![]() |
Panen Ikan dari Kolam Sendiri |
Oleh : Momor[i]
Suara adzan subuh berkumandang, membangunkan tidurku untuk segera melakukan melakukan ibadah sholat berjamaah dan tolabul ilmi dengan anak anak di Pesantren Ath Thaariq, sebuah pesantren yang berdiri ditengah sawah, kolam dan kebun.
Tak
lama kemudian, cahaya matahari pagi tersenyum memandang wajah dan menyegarkan
tubuhku untuk melakukan berbagai kegiatan. S emua tumbuhan dan ikan, ayam,
bebek dan dombaku termasuk milik teman - temanku terus memanggilku.
Tumbuhan yang kutanam seolah berkata tiap pagi, “petik aku, aku menantimu, aku akan berikan
kekuatan buatmu dengan kesegaranku pagi ini”. –Hewan periharaanku pun demikian,
“cepatlah ke sini, dekat denganmu dan aku ingin mencicipi makanan buatanmu yang
penuh gizi dari semua tumbuhan yang kamu tanam”, Alhamdulilah....
Setiap
hari, sebelum berangkat kuliah, aku menyiram tanaman di halaman, memberi makan
semua hewan periharanku, beres-beres rumah, lantas bersiap siap berangkat kuliah.
Aku seorang
anak buruh tani yang dilahirkan di kampung terpencil, jauh dari kota dan tempat pendidikan. Aku anak
kedua dari empat bersaudara. Aku paham keluargaku sulit sekali mencari biaya untuk
kebutuhan hidup sehari- hari. Aku
sekolah di SD Mekar Jaya, yang sangat
jauh dari tempat tinggalku, harus berjalan kaki hampir satu setengah jam
dari rumah.
Sejak kelas satu SD aku sudah bekerja, membantu ibu bapak mencari rumput makanan ternak
kambing. Ini kulakukan tiap hari hinggai kelas enam SD. Di kelas enam, baru saja
setengah semester aku terpaksa putus sekolah karena kendala biaya. Juga dianggap sudah cukup besar untuk membantu kedua
orang tuaku menjadi buruh tani.
Setelah lulus, kembali aku mengikuti kedua orang tuaku
untuk menjadi buruh tani. Tiga bulan aku menjadi buruh tani. Saat itu, aku
masih mengkhayalkan untuk melanjutkan sekolah, yang tidak mungkin kuraih. Namun
Tuhan selalu memberikan keajaibannya. ada sekolah Madrasah Tsanawiyah Sururon di Desa Sarimukti,
desa tetangga, dan gratis. Sekolah ini didirikan Serikat Petani Pasundan.
Akhirnya akupun bisa melanjutkan kembali sekolah yang aku impikan.
Walau kembali bersekolah, sepulang sekolahpun aku tetap
mencari rumput. Namun kini sedikit berubah, jika liburan sekolah tiba. Aku berhenti
menjadi buruh tani, dan harus pergi ke
kota mencari pekerjaan. Pernah, aku bertemu tetanggaku dan diajak jualan bubur
ayam di Bandung. Dua minggu aku berjualan bubur ayam. Uangnya aku belikan
perlengkapan sekolah, baju, buku dan sepatu, sisanya kugunakan membeli kelinci
dan ayam. Aku tabungkan uangku dalam bentuk hewan peliharaan. Dulu setiap
liburan sekolah, aku jualan bubur ayam, kadang bekerja di pasar
malam, hingga aku lulus Madrasah Tsanawiyah.
Tapi, selesai Madrasah Tsanawiyah aku kebingungan. Apa
yang harus aku lakukan, bekerja ke kota atau menjadi buruh tani di kampung? Sebulan
kemudian, aku bekerja menjadi buruh tani di kampung. Tapi tak lama, sebab
guru-guru Serikat Petani Pasundan belakangan membuat sekolah pertanian gratis,
namanya SMK Pertanian Pasundan. Akhirnya aku mendaftar tanpa sepengetahuan
kedua orang tuaku. Aku diterima dan menjadi peserta didik angkatan pertama di
sana.
Waktu
itu, SMK Pertanian Pasundan masih berada di Desa Sarimukti, belum mempunyai
kelas, tapi peserta didiknya cukup banyak. Jumlahnya mencapai 53 siswa, semua
adalah anak anak buruh tani. Kegiatan belajar mengajar dilakukan pada sebuah
madrasah yang dipinjamkan oleh sebuah pesantren.
Biasanya,
sepulang sekolah, aku dan teman-teman pergi
ke kebun untuk meminta pohon kayu untuk bahan bangunan sekolah, semacam iuran
kayu. Tiap satu minggu sekali, kami mengumpulkan kayu hasil dari iuran para
petani. Waktu itu, aku masih tinggal di rumah Dewan Guru. sebuah tempat yang
disediakan untuk kantor, skelaigus termpat
beristirahat bagi guru-guru yang tinggalnya jauh dari Desa Sarimukti.
Setengah
semesterpun tiba. Akhirnya aku ungkapkan pada kedua orang tuaku kalau aku
sekolah di SMK Pertanian Pasundan. Orang tuaku menyuruh aku keluar dari SMK dengan
alasan sangat membutuhkan aku. Setelah
berpikir lebih dalam, melihat kedua orang tuaku yang terus kelelahan ditengah hidup
yang serba kekurangan, dengan kegelisahan yang panjang, akupun memutuskan
keluar. Lantas mencari pekerjaan membantu kedua orang tuaku. Ikut tetangga kembali berjualan bubur ayam. Tapi
kali ini dengan kesungguhanku ingin bersekolah dan ingin merubah kehidupan
keluargaku. Allah ternyata mendengarku.
Kakakku
pulang dari Bandung (memang daia dari mana ayau tinggal dimana?) , dia melarangku
berjualan bubur dan harus melanjutkan sekolah. Akupun kembali ke rumah bersama kakakku,
berbicara dengan keluarga besarku. Aku bilang aku ingin sekolah! Akhirnya kedua orang tuaku
berkata, ”Silahkan kamu sekolah, tapi kalau ada yang menyangkut biaya, ayah dan
ibu tidak bisa membantu, karena kondisi yang minim sekali, mau makan juga harus
bekerja dulu mencari uang, baru bisa membeli beras”. Ijin mereka saja sudah
membuatku gembira. Selebihnya aku akan
berjuang sendiri dan tidak akan membebani mereka.
Aku sangat bersyukur bisa kembali sekolah, berkumpul
dengan teman teman, bertekad untuk merubah keluargaku dan menjadi keluarga yang
lebih baik. Aku mencoba membicarakan
keinginanku ini dengan guru yang dekat dengaku. Ia mendukung niatku. Sekolah memberiku
sebuah domba yang bisa kupelihara dengan sistem bagi hasil (maro). Aku setuju memelihara
domba tersebut. Setiap berangkat sekolah,
tak lupa aku bawa arit dan karung. Sepulang
sekolah langsung mencari rumput, setiap hari. Empat bulan kemudian dombaku
melahirkan dua ekor, kubagi langsung dua dengan pihak sekolah.
Kenaikan sekolahpun tiba, aku akan mepunyai adik kelas, padahal kelasnya
belum ada. Akhirnya, bersama masyarakat setempat kami bergotong royong membuat
bangunan kelas. Kami mengumpulkan dan mencari bantuan dari para petani. Penduduk
Desa Sarimukti rata – rata buruh tani, juga anggota Serikat Petani Pasundan. Bersama
masyarakat, kami berhasil mengumpulkan bahan bangunan. Kelas-kelas
berhasil di bangun dari bambu, dan akhirnya kami bisa menerima siswa
baru.
Pada liburan berikutnya, aku pergi ke kota untuk
bekerja agar bisa membeli kebutuhan perengkapan sekolahku. Dua mimggu aku
bekerja di pasar malam Purwakarta, menjual tas milik orang lain. Aku berhasil semua
keperluan sekolah, dan menyisakan untuk modal
berjualan makanan di sekolah. Kini aku berjualan makanan “keremes”, makanan ringan
terbuat dari ubi jalar, diparut, digoreng kemudian digalo dengan gula merah. Tapi, aku juga menyisakan uang untuk diberikan
pada kedua orang tuaku.
Alhamdulillah, orang tuaku tidak terus menerus menjadi
buruh. Bapakku-pun bertani kecil-kecilan dengan modal dari domba milik sekolah
yang kupelihara .
Di sekolah kegiatanku bertambah, Pagi berangkat
sekolah, selain membawa karung dan arit, aku juga membawa keremes ke sekolah.
Pulang sekolah aku belanja, sesudah belanja, lantas mencari rumput. Jam empat
sore aku baru pulang. Tiba di rumah, langsung
menyiapkan bahan membuat keremes, sampai jam lima sore. Istirahat sebentar sambil
baca buku, kemudian mengaji sampai jam delapan malam. Pulang mengaji baru
membuat keremes sampai jam 11 malam, kadang sampai jam satu malam. Begitu
kegiatanku sehari-hari.
Tiap hari, aku bisa
menabung sebesar Rp. 15.000. Alhamdulilah, usaha ini mampu menutupi kebutuhan
sekolah, juga membantu ibuku..
Tak terasa rutinitas itu sudah berjalan satu tahun,
hingga tiba kenaikan kelas. A ku naikke kelaa tiga,. Murid kelas tiha harus melakukan Praktek
Lapangan (PKL). Terpaksa tabunganku
dibuka. Aku ,gunakan untuk membekali PKL
selama tiga bulan penuh.
Saat PKL dilaksanakan, uang bekal kupakai jualan
makanan seperti mie, kopi dan makanan lainnya. Hasilnya kupakai membeliayam dan
kelinci. Tiga bulan aku PKL, berdagang dan beternak sekaligus. Pulang PKL, aku
membawa ilmu, uang, kelinci dan ayam. Aku bangga dengan diriku.
Ujian
Nasional-pun tiba. Aku lulus dan bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi sampai
sekarang. Aku bersyukur pengalaman berdagang,
bertani, beternak domba, ayam, kelinci, bebek, telah jadi penyelamatku.
Kini
aku kuliah di Kota Garut. Awalnya aku tinggal di Serikat Petani Pasundan, sambil belajar
pengabdian ke masyarakat. Tinggal di SPP, aku banyak menemukan hal yang sangat
berharga, bisa berkumpul dengan petani, bisa mengetahui kebutuhan dan perihnya
berjuang untuk mendapatkan lahan.
Satu
tahun bergabung di Serikat Petani Pasundan, aku ingin fokus ke kuliah dan
pindah tempat tinggal. Aku memilih Pesantren
Ath Thaariq. Pesantren ini didirikan
Ummi Nissa Wargadipura dan Abi Ibang Lukmanurdin, yang juga mendirikan Serikat
Petani Pasundan. Mereka juga pendiri Madrasah Tsanawiyah Sururon dan SMK
Pertanian Pasundan, tenpatku belajar sebelumnya.
Tinggal
di Pesantren Ath Thaariq, aku menemukan apa yang dulu aku cari untuk mengatasi
kekrisisan hidup. Sekarang, aku mendapatkan solusinya, yang dulu aku tak terpikir bisa kulakukan.
Di
Pesantren aku dikenalkan dengan cara hidup yang bagus. Dulu keluargaku makan
tergantung pada nasi dan nasi, tapi sebenarnya banyak makanan bisa menggantikan nasi, Ada jagung, singkong,
talas dan lain lain. Pikiranku baru terbuka sekarang. Aku juga diajarkan untuk mandiri
supaya tidak tergantung pada pasar. Aku diajarkan untuk memanfaatkan sekitar
kita. Tiap likuan lahan di sekitar halaman rumah itu, ditanami dengan semua
kebutuhan keluarga. Seperti bercocok tanam tanaman cabe rawit, kunyit, bawang
merah, kangkung, singkong umbi jalar, ganyol, sagu/garut, pokoknya semua
kebutuhan sayuran, lalab dan bumbu itu tersedia di halaman rumah dan itu segar
semua.
Jadi semua kebutuhan sebenarnya disediakan halaman rumah, tidak
tergantung pada pasar. Pesantren mengajarkan cara-cara memanfaatkan hal-hal
yang sederhana menjadi solusi luar biasa.
Garut, Mei 2013
[i]
Mahasiswa pada Jurusan Biologi, Semester IV di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu
Pendidikan – STKIP Garut, serta Santri pada Pesantren Kebon Sawah “Ath Thaariq”
Garut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar