Hampir seluruh media massa, aksi
masa buruh di beberapa kota besar menjadi berita yang hangat. Tepatnya tanggal
3 oktober 2012 hari rabu, berita itu masih mewarnai lembaran media. Tentu aksi
masa dilakukan tidak hanya diarahkan ke Pemerintahan Daerah, namun di kota
metropolitanpun diarahkan ke Istana Presiden,HI,DPR RI. Dan masa yang memadati
areal itu tidah hanya dari buruh di sekitar Jabotabek, namun terdiri dari
utusan daerah. Berbagai kecaman atas penguasa di lontarkan oleh para masa aksi buruh.
Bahkan teriakan SBY mundur dari kursi kekuasaan menjadi tuntutan para aksi
masa, bila tuntutan para buruh tak dikabulkan. Mereka akan terus melakukan
konsolidasi agar tuntutannya dikabulkan.
Tentu kemarahan para buruh bukan tak beralasan. Tuntutan
perburuhan/Ketenagakerjaan yang selama ini harus menerjemahkan prinsip
keadilan, keterbukaan, kesejahteran, keikut sertaan, kemanfaatan,
kesetaraan dan pemenuhan hak-hak para pekerja telah terabaikan.Bahkan yang ada
seluruh kebijakan hanya diperioritaskan pada kaum investor hepy. Padahal
politik will dari penguasa dalam ketenagakerjaan, diharapkan oleh para buruh
agar mencapai hal-hal yang lebih baik. Artinya jaminan keadilan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak buruh terpenuhi. Namun bila dibaca dengan seksama,
penguasa hanya bisa memberikan janji,yang jauh dari harapan para buruh.
Bahkan semangat yang dilahirkan dari hendak berakhirnya kekuasaan itu lebih
dominan dilandasi dengan semangat investor, bukan semangat populis. Untuk itu
perubahan paradigma dari neo liberalisme ke populis tidak terjadi. Padahal
diyakini oleh para buruh, bahwa perubahan itu akan mengantarkan pada situasi
yang lebih adil dan manusiawi. Namun harapan penyempurnaan kebijakan itu,
melahirkan malapetaka bagi kaum buruh. Tak salah bila potret itu di
dokumentasikan pada lagu yang berjudul Ibu Pertiwi. Yang penggalan
baitnya “ Hutan, gunung, sawah lautan. Simpanan Kekayaan. Kini ibu sedang
lara. Merintih dan berdoa”.
Dan bila semangat pro investor terus dipertahankan menjadi landasan
upaya kebijakan penguasa tentu gelombang mobilisasi masa akan terus
dilakukan oleh para buruh. Bagi para buruh, aksi masa kali ini bukan hanya
sekedar upaya geretakan semata. Namun akumulasi kekecewaaan yang telah panjang
sekitar pertengahan decade 80-an, dunia ketenagakerjaan di negeri ini di warnai
berbagai peristiwa, terutama kegelisahan dan kemarahan akibat buruknya kondisi
kerja, outsoursing, upah rendah, rendahnya jaminan social, jaminan kesehatan,
keselamatan kerja dan jaminan lainnya. Akibatnya hampir tahun-tahun yang
dilaluinya, para buruh melakukan unjuk rasa, pemogokan di setiap kawasan
industri. Bahkan ancaman kali ini dikeluarkan oleh SPSI, KASBI, FSPMI,
KSPI, MPBI, yang beranggotakan ratus ribuan orang mengancam mogok
nasional . Begitupun dari serikat-serikat buruh lainnya. Karena outsorsing,
upah buruh dan kesejahteraan masih menjadi momok bagi para buruh yang tentu
melahirkan permasalahan sosial. Padahal para buruh berharap dengan
pemerintahan yang sekarang memperoleh kepastian akan pemenuhan, penghormatan,
perlindungan hak-hak para buruh.
Munculnya serikat buruh disertai dengan aksi-aksi masa buruh dipenghujung
abad diawal abad 21 tentu bukan tak beralasan. Yang paling sederhana
kemunculannya bertolak dari kepentingan langsung untuk perbaikan syarat-syarat
ekonomi dan social bagi kehidupan kaum buruh/pekerja. Bahkan lebih jauk di
masyarakat modern (kapitalis) kepentingan menyatukan kekuatan diri karena para
buruh akan berhadapan dengan kekuatan pasar dan modal yang lebih unggul. Disisi
lain kedudukan negara lemah. Maka sangat sulit dipungkiri bila terjadi neo
imperialisme dilakukan oleh pasar dan modal ke negara-negara berkembang.
Akibatnya buruh murah, daya tawar buruh rendah, regulasi yang semestinya
menjamin hak-hak buruh tak pernah terjadi. Yang ada adalah sederet aturan yang
membatasi para buruh untuk menuntut hak-haknya.
Disisi lain dengan membanjirnya kaum investor yang tak terkendali
dapat dicatat berbagai dampak negatif dari meningkatnya investasi ke wilayah
eksploitasi diantaranya: pertama, hilangnya peran negara dalam
pengaturan kekayaan . Kedua, melemahnya pera negara dalam memberi
perlindungan kepada rakyat dan atau para buruh yang mengalami dampak langsung
dari eksploitasi itu. Ketiga, meningkatnya kekuasaan pemerintah dalam
mempromosikan kepentingan dan melindungi perusahaan-perusaan transnasional. Keempat,
meningkatnya pelanggaran HAM kepada warga yang hidup di sekitar lokasi proyek
maupun sebagai para pekerja/buruh. Kelima,meningkatnya masalah
lingkungan, seperti kesehatan, berkurangnya sumber air bersih, degradasi tanah
akibat limbah industri, . Keenam, ketidak jelasan dan minimnya royalti
yang diterima para buruh, selain bertambahnya kemiskinan dan lahirnya
ketidakadilan. Ketujuh, menyempitnya lahan-lahan produktif berubah
menjadi kawasan industri.
Tentu dampak positif, membuka lapangan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan
oleh pemerintah. Namun kelemahan pemerintah dalam ruang ekonomi ini,
berimplikasi lahir sikap politik yang mengambang. Tidak memiliki ketegasan yang
bisa memenuhi kebutuhan hak-hak para pekerja. Berbagai kebijakan tentu tidak
memberikan jaminan pada para pekerja sehingga akhirnya berbagai persoalan para
pekerja tak pernah tuntas. Padahal seyogyanya semakin maju dan demokratis suatu
negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut tuntutan rakyat. Dan hanya
negara-negara terbelakang yang senantiasa mempertahankan kebijakan yang pro
kaum pasar dan modal. Mengapa negara perlu membuat kebijakan yang pro-poor,
tentu karena negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan
memenuhi hak rakyat.
Menuerut Dedi (1995) terpuruknya kondisi buruh ada berbagai sebab yang bisa
kita duga sebagai factor yang mempengaruhi terciptanya itu. Pertama,
sruktur pasar tenaga kerja kita memang diwarnai adanya ketidak seimbangan
antara permintaan dan penawaran. Kedua terjadinya perubahan strategi
industrialisasi dan kebijakan perburuhan. Ketiga, pengetahauan dan dan
kesadaran buruh tentang undang-undang dan peraturan ketenaagkerjaan masih
lemah. Akibatnya masih kuat kekuatan pengusaha untuk meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya. Keempat,kekuatan internasional belum bisa
dimanfaatkan. Untuk itu, buruh hanya dijadikan modal dan bahan bahar industri
Maka agar malapetaka itu tak hidup, ada beberapa catatan penting. Pertama,
menetapkan paradigma yang akan dibangun dalam penyempurnaan UU itu harus
bertolah dari (mensyaratkan) penekanan pada penghormatan, pemenuhan dan
perlindungan Hak-hak buruh. Kedua, mendefinisikan ulang makna para buruh
(ketenagakerjaan), ketiga, upaya dorongan pragmatis mulai ditinggalkan
seperti dengan alasan pertumbuhan ekonomi, merangsang kaum investor, dan
istilah lain. Keempat, pelibatan semua serikat buruh melalui
keterwakilan, kelima di rancang konsultasi publik yang setiap para buruh
memahami falsafah yang mendasarinya. Dan bila kelima ini tak dijalankan,
tentu protes-protes kaum buruh akan terus hidup. Keenam, membangun
jaringan, koalisi dan kesadaran pentingnya industri kerakyatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar