Sabtu, 07 Maret 2015

IJTIHAD POLITIK

Dalam kancah politik menuju kursi panas dari pilpers hingga pilkada, begitupun soal pemilu legislatif, membicarakan serius akar persoalan bangsa sering kali lepas dan terlewat dari pembicaraan dan perdebatan  serius. Meskipun ada tentu sering kali hanya jadi bacaan pinggiran dan recehan, dibanding membicarakan siapa yang menuju kursi itu. Tentu wacana itu taksalah  menurut kaum konvensional, hingga kini dinyakini bahwa “sosok pigur ” itu menjadi elemen penting dalam proses politik.
Meskipun wacana itu, memerlukan perdebatan yang serius agar memperoleh panduan yang lebih baik bagi bangsa ini, yang hingga hari ini tidak memberikan pembuktian yang cukup bagi rakyat.  Rakyat masih hidup dengan kekuatan dirinya sendiri.
Sementara “Negara” sibuk bagi kepentingan kaum elit penguasa dan partai politik lebih jauh Negara hari ini sibuk melayani pasar dan kaum modal dibanding memenuhi hak-hak dasar rakyatnya.  Kondisi keterpurukan dan potret buruk itu rupanya tidak hanya di wilayah kekuasaan hulu, namun telah menjalar ke kekuasaan di hilir.seperti di Pemerintahan Kabupaten Garut.

Lepas dari membicarakan sebab musabab turunnya wakil Bupati Kabupaten Garut yang hingga kini menjadi misteri. Di tengah dinamika politik yang tak jelas atas persoalan wakil Bupati, beserta sederet persoalannya,  kini orang lebih tertarik “membaca kekosongan kursi empuk dan berkuasa” mendominasi situasi kekuasaan politik dibanding menuntaskan terlebih dahulu akar persoalan yang mewarnai turunnya wakil bupati. Bahkan lebih jauh akibat sahwat berkuasa kaum elit partai beserta kroninya lebih dominan menghitung ruang kursi kosong itu dengan segudang dinamika politiknya dibanding menyelesaikan persoalan yang menghegemoni kekuasaan. Semua lebih tertarik menceritakan dari mana dan siapa penggantinya di banding hal lain. Padahal Garut punya persoalan-persoalan genting Seperti soal pertama sengketa angraria. Kedua ketingpangan penguasaan agrarian. Ketiga, kesehatan dan pendidikan yang buruk. Keempat sumber daya manusia dan infrastruktur. Kelima reformasi birokrasi, KKN dan Penegakan hukum. Keenam,Pelayanan public, tranfaransi dan partisipasi. Ketujuh anggaran yang berbasis pedesaan dan gender. Kedelapan reformasi hukum dan birokrasi yang stagnan. Kesembilan, kemiskinan
Semua persoalan itu, terlihat tak mendapat perhatian yang luar biasa dibanding membicarakan kuri panas yang kosong. Karena persoalan kursi akan memberikan pendapatan tambahan biasanya.Ruang (pasar) itu akan dijadikan arena transaksi politik hingga politik dagang sapi. Hingga sulit etika politik itu mewarnai proses pengisian kursi. Bahkan tak salah bila tumbuh kehawatiran di kalangan rakyat bahwa kursi itu akan di “jual belikan” tentu dengan harga yang pantastik.
Potret  politik destruktif ini akan liar bila dibiarkan. Bahkan  akan menjadi boomerang atau penyakit yang luar biasa bila tidak diingatkan. Mosi tak percaya pada penyelenggara yang oligarki akan menjadi kekuatan politik yang luar biasa dari rakyat. Rakyat akan mengekpresikan kekecewaannya itu dengan caranya sendiri, karena tiga pilar demokrasi (yudikatif, eksekutif dan legislatif) tidak cukup bekerja sebagai mana amanat konstitusi. Kekuatan dan kekuasaan uang, pasar, dan modal masih menjadi alat yang ampuh merubah situasi yang objektif  (memenuhi rasa keadilan rakyat), penegakan hukum sering kali hanya berlaku bagi mereka yang menjadi objek penguasa (rakyat) dibanding bagi mereka yang memiliki kekuatan politik.
Semua kenyataan itu tentu membuat rakyat shock mempertayaan keberadaan semua pilar demokrasi itu. Tiga pilar itu dimana ? pada saat ini rakyat berada dalam situasi ekonomi politik yang terancam. Berbagai kemiskinan, konflik agrarian, persoalan KKN, infra stuktur yang buruk, sumber daya manusia yang tak pernah tinggal landas,pendidikan, HAM, ketimpangan agrarian, kesehatan, daya beli yang rendah, dan sederet persoalan lain yang bertubi-tubi menyeret rakyat dalam kondisi terpuruk disemua sektor. Tentu potret ini bukan di tonton  semata namun memerlukan politik will dari penguasa. Tindakan yang riil yang lebih membumi diperlukan. Karena pembiaran adalah bentuk dari penghianatan dan penghinaan terhadap amanat konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Tentu semua itu harus dikembalikan lagi pada posisi yang konstituional dan rasional. Bila dimasa orde baru, rakyat mengalami keterasingan dari Negara sehingga mengakibatkan rakyat tak berdaya, bahkan menjadi masa mengambang untuk melegitimasi kekuasaan atas nama keamanan, konstitusi, penegakan hukum dan kedaulatan rakyat, sementara dengan adanya arus reformasi harapan perubahan itu tumbuh, namun  kenyataan yang sulit dipungkiri pemberdayaan yang selama ini di presentasikan  bukan untuk mereka “rakyat” namun bagi kaum elit, pemodal, pasar dan para politisi.Kesadaran akan tumbuhnya civil culture tak pernah terwujud. Bahkan bagai api jauh dari panggangnya. Sehingga tak dipersalahkan bila peran fungsi tiga pilar penting dalam demokrasi tidak ada, dan terpenjara. Padahal Indonesia adalah Negara yang memiliki partai terbanyak di dunia. Namun gagal memberikan kepastian pada rakyat untuk memperoleh kedaulatan dan kesadarannya. Bahkan yang terjadi upaya hegemoni yang pasif baik secara politik, ekonomi, budaya dan hukum semakin hari semakin menjadi menara gading.Maka tak heran bila rakyat berhadapan dengan berbagai konflik,dan krisis multidimensi. Tetapi berkali-kali namanya Negara lari, rakyat dibiarkan sendiri sehingga teralienasi. Lebih jauh pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap rakyat hilang dari negara.
Seleksi untuk siapa
Biasanya dalam soal seleksi calon penguasa, begitupun soal pihak yang menjadi mitra berkuasa sering kali menjadi hak preogatif elit politik dan penguasa. Tak ada isyarat  melibatkan  rakyat apalagi jadi media komunikasi rakyat. Karena pilihan itu sering kali bukan didasarkan dari idioligi , tidak pula peta kebutuhan dan persoalan konstituen . Lebih jauh rakyat yang merupakan elemen dan intrumen pasar politik penting tidak pernah menjadi bagian penting dalam persyaratan pemilihan. Hampir tidak ada upaya untuk memenuhi kebutuhan mereka (rakyat).akibatnya  rakyat tidak akan pernah memperoleh manisnya kekayaan bangsa ini. Untuk memperbaikinya tentu  harus belajar untuk lebih membuka ruang agar terjadi komunikasi politik yang seimbang dan bermartabat. Begitu juga dalam mengisi kursi panas yang ditinggalkan (Wabub)  Maka bila proses pememilihan dengan cara “ uang dan konspiratif,  hegemoni dan milang kancing” dalam proses membeli kucing (wakil Bupati) kita tak akan mendapatkan sesuatu yang lebih,  selain politik rutinitas suksesi.Dan seleksi itu hanya untuk mereka yang sering diuntungkan secara ekonomi dan politik. Tentu dampak model transaksi politik ini akan luar biasa, melahirkan KKN model-model baru mengganti kost politik yang tidak sehat ini.
Apalagi hingga hari ini rakyat dihadapkan pada capaian kinerja rezim yang tidak pernah memberikan harapan baru yang lebih baik bahkan melahirkan kegelisahan, kehawatiran dan keraguan pada Pemerintahan Daerah. Penegakan hukum yang melukai keadilan public, pemberantasan  korupsi yang tersandera kepentingan orang kuat, politisi yang hanya sibuh untuk dirinya dan parpolnya yang menggerus dan mengikis kepercayaan publik, sehingga sulit dipungkiri bila public milihat potret politik yang suram itu akan menarik diri. Tobat politik bisa menumbuhkan kembali kepercayaan itu. Namun  tentu harus diimbangi dengan gerakan social yang massif mengawal implementatif dari proses Tobat politik. Tidak biasa dibiarkan seperti air, karena pengianatan itu bila ada kesempatan akan terus diimplementasikan menjadi pegianatan, hegemoni dan konspirasi destruktif .
 Pemimpin
Sekali lagi sikap skeptis terhadap potret politik yang berkembang yang dilahirkan elit politik  akibat  penyimpangan dalam praktek politik yang buruk berkembang di hati rakyat. Sehingga pengobatan untuk menjaga itu etika, moral menjadi pilihan terbaik. Etika akan menjadi rambu-rambu dalam membatasi segala penggunaan kekuasaan dan kewenangan agar memperhatikan prinsip-prinsif kemanusiaan, keadilan, akuntabilitas dan partisipasi.Pemimpin politik bukanlah hanya persoalan uang dan pengaruh, namun menyangkut soal kematangan idiologi dan bacaan pemimpin dalam persoalan dinamika politik kehidupan social. Berkenaan dengan soal bursa suksesi Wakil Bupati tentu haruslah menjadi bahan bacaan yang serius, karena tidak hanya soal regulasi, kedekatan, setoran yang harus menjadi  bacaan. namun pilihan idiologi dan moral yang matang pilihan terbaik agar tidak melukai kepercayaan rakyat.
Figure yang dibutuhkan bukan dari kelompok politik balas budi, kelompok yang bekerja politik demi kelompok, kroninya dan kekuasaan konspirasinya , bukan pula yang berwatak liberalistic, berkompromi dengan konspirasi yang abnormal. Pemerintahan Garut memerlukan pemimpin  yang memiliki watak , karakter, idiolgi organic  dan tentu menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Kehadirannya tidak menjadi beban bagi public. Ia lahir  efektif, setiap putusannnya merupakan jawaban dan solusi atas kebutuhan public. Bahkan orang yang mau mengakatan ! lawan, laporkan, dan tegakan supremasi hukum kepada siapapun tanpa terkecuali yang melanggar hukum. Jalankan reformasi birokrasi dan reformal agrarian. Karena bila tidak, Berbagai persoalan rakyat akan menjadi ruang recehan di banding menjaga dan mewujudkan komitmen politiknya dengan sesame jaringan strategisnya. Untuk itu, nominasi kandidat wakil Bupati yang hanya menjadi hak eksekutif (bupati) dan partai politik harus diakhiri. Rakyat muak atas proses politik sebatas pengusungan figure, pencalonan, pendaptaran, kampanye hingga pemungutan suara. Eksekutif harus berijtihad membuka pada public akan bakal calon. Eksekutif harus tranfaran, partisipatif, akuntabilitas dalam proses rekrutmen figure atau kandidat agar dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat (public) Calon-calon harus diuji elektabilitas bacaan politik, platfon, idiologi dan keberpihakannnya . Sehingga proses ini akan memberi kesempatan kepada rakyat untuk memberikan “komentar” terhadap calon-calon pemimpin mereka.Dengan ruang ini akan menawarkan kualitas calon yang lebih unggul dan harapan baru bagi rakyat. Dengan mekanisme ini, setiap calon dipaksa menguras segala pengetahuan dan keterampilannnya untuk membongkar akar persoalan yang melandan krisis multi dimensi yang terjadi di Kabupaten Garut. Dengan kata lain, kualitas demokrasi  menjadi hal yang harus diberikan kuri yang besar dan penting tidak asal proses politik adminitrasi.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar