Dalam kancah
politik menuju kursi panas dari pilpers hingga pilkada, begitupun soal pemilu
legislatif, membicarakan serius akar persoalan bangsa sering kali lepas dan
terlewat dari pembicaraan dan perdebatan serius. Meskipun ada tentu
sering kali hanya jadi bacaan pinggiran dan recehan, dibanding membicarakan
siapa yang menuju kursi itu. Tentu wacana itu taksalah menurut kaum
konvensional, hingga kini dinyakini bahwa “sosok pigur ” itu menjadi elemen
penting dalam proses politik.
Meskipun
wacana itu, memerlukan perdebatan yang serius agar memperoleh panduan yang
lebih baik bagi bangsa ini, yang hingga hari ini tidak memberikan pembuktian
yang cukup bagi rakyat. Rakyat masih hidup dengan kekuatan dirinya
sendiri.
Sementara
“Negara” sibuk bagi kepentingan kaum elit penguasa dan partai politik lebih
jauh Negara hari ini sibuk melayani pasar dan kaum modal dibanding memenuhi
hak-hak dasar rakyatnya. Kondisi keterpurukan dan potret buruk itu
rupanya tidak hanya di wilayah kekuasaan hulu, namun telah menjalar ke
kekuasaan di hilir.seperti di Pemerintahan Kabupaten Garut.
Lepas dari
membicarakan sebab musabab turunnya wakil Bupati Kabupaten Garut yang hingga
kini menjadi misteri. Di tengah dinamika politik yang tak jelas atas persoalan
wakil Bupati, beserta sederet persoalannya, kini orang lebih tertarik
“membaca kekosongan kursi empuk dan berkuasa” mendominasi situasi kekuasaan
politik dibanding menuntaskan terlebih dahulu akar persoalan yang mewarnai
turunnya wakil bupati. Bahkan lebih jauh akibat sahwat berkuasa kaum elit
partai beserta kroninya lebih dominan menghitung ruang kursi kosong itu dengan
segudang dinamika politiknya dibanding menyelesaikan persoalan yang
menghegemoni kekuasaan. Semua lebih tertarik menceritakan dari mana dan siapa
penggantinya di banding hal lain. Padahal Garut punya persoalan-persoalan
genting Seperti soal pertama sengketa angraria. Kedua
ketingpangan penguasaan agrarian. Ketiga, kesehatan dan pendidikan yang
buruk. Keempat sumber daya manusia dan infrastruktur. Kelima reformasi
birokrasi, KKN dan Penegakan hukum. Keenam,Pelayanan public, tranfaransi
dan partisipasi. Ketujuh anggaran yang berbasis pedesaan dan gender.
Kedelapan reformasi hukum dan birokrasi yang stagnan. Kesembilan, kemiskinan
Semua
persoalan itu, terlihat tak mendapat perhatian yang luar biasa dibanding
membicarakan kuri panas yang kosong. Karena persoalan kursi akan memberikan
pendapatan tambahan biasanya.Ruang (pasar) itu akan dijadikan arena transaksi
politik hingga politik dagang sapi. Hingga sulit etika politik itu mewarnai
proses pengisian kursi. Bahkan tak salah bila tumbuh kehawatiran di kalangan
rakyat bahwa kursi itu akan di “jual belikan” tentu dengan harga yang
pantastik.
Potret
politik destruktif ini akan liar bila dibiarkan. Bahkan akan menjadi
boomerang atau penyakit yang luar biasa bila tidak diingatkan. Mosi tak percaya
pada penyelenggara yang oligarki akan menjadi kekuatan politik yang luar biasa
dari rakyat. Rakyat akan mengekpresikan kekecewaannya itu dengan caranya
sendiri, karena tiga pilar demokrasi (yudikatif, eksekutif dan legislatif)
tidak cukup bekerja sebagai mana amanat konstitusi. Kekuatan dan kekuasaan
uang, pasar, dan modal masih menjadi alat yang ampuh merubah situasi yang
objektif (memenuhi rasa keadilan rakyat), penegakan hukum sering kali
hanya berlaku bagi mereka yang menjadi objek penguasa (rakyat) dibanding bagi
mereka yang memiliki kekuatan politik.
Semua
kenyataan itu tentu membuat rakyat shock mempertayaan keberadaan semua pilar
demokrasi itu. Tiga pilar itu dimana ? pada saat ini rakyat berada dalam
situasi ekonomi politik yang terancam. Berbagai kemiskinan, konflik agrarian,
persoalan KKN, infra stuktur yang buruk, sumber daya manusia yang tak pernah
tinggal landas,pendidikan, HAM, ketimpangan agrarian, kesehatan, daya beli yang
rendah, dan sederet persoalan lain yang bertubi-tubi menyeret rakyat dalam
kondisi terpuruk disemua sektor. Tentu potret ini bukan di tonton semata
namun memerlukan politik will dari penguasa. Tindakan yang riil yang lebih
membumi diperlukan. Karena pembiaran adalah bentuk dari penghianatan dan
penghinaan terhadap amanat konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Tentu semua
itu harus dikembalikan lagi pada posisi yang konstituional dan rasional. Bila
dimasa orde baru, rakyat mengalami keterasingan dari Negara sehingga
mengakibatkan rakyat tak berdaya, bahkan menjadi masa mengambang untuk
melegitimasi kekuasaan atas nama keamanan, konstitusi, penegakan hukum dan
kedaulatan rakyat, sementara dengan adanya arus reformasi harapan perubahan itu
tumbuh, namun kenyataan yang sulit dipungkiri pemberdayaan yang selama
ini di presentasikan bukan untuk mereka “rakyat” namun bagi kaum elit,
pemodal, pasar dan para politisi.Kesadaran akan tumbuhnya civil culture tak
pernah terwujud. Bahkan bagai api jauh dari panggangnya. Sehingga tak
dipersalahkan bila peran fungsi tiga pilar penting dalam demokrasi tidak ada,
dan terpenjara. Padahal Indonesia adalah Negara yang memiliki partai terbanyak
di dunia. Namun gagal memberikan kepastian pada rakyat untuk memperoleh kedaulatan
dan kesadarannya. Bahkan yang terjadi upaya hegemoni yang pasif baik secara
politik, ekonomi, budaya dan hukum semakin hari semakin menjadi menara
gading.Maka tak heran bila rakyat berhadapan dengan berbagai konflik,dan krisis
multidimensi. Tetapi berkali-kali namanya Negara lari, rakyat dibiarkan sendiri
sehingga teralienasi. Lebih jauh pemenuhan, perlindungan dan penghormatan
terhadap rakyat hilang dari negara.
Seleksi
untuk siapa
Biasanya
dalam soal seleksi calon penguasa, begitupun soal pihak yang menjadi mitra
berkuasa sering kali menjadi hak preogatif elit politik dan penguasa. Tak ada
isyarat melibatkan rakyat apalagi jadi media komunikasi rakyat.
Karena pilihan itu sering kali bukan didasarkan dari idioligi , tidak pula peta
kebutuhan dan persoalan konstituen . Lebih jauh rakyat yang merupakan elemen
dan intrumen pasar politik penting tidak pernah menjadi bagian penting dalam
persyaratan pemilihan. Hampir tidak ada upaya untuk memenuhi kebutuhan mereka
(rakyat).akibatnya rakyat tidak akan pernah memperoleh manisnya kekayaan
bangsa ini. Untuk memperbaikinya tentu harus belajar untuk lebih membuka
ruang agar terjadi komunikasi politik yang seimbang dan bermartabat. Begitu
juga dalam mengisi kursi panas yang ditinggalkan (Wabub) Maka bila proses
pememilihan dengan cara “ uang dan konspiratif, hegemoni dan milang
kancing” dalam proses membeli kucing (wakil Bupati) kita tak akan mendapatkan
sesuatu yang lebih, selain politik rutinitas suksesi.Dan seleksi itu
hanya untuk mereka yang sering diuntungkan secara ekonomi dan politik. Tentu
dampak model transaksi politik ini akan luar biasa, melahirkan KKN model-model
baru mengganti kost politik yang tidak sehat ini.
Apalagi
hingga hari ini rakyat dihadapkan pada capaian kinerja rezim yang tidak pernah
memberikan harapan baru yang lebih baik bahkan melahirkan kegelisahan,
kehawatiran dan keraguan pada Pemerintahan Daerah. Penegakan hukum yang melukai
keadilan public, pemberantasan korupsi yang tersandera kepentingan orang
kuat, politisi yang hanya sibuh untuk dirinya dan parpolnya yang menggerus dan
mengikis kepercayaan publik, sehingga sulit dipungkiri bila public milihat
potret politik yang suram itu akan menarik diri. Tobat politik bisa menumbuhkan
kembali kepercayaan itu. Namun tentu harus diimbangi dengan gerakan
social yang massif mengawal implementatif dari proses Tobat politik. Tidak
biasa dibiarkan seperti air, karena pengianatan itu bila ada kesempatan akan
terus diimplementasikan menjadi pegianatan, hegemoni dan konspirasi destruktif
.
Pemimpin
Sekali lagi
sikap skeptis terhadap potret politik yang berkembang yang dilahirkan elit
politik akibat penyimpangan dalam praktek politik yang buruk
berkembang di hati rakyat. Sehingga pengobatan untuk menjaga itu etika, moral
menjadi pilihan terbaik. Etika akan menjadi rambu-rambu dalam membatasi segala
penggunaan kekuasaan dan kewenangan agar memperhatikan prinsip-prinsif
kemanusiaan, keadilan, akuntabilitas dan partisipasi.Pemimpin politik bukanlah
hanya persoalan uang dan pengaruh, namun menyangkut soal kematangan idiologi
dan bacaan pemimpin dalam persoalan dinamika politik kehidupan social.
Berkenaan dengan soal bursa suksesi Wakil Bupati tentu haruslah menjadi bahan
bacaan yang serius, karena tidak hanya soal regulasi, kedekatan, setoran yang
harus menjadi bacaan. namun pilihan idiologi dan moral yang matang
pilihan terbaik agar tidak melukai kepercayaan rakyat.
Figure yang
dibutuhkan bukan dari kelompok politik balas budi, kelompok yang bekerja
politik demi kelompok, kroninya dan kekuasaan konspirasinya , bukan pula yang
berwatak liberalistic, berkompromi dengan konspirasi yang abnormal.
Pemerintahan Garut memerlukan pemimpin yang memiliki watak , karakter,
idiolgi organic dan tentu menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Kehadirannya
tidak menjadi beban bagi public. Ia lahir efektif, setiap putusannnya
merupakan jawaban dan solusi atas kebutuhan public. Bahkan orang yang mau
mengakatan ! lawan, laporkan, dan tegakan supremasi hukum kepada siapapun tanpa
terkecuali yang melanggar hukum. Jalankan reformasi birokrasi dan reformal
agrarian. Karena bila tidak, Berbagai persoalan rakyat akan menjadi ruang
recehan di banding menjaga dan mewujudkan komitmen politiknya dengan sesame
jaringan strategisnya. Untuk itu, nominasi kandidat wakil Bupati yang hanya
menjadi hak eksekutif (bupati) dan partai politik harus diakhiri. Rakyat muak
atas proses politik sebatas pengusungan figure, pencalonan, pendaptaran,
kampanye hingga pemungutan suara. Eksekutif harus berijtihad membuka pada
public akan bakal calon. Eksekutif harus tranfaran, partisipatif, akuntabilitas
dalam proses rekrutmen figure atau kandidat agar dapat dipertanggung jawabkan
kepada rakyat (public) Calon-calon harus diuji elektabilitas bacaan politik,
platfon, idiologi dan keberpihakannnya . Sehingga proses ini akan memberi
kesempatan kepada rakyat untuk memberikan “komentar” terhadap calon-calon
pemimpin mereka.Dengan ruang ini akan menawarkan kualitas calon yang lebih
unggul dan harapan baru bagi rakyat. Dengan mekanisme ini, setiap calon dipaksa
menguras segala pengetahuan dan keterampilannnya untuk membongkar akar
persoalan yang melandan krisis multi dimensi yang terjadi di Kabupaten Garut.
Dengan kata lain, kualitas demokrasi menjadi hal yang harus diberikan
kuri yang besar dan penting tidak asal proses politik adminitrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar