Oleh : Nissa Wargadipura
Cara - cara mempertahankan tanah : Petani Harur Kreatif |
Tahun 1994, penulis adalah aktivis Forumm Pemuda
Pelajar Mahasiswa Garut – FPPMG, yang bersama aktivis lainnya melakukan
pendampingan masyarakat Desa Sagara yang berkonflik dengan Perhutani. Kasus ini
didampingi sejak 1998, dan tanah yang diperjuangkan diredistibusi oleh negara
sebagai Tanah Negara kepada rakyat pada 1997.
Seiring waktu, pada 1998 Soeharto turun dan
Indonesia terkena krisis ekonomi, berbondong bondong masyarakat desa yang bekerja di kota, pulang dan melakukan
pembukaan tanah tanah terlantar yang berada di kawasan perkebunan dan
Perhutani, untuk dijadikan lahan pertanian sebagai mata pencaharian. Kota
Jakarta, Surabaya dan Bandung, menurut
mereka pada waktu itu sudah tidak lagi memberikan keuntungan bagi sumber
kehidupan, selain dianggap berbahaya karena kerusuhan dan tawuran kerap
terjadi.
Orang orang yang berangkat ke kota adalah masyarakat
yang tidak mempunyai mata pencaharian di desa, mereka rata rata adalah buruh
serabutan, tidak mempunyai lahan garapan. Situasi diatas memaksa mereka untuk membuka lahan lahan terlantar di sekitar
kawasan yang diklaim Perkebunan dan Perhutani (lihat tulisan saya atas sejarah
kawasan rakyat yang di klaim PTPN VIII dan Perhutani)
Cara - cara mempertahankan tanah : Melibatkan seluruh keluarga dalam bertani |
Pada 23 Mei 2000 di Jakarta, Gusdur pada
waktu itu sebagai presiden, di depan forum itu dia mengutarakan
yang intisarinya sebagai berikut: pertama,peran Negara (pemerintah)
dalam pengelolaan alam akan dikurangi seminimal mungkin.Bahkan pada saatnya,
pemerintah hanya sebagai pengawas bagi pengelolaan sumber-sumber agrarian yang
dijalankan oleh masyarakat. Kedua, menyoroti soal fenomena maraknya
pengelolaan tanah oleh masyarakat, gus dur menyatakan bahwa tidak tepat jika
rakyat dituduh menjarah, karena, sebenarnya perkebunan yang nyolong tanah
rakyat. Ngambil tanah kok nggak bilang-bilang. Ketiga, sebaiknya 40% lahan
dari perkebunan dibagikan kepada petani penggarap yang membutuhkan. Bahkan
kalau mau, saham perkebunan itu juga bisa dimiliki oleh masyarakat.
Pernyataaan itu menjadi Moment teramat sangat penting bagi masyarakat di
desa di kabupaten Garut, terutama mereka yang berada didalam kawasan Perkebunan
dan Perhutani. Gusdur telah memberi jalan bagi rakyat jelata di desa untuk menggarap lahan
Maka terjadilah gelombang besar di berbagai tempat
baik di kabupaten Garut, kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis.
Penulis adalah saksi dari fase fase berbagai bentuk
perlawanan terhadap perkebunan dan perhutani di wilayah dimana penulispun
bekerja sebagai organizer dengan beberapa aktivis FPPMG lainnya, hingga
akhirnya terlahir sebuah organisasi bernama Serikat Petani Pasundan.
Pergulatan pengorganisasian terhadap buruh buruh
tani yang telah menggarap lahan, dilakukan penulis sejak 1994 sampai 2008.
Penulis bergaul begitu sangat dekat, metode live ini (tinggal bersama mereka),
menggunakan pendekatan budaya dan melihat kehidupan ekonomi mereka langsung.
Selama melakukan pengorganisasian di wilayah wilayah
Serikat Petani Pasundan, penulis merasa selalu gelisah, ditemukan lahan lahan
garapan yang diklaim oleh anggota, namun tidak tergarap, kasus sewa, gadai
bahkan tanah garapan dijual, kerap ditemukan ditengah pengorganisasian. Penasaran
dengan kasus kasus diatas, pada 2007 diadakan pemeriksaan organisasi pada
beberapa organisasi tani lokal, yang diambil sampelnya di Cisompet di desa
Jatisari dan Desa Neglasari, dimana sistem pertanian yang dibangun dengan
sistem palawija, di Desa Dangiang dan Sarimukti Kecamatan Cilawu dan di Desa
Cipaganti Papandayan yang rata rata sistem pertaniannya hortikultura monokultur.
Temuan temuan penting didapatkan sepanjang
pemeriksaan organisasi. Metode yang dipakai adalah, saling memeriksa antar
anggota bersama kami sebagai fasilitator. 10 penggarap secara acak kami
tetapkan, tujuan ini dilakukan agar setiap informasi yang diterima akurat.
Pada informasi yang didapat, beberapa hal hal
penting yang sangat mendasar kami dapatkan.
Ternyata hampir semua anggota tani mempunyai hutang,
entah itu ke warung untuk kebutuhan pangan, bandar, saudara yang berkemampuan
memberikan modal bertani, atau pada Toko Pertanian (toko obat : red). Hutang
ini didapatkan untuk modal sarana produksi bertani. Contoh di Desa Cipaganti
Papandayan Garut, Mang Udis membutuhkan biaya produksi untuk benih (contoh :
kentang, kubis, bunga kol dan wortel), tenaga kerja membersihkan lahan,
mengelola lahan sebelum ditanam, menanam/menurunkan semaian, ngaramas (membuang
rumput ketika benih sudah berumur sebulan), pemberian pupuk tanaman beberapa
kali (bisa sampai dua kali atau tiga kali dalam empat bulan), pemberian semprotan pestisida, serta
tenaga kerja untuk memanen. Semua modal sarana produksi tersebut akan dibayar
setelah panen.
Ketergantungan hutang pada setiap musim tanam inilah
yang mengancam keterlepasan tanah bagi mereka anggota anggota serikat tani.
Diibaratkan hutang terbut menggantung sampai sepanjang hayat, sampai akhir hidup.
ketika panen tiba, kemungkinan dua kenyataan yang harus diterima. Untung atau
rugi. Bila beruntung kehidupan mereka sangat konsumtif, dibelikannya mobil truk
atau motor gede gunung, atau televisi paling besar, dan sofa sofa memenuhi
ruang ruang tamu mereka.
Namun bila merugi terus menerus, taruhlah diberi
kerugian dua kali saja dalam dua musim tanam berturut turut, seluruh
kekayaannya hilang, bahkan anak anak gadis mereka dibawah umur terpaksa
dinikahkan demi mengurangi beban hidup, ujung ujungnya adalah tanah terpaksa
dilepaskan. Situasi ini terus terjadi sampai pada anak anaknya, sampai kini,
sampai tidak ada kesadaran memperbaiki situasi.
Keterlibatan penulis dalam pemeriksaan tani lokal
ini, semakin didapatkan informasinya, bahwa ternyata rata rata keluarga petani
anggota serikat memenuhi pangannya bukan dari kebunnya, namun dari warung yang
menjual segala kebutuhan pangan keluarga mereka, utama yang berada di wilayah
pertanian hortikultur monokultur.
Di kawasan bertani memakai sistem palawija, mereka
hanya menanam paling banyak 10 tanaman saja, sebutlah didominasi padi huma atau
padi sawah, pisang, pohon durian, petai, jengkol, kelapa, pohon salam
(ditemukan hanya beberapa orang saja yang menanamnya), singkong, albaziah, ubi,
dan talas. Selebihnya digantungkan pada warung.
Pola pola sistem pertanian monokultur ternyata
sangat rentan terhadap pelepasan tanah. Biaya produksi yang tinggi, mewabahnya budaya
konsumerisme di desa, semakin melengkapi menderitanya masa depan petani dan
keturunannya.
Dari hasil pemeriksaan organisasi diatas pula, yang
terpenting adalah saling memeriksa antar anggota,siapa dan sebelah mana lahan
lahan garapan yang digarap, tidak digarap, disewa, digadai atau dijual.
Pengalaman pemeriksaan organisasi tersebut semakin
menggelisahkan penulis, dalam proses refleksi cukup panjang, perenungan
bagaimana mempertahankan organisasi, bagaimana membangun petani dengan sistem
produksi yang berkelanjutan, mempunyai benih sendiri, memproduksi pupuk
sendiri, karena terbukti dengan pupuk kimiaa ternyata tanah dan lingkungannya
menjadi tidak baik, sampai bagaimana tanah dikelola sendiri tanpa harus
menggunakan tenaga kerja.
Akhirnya penulis bersama suami memutuskan untuk
membuat satu buah contoh kebun, yang dikelola oleh keluarga di kawasan Pesantren Ath Thaariq Garut.
Bagian I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar