Sabtu, 07 Maret 2015

Kemarahan Buruh Tuntut Kebijakan Pro-Poor

Hampir seluruh media massa, aksi masa buruh di beberapa kota besar menjadi berita yang hangat. Tepatnya tanggal 3 oktober 2012 hari rabu, berita itu masih mewarnai lembaran media. Tentu aksi masa dilakukan tidak hanya diarahkan ke Pemerintahan Daerah, namun di kota metropolitanpun diarahkan ke Istana Presiden,HI,DPR RI. Dan masa yang memadati areal itu tidah hanya dari  buruh di sekitar Jabotabek, namun terdiri dari utusan daerah. Berbagai kecaman atas penguasa di lontarkan oleh para masa aksi buruh. Bahkan teriakan SBY mundur dari kursi kekuasaan menjadi tuntutan para aksi masa, bila tuntutan para buruh tak dikabulkan. Mereka akan terus melakukan konsolidasi agar tuntutannya dikabulkan.

Tentu kemarahan para buruh bukan tak beralasan. Tuntutan  perburuhan/Ketenagakerjaan yang selama ini harus menerjemahkan prinsip keadilan, keterbukaan,  kesejahteran, keikut sertaan, kemanfaatan, kesetaraan dan pemenuhan hak-hak para pekerja telah terabaikan.Bahkan yang ada seluruh kebijakan hanya diperioritaskan pada kaum investor hepy. Padahal politik will dari penguasa dalam ketenagakerjaan, diharapkan oleh para buruh agar mencapai hal-hal yang lebih baik. Artinya jaminan keadilan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak buruh terpenuhi. Namun bila dibaca dengan seksama, penguasa hanya bisa memberikan janji,yang  jauh dari harapan para buruh. Bahkan semangat yang dilahirkan dari hendak berakhirnya kekuasaan itu lebih dominan dilandasi dengan semangat investor, bukan semangat populis. Untuk itu perubahan paradigma dari neo liberalisme ke populis tidak terjadi. Padahal diyakini oleh para buruh, bahwa perubahan itu akan mengantarkan pada situasi yang lebih adil dan manusiawi. Namun harapan penyempurnaan kebijakan itu, melahirkan malapetaka bagi kaum buruh. Tak salah bila potret itu di dokumentasikan pada lagu yang berjudul Ibu Pertiwi. Yang penggalan baitnya “ Hutan, gunung, sawah lautan. Simpanan Kekayaan. Kini ibu sedang lara. Merintih dan berdoa”.
Dan bila semangat pro investor  terus dipertahankan menjadi landasan upaya kebijakan penguasa  tentu gelombang mobilisasi masa akan terus dilakukan oleh para buruh. Bagi para buruh, aksi masa kali ini bukan hanya sekedar upaya geretakan semata. Namun akumulasi kekecewaaan yang telah panjang sekitar pertengahan decade 80-an, dunia ketenagakerjaan di negeri ini di warnai berbagai peristiwa, terutama kegelisahan dan kemarahan akibat buruknya kondisi kerja, outsoursing, upah rendah, rendahnya jaminan social, jaminan kesehatan, keselamatan kerja dan jaminan lainnya. Akibatnya hampir tahun-tahun yang dilaluinya, para buruh melakukan unjuk rasa, pemogokan di setiap kawasan industri. Bahkan ancaman kali ini  dikeluarkan oleh SPSI, KASBI, FSPMI, KSPI, MPBI,  yang beranggotakan  ratus ribuan orang mengancam mogok nasional . Begitupun dari serikat-serikat buruh lainnya. Karena outsorsing, upah buruh dan kesejahteraan masih menjadi momok bagi para buruh yang tentu  melahirkan permasalahan sosial. Padahal para buruh berharap dengan pemerintahan yang sekarang memperoleh kepastian akan pemenuhan, penghormatan, perlindungan hak-hak para buruh.
Munculnya serikat buruh disertai dengan aksi-aksi masa buruh dipenghujung abad  diawal abad 21 tentu bukan tak beralasan. Yang paling sederhana kemunculannya bertolak dari kepentingan langsung untuk perbaikan syarat-syarat ekonomi dan social bagi kehidupan kaum buruh/pekerja. Bahkan lebih jauk di masyarakat modern (kapitalis) kepentingan menyatukan kekuatan diri karena para buruh akan berhadapan dengan kekuatan pasar dan modal yang lebih unggul. Disisi lain kedudukan negara lemah. Maka sangat sulit dipungkiri bila terjadi neo imperialisme dilakukan oleh pasar dan modal ke negara-negara berkembang. Akibatnya buruh murah, daya tawar buruh rendah, regulasi yang semestinya menjamin hak-hak buruh tak pernah terjadi. Yang ada adalah sederet aturan yang membatasi para buruh untuk menuntut hak-haknya.
Disisi lain dengan membanjirnya kaum investor  yang tak terkendali dapat dicatat berbagai dampak negatif dari meningkatnya investasi ke wilayah eksploitasi diantaranya: pertama, hilangnya peran negara dalam pengaturan kekayaan . Kedua, melemahnya pera negara dalam memberi perlindungan kepada rakyat dan atau para buruh yang mengalami dampak langsung dari eksploitasi itu. Ketiga, meningkatnya kekuasaan pemerintah dalam mempromosikan kepentingan dan melindungi perusahaan-perusaan transnasional. Keempat, meningkatnya pelanggaran HAM kepada warga yang hidup di sekitar lokasi proyek maupun sebagai para pekerja/buruh. Kelima,meningkatnya masalah lingkungan, seperti kesehatan, berkurangnya sumber air bersih, degradasi tanah akibat limbah industri, . Keenam, ketidak jelasan dan minimnya royalti yang diterima para buruh, selain bertambahnya kemiskinan dan lahirnya ketidakadilan. Ketujuh, menyempitnya lahan-lahan produktif berubah menjadi kawasan industri.
Tentu dampak positif, membuka lapangan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun kelemahan pemerintah dalam ruang ekonomi ini, berimplikasi lahir sikap politik yang mengambang. Tidak memiliki ketegasan yang bisa memenuhi kebutuhan hak-hak para pekerja. Berbagai kebijakan tentu tidak memberikan jaminan pada para pekerja sehingga akhirnya berbagai persoalan para pekerja tak pernah tuntas. Padahal seyogyanya semakin maju dan demokratis suatu negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut tuntutan rakyat. Dan hanya negara-negara terbelakang yang senantiasa mempertahankan kebijakan yang pro kaum pasar dan modal. Mengapa negara perlu membuat kebijakan yang pro-poor, tentu karena negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan memenuhi hak rakyat.
Menuerut Dedi (1995) terpuruknya kondisi buruh ada berbagai sebab yang bisa kita duga sebagai factor yang mempengaruhi terciptanya itu. Pertama, sruktur pasar tenaga kerja kita memang diwarnai adanya  ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran. Kedua terjadinya perubahan strategi industrialisasi dan kebijakan perburuhan. Ketiga, pengetahauan dan dan kesadaran buruh tentang undang-undang dan peraturan ketenaagkerjaan masih lemah. Akibatnya masih kuat kekuatan pengusaha untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Keempat,kekuatan internasional belum bisa dimanfaatkan. Untuk itu, buruh hanya dijadikan modal dan bahan bahar industri
Maka agar malapetaka itu tak hidup, ada beberapa catatan penting. Pertama, menetapkan  paradigma yang akan dibangun dalam penyempurnaan UU itu harus bertolah dari (mensyaratkan) penekanan pada penghormatan, pemenuhan dan perlindungan Hak-hak buruh. Kedua, mendefinisikan ulang makna para buruh (ketenagakerjaan), ketiga, upaya dorongan pragmatis mulai ditinggalkan seperti dengan alasan pertumbuhan ekonomi, merangsang kaum investor, dan istilah lain. Keempat, pelibatan semua serikat buruh melalui keterwakilan, kelima di rancang konsultasi publik yang setiap para buruh memahami  falsafah yang mendasarinya. Dan bila kelima ini tak dijalankan, tentu protes-protes kaum buruh akan terus hidup. Keenam, membangun jaringan, koalisi dan  kesadaran pentingnya industri kerakyatan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar