Oleh : Ibang Lukmanurdin
Dalam beberapa literatur yang tak diragukan, istilah
Tauhid vertikal (membersihkan kepercayaan) dan Tauhid sosial (berjihad
menghentikan penghisapan manusia antar manusia) dua sisi mata uang yang tak
bisa dilepas dalam ajaran agama Islam. Kedua areana itu sangat relevan
digunakan sebagai konsep menegakkan keadilan sosial, politik kesejahteraan, dan
pembumian memanusiakan manusia. apalagi setelah peranan kekayaan diklaim milik
pribadi ansich. Potret yang tak bisa dipungkiri dari masa feodalisme,
sampai hari ini ketimpangan dan kesenjangan sosial semakin terasa dan
perbedaan kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Bahkan menyeret potret
penghisapan antar klas terjadi. Akibatnya Jarak antara yang kuat dan kaya
dengan yang lemah dan miskin semakin menyolok mata. Kaum dhuafa (lemah dan
miskin) terhimpit oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan hidup tanpa masa
depan.
Amien Rais menambahkan dilihat dari kacamata
tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia pengingkaran terhadap
persamaan derajat manusia di depan Allah. Jurang yang menganga lebar antara
lapisan kaya dan miskin, yang selalu disertai kehidupan yang eksploitatif
merupakan fenomena anti tauhid.
Tegasnya mempertajam tauhid sosial, berarti
mempertajam perjuangan menentang eksploitasi manusia atas manusia, sampai pada
tingkat perang pembebasan kaum yang teraniaya, seperti yang diperingatkan surat
Annisa 75.
Gerakan Membumikan Isi Al Quran
Tujuan dari gerakan membumikan Al-Quran meminjam istilah Quraish Shehab , tak lain hendak memanusiaan manusia pada fitrahnya. Sehingga tidak terdapat lagi manusia mengeksploitasi manusia, telah terdapat keadilan sosial dan menuju masyarakat tauhidi, masyar“agama pembebasan”,akat tanpa kelas. Hal ini karena makna terpenting dari ajaran islam adalah ia sebagai agama pembebasan. Sehingga gerakan membum ikan Al-Quran tak lain dari gerakan :
a. Memerangi Kapitalisme
Islam cukup jelas menentang adanya manusia
mengeksploitasi manusia lain. Itu tercermin dari surat Al An’am ayat 145 yang
mengatakan haram hukumnya “memakan darah yang mengalir”. Memakan darah yang
mengalir, bukan hanya secara harafiah, yaitu melukai kulit seseorang, kemudian
menghirup darah dari tempat yang dilukai, tetapi yang hakiki ialah para tuan memeras
tenaga para budaknya, tuan tanah memeras tenaga hamba taninya, kaum kapitalis
“mencuri” tenaga kerja kaum buruh. Budak, tani hamba, buruh tidak akan dapat
diperas, bila darah tidak megnalir lagi dalam tubuh mereka.
Begitu juga surat Al Baqarah ayat 188 dengan
tegas mengatakan: walaa ta’kuluu amwaalakum baenakum bi al-bathil “janganlah
sebagian kamu memakan harta orang lain dengan batil (menindas, menghisap,
merampas) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim (pembenaran melalui kebijakan,
pengadilan, atas nama kekuasaan), supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta
orang dengan berdosa (tidak adil), sedang kamu mengetahuinya.
Dan yang lebih tegas lagi adalah ayat 1-4
surat Al Humazah. Yang jelas-jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk
harta. Dan orang-orang yang menumpuk harta tersebut ialah kaum kapitalis.
“Menghisap keringatnya orang-orang yang
bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan keuntungan yang
semestinnya, memakan keuntungan sepihak adalah dilarang sekeras-kerasnya
oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan ‘riba’ belaka. Dengan begitu agama
Islam memerangi kapitalisme sampai pada ‘akarnya’.
b.
Mewujudkan keadilan sosial
Islam hendak menegakkan keadilan sosial, .
Lihatlah surat Al Qashash ayat 5-6. Di sana dengan gamblang dikemukakan janji
Tuhan yang akan menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa)
sebagai pemimpin di bumi dan mewarisi bumi. Bila kaum tertindas telah menjadi
pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, tidak ada tempat lagi bagi kaum mustakbirin
(para tiran, bangsawan,priyayi, angkuh dan kaya) untuk melakukan penindasan dan
penghisapan terhadap kaum mustadafhin. Keadilan sosial tegak.
Masyarakat yang berkeadilan sosial, adalah
masyarakat transisi menuju masyarakat Tauhidi, “umat yang satu” seperti yang
dikemukakan surat Al Mukminun ayat 52.
Umat yang satu, yang dimaksud surat Al
Mukminun ayat 52 ini, tentu umat yang tidak terpecah lagi dalam kaum-kaum
tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) dan kaum mustakbirin (para
tiran, angkuh dan kaya). Tentu bukan umat yang satu bila sementara lain hidup dengan
melimpah-ruah, sedang jutaan orang hidup serba kekurangan. Umat yang satu, baru
ada, bila setiap orang mendapat menurut kebutuhannya, bukan lagi menurut
prestasi kerjanya, apalagi mendapat menurut “kontrak kerja” seperti yang
berlaku dalam sistem kapitalis.
Mengenai masyarakat Tauhidi ini, Asghar Ali
Engineer melalui bukunya “Islam dan Pembebasan” mengemukakan bahwa Tauhid tidak
hanya menyatakan keesaan Allah, tetapi juga kesatuan manusia dalam semua hal.
Suatu masyarakat jami’-i tawhid yang Islami, tidak akan membenarkan
diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu didasarkan pada ras, agama, kasta
maupun kelas. Masyarakat tauhid yang sejati menjamin kesatuan sempurna diantara
manusia dan untuk mencapai ini, perlu untuk membentuk masyarakat tanpa kelas.
Keesaan Allah mengharuskan kesatuan masyarakat dengan sempurna dan masyarakat
demikian tidak mentolerir perbedaan dalam bentuk apapun, bahkan perbedaan kelas
sekalipun. Tidak akan terjadi solidaritas imam sejati, kecuali segala bentuk
perbedaan ras, bangsa, kasta, kelas dihilangkan. Pembagian kelas menegaskan
secara tidak langsung dominasi yang kuat atas yang lemah dan dominasi ini
merupakan pengingkaran terhadap pembentukan masyarakat yang adil (hal:
94).
c.
Pertentangan Kelas dan Perjuangan Kelas
Tentang sejarah semua sususan masyarakat yang
ada hingga sekarang adalah sejarah pertentangan kelas dan perjuangan kelas, itu
telah dikemukakan Al Quran melalui surat Al Mukminun (53), Al Qashash (5-6) dan
Ar Ra’du (11):
Al Mukminun 53: Mereka terpecah-belah
sesamanya tentang urusannya, menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan
gembira dengan yang ada pada mereka.
Al Qashash: 5-6: Dan kami hendak memberikan
karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadahin atau dhuafa) di bumi dan
hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang
yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi.
Ar Ra’du 11: Sesungguhnya Allah tiada akan
mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri.
Ketiga surat-surat di atas mengandung
petunjuk bahwa masyarakat manusia tidak satu lagi, tetapi telah terpecah-pecah
dalam yang menindas dan yang tertindas. Tuhan dalam hal ini terang-terangan
memihak kepada kaum yang tertindas. Itu tercermin dari janji Tuhan dalam Al
Qashash (5-6).
Melalui surat Ar Ra’du 11 cukup jelas
dikemukakan, bahwa keadaan mereka yang tertindas dan miskin tetap akan
tertindas dan miskin, bila mereka sendiri tidak bangkit melemparkan belenggu
yang dililitkan kaum penindas atas leher mereka. Usaha kaum atau perjuangan
kelas dari kaum tertindas sendirilah yang menentukan terjadinya perubahan.
Bantuan dari luar berupa sedekah, infak, zakat bukan faktor yang menentukan
untuk terjadinya perubahan yang mendasar.
Perjuangan kelas seperti yang dikemukakan
surat Ar Ra’du 11 itu untuk membebaskan kaum yang tertindas dari penindasan
yang mereka alami, lebih dipertegas tentang pentingnya pembebasan mereka itu
dalam surat An Nisa ayat 75. Mengapa tiada kamu mau berperang pada
sabilillah dan untuk (membebaskan) orang-orang yang lemah di antara laki-laki,
perempuan-perempuan dan anak-anak, sedang mereka itu berdoa: Ya, Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini yagn aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami
seorang Wali dari sisiMu dan adakanlah untuk kami yang mengurus pekerjaan dari
kamu.
Imbauan berperang untuk membebaskan
orang-orang yang teraniaya dari surat Annisa 75, menunjukkan Tuhan mengizinkan
jalan kekerasan guna menegakkan keadilan sosial, kemanusiaan.
Malah dalam
surat Al Hajji ayat 39 dengan tegas dikatakan: “Telah diizinkan (berperang)
kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka teraniaya. Sesungguhnya
Allah mahakuasa menolong mereka itu. Islam menentang kekerasan yang tidak adil.
Seperti kekerasan untuk menjajah negeri lain, untuk merampas harta orang lain,
atau yang menimbulkan bencana pada orang lain.
Hadis Nabi Muhammad Saw juga mengatakan: Bila
engkau melihat kemungkaran ubahlah dengan tangan (kekuatan, kekerasan), dan
bila tidak mampu, ubahlah dengan lidah (kritik, nasehat) dan bila tidak mampu
juga, ubahlah dalam hati dan itulah selemah-lemahnya iman. Bagi yang imannya
kuat, kemungkaran harus diubah dengan tangan.
Islam dan keadilan
sosial
Dengan mencermati ayat-ayat yang terdapat
dalam Al Quran di atas, cukup jelas menunjukkan bahwa Islam memerangi
kapitalisme, Islam hendak menegakkan keadilan sosial, Islam bertujuan
terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Dan untuk memenangkan perjuangan mengalahkan
kapitalisme, memenangkan keadilan sosial dan kemudian terwujudnya masyarakat
tanpa kelas, Islam memberikan petunjuk harus dengan melalui perjuangan
kelas.
Ini sesuai dengan surat Al Kahfi 29, yang
mengatakan: Kebenaran datang dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau (beriman)
berimanlah, dan barangsiapa yang tidak mau (kufur) kufurlah. Dalam surat Al
Qomar 19 dikatakan: seseorang di akhirat akan menerima apa yang diusahakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar