuk merubah keluargaku dan menjadi keluarga yang lebih baik.  Aku mencoba membicarakan keinginanku ini dengan guru yang dekat dengaku. Ia mendukung niatku. Sekolah memberiku sebuah domba yang bisa kupelihara dengan sistem bagi hasil (maro). Aku setuju memelihara domba tersebut.  Setiap berangkat sekolah, tak lupa  aku bawa arit dan karung. Sepulang sekolah langsung mencari rumput, setiap hari. Empat bulan kemudian dombaku melahirkan dua ekor, kubagi langsung dua dengan pihak sekolah.
Kenaikan sekolahpun tiba,  aku akan mepunyai adik kelas, padahal kelasnya belum ada. Akhirnya, bersama masyarakat setempat kami bergotong royong membuat bangunan kelas. Kami mengumpulkan dan mencari bantuan dari para petani. Penduduk Desa Sarimukti rata – rata buruh tani, juga  anggota Serikat Petani Pasundan. Bersama masyarakat, kami berhasil mengumpulkan bahan bangunan.  Kelas-kelas  berhasil di bangun dari bambu, dan akhirnya kami bisa menerima siswa baru.
Pada liburan berikutnya, aku pergi ke kota untuk bekerja agar bisa membeli kebutuhan perengkapan sekolahku. Dua mimggu aku bekerja di pasar malam Purwakarta, menjual tas milik orang lain. Aku berhasil semua keperluan sekolah, dan menyisakan  untuk modal berjualan makanan di sekolah. Kini aku berjualan makanan “keremes”, makanan ringan terbuat dari ubi jalar, diparut, digoreng kemudian  digalo dengan gula merah.  Tapi, aku juga menyisakan uang untuk diberikan pada kedua orang tuaku.
Alhamdulillah, orang tuaku tidak terus menerus menjadi buruh. Bapakku-pun bertani kecil-kecilan dengan modal dari domba milik sekolah yang kupelihara .
Di sekolah kegiatanku bertambah, Pagi berangkat sekolah, selain membawa karung dan arit, aku juga membawa keremes ke sekolah. Pulang sekolah aku belanja, sesudah belanja, lantas mencari rumput. Jam empat sore aku baru pulang.  Tiba di rumah, langsung menyiapkan bahan membuat keremes, sampai jam lima sore. Istirahat sebentar sambil baca buku, kemudian mengaji sampai jam delapan malam. Pulang mengaji baru membuat keremes sampai jam 11 malam, kadang sampai jam satu malam. Begitu kegiatanku sehari-hari.
Tiap hari,  aku bisa menabung sebesar Rp. 15.000. Alhamdulilah, usaha ini mampu menutupi kebutuhan sekolah, juga membantu ibuku..
Tak terasa rutinitas itu sudah berjalan satu tahun, hingga tiba kenaikan kelas. A ku naikke  kelaa tiga,. Murid kelas tiha harus melakukan Praktek Lapangan (PKL). Terpaksa  tabunganku dibuka. Aku ,gunakan untuk  membekali PKL selama tiga bulan penuh.
Saat PKL dilaksanakan, uang bekal kupakai jualan makanan seperti mie, kopi dan makanan lainnya. Hasilnya kupakai membeliayam dan kelinci. Tiga bulan aku PKL, berdagang dan beternak sekaligus. Pulang PKL, aku membawa ilmu, uang, kelinci dan ayam. Aku bangga dengan diriku.
            Ujian Nasional-pun tiba. Aku lulus  dan  bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi sampai sekarang. Aku bersyukur  pengalaman berdagang, bertani, beternak domba, ayam, kelinci, bebek, telah jadi penyelamatku.
            Kini aku kuliah di Kota Garut. Awalnya aku  tinggal di Serikat Petani Pasundan, sambil belajar pengabdian ke masyarakat. Tinggal di SPP, aku banyak menemukan hal yang sangat berharga, bisa berkumpul dengan petani, bisa mengetahui kebutuhan dan perihnya berjuang untuk mendapatkan lahan.
            Satu tahun bergabung di Serikat Petani Pasundan, aku ingin fokus ke kuliah dan pindah tempat tinggal. Aku memilih  Pesantren Ath Thaariq.  Pesantren ini didirikan Ummi Nissa Wargadipura dan Abi Ibang Lukmanurdin, yang juga mendirikan Serikat Petani Pasundan. Mereka juga pendiri Madrasah Tsanawiyah Sururon dan SMK Pertanian Pasundan, tenpatku belajar sebelumnya.
            Tinggal di Pesantren Ath Thaariq, aku menemukan apa yang dulu aku cari untuk mengatasi kekrisisan hidup. Sekarang, aku mendapatkan  solusinya, yang dulu aku tak terpikir bisa kulakukan.
            Di Pesantren aku dikenalkan dengan cara hidup yang bagus. Dulu keluargaku makan tergantung pada nasi dan nasi, tapi sebenarnya banyak makanan  bisa menggantikan nasi, Ada jagung, singkong, talas dan lain lain. Pikiranku baru terbuka sekarang. Aku juga diajarkan untuk mandiri supaya tidak tergantung pada pasar. Aku diajarkan untuk memanfaatkan sekitar kita. Tiap likuan lahan di sekitar halaman rumah itu, ditanami dengan semua kebutuhan keluarga. Seperti bercocok tanam tanaman cabe rawit, kunyit, bawang merah, kangkung, singkong umbi jalar, ganyol, sagu/garut, pokoknya semua kebutuhan sayuran, lalab dan bumbu itu tersedia di halaman rumah dan itu segar semua.
             Jadi semua kebutuhan  sebenarnya disediakan halaman rumah, tidak tergantung pada pasar. Pesantren mengajarkan cara-cara memanfaatkan hal-hal yang sederhana menjadi solusi luar biasa.
 Garut, Mei 2013



[i] Mahasiswa pada Jurusan Biologi, Semester IV di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan – STKIP Garut, serta Santri pada Pesantren Kebon Sawah “Ath Thaariq” Garut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar