Buruh Bergejolak
Hampir seluruh media massa, aksi masa buruh di beberapa kota besar menjadi berita yang hangat. Bahkan dari mulai 5 April 2006 sampai hari ini berita itu masih mewarnai lembaran media. Tentu aksi masa dilakukan tidak hanya diarahkan ke pemerintahan daerah, namun di kota metropolitan diarahkan ke Istana Presiden. Dan masa yang memadati areal itu tidah hanya dari buruh di sekitar Jabotabek, namun terdiri dari utusan daerah. Berbagai kecaman atas penguasa di lontarkan oleh para masa aksi buruh. Bahkan teriakan SBY mundur dari kursi kekuasaan menjadi tuntutan para aksi masa, bila tuntutan para buruh tak dikabulkan..Bahkan akibat kemarahan yang tak terkendali, beberapa buruh mengekpresikan amarahnya melalui pengrusakan beberapa sarana lalu lintas. Bahkan akibatnya 16 para demontran di tangkap oleh pihak kepolisian.
Ketika masa aksi buruh bergerak mendatangi istana wakil presiden, Yusuf Kalla sempat keluar dan mengundang perwakilan buruh untuk berdialog. Namun dari pertemuan itu seperti biasa tak ada sikap politik yang jelas di ungkapkan oleh wakil Presiden. Selain peryataan seremonial yang tidak substantif atas tuntutan para buruh.
Tentu kemarahan para buruh bukan tak beralasan. UU perburuhan/Ketenagakerjaan yang selama ini harus menerjemahkan prinsip keadilan, keterbukaan, keikut sertaan, kemanfaatan, kesetaraan dan pemenuhan hak-hak para pekerja telah terabaikan.bahkan yang ada UU hanya diperioritaskan pada kaum investor hepy. Padahal revisi setiap UU ketenagakerjaan, diharapkan oleh para buruh agar mencapai hal-hal yang lebih baik. Artinya jaminan keadilan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak buruh terpenuhi. Namun bila dibaca dengan seksama, revisi seperti UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan malah jauh dari harapan para buruh. Bahkan semangat yang dilahirkan dari revisi itu lebih dominan dilandasi dengan semangat investor, bukan semangat populis. Untuk itu perubahan paradigma dari neo liberalisme ke populis tidak terjadi. Padahal diyakini oleh para buruh, bahwa perubahan itu akan mengantarkan pada situasi yang lebih adil dan manusiawi. Namun harapan penyempurnaan itu, melahirkan malapetaka bagi kaum buruh. Tak salah bila potret itu di dokumentasikan pada lagu yang berjudul Ibu Pertiwi. Yang penggalan baitnya “ Hutan, gunung, sawah lautan. Simpanan Kekayaan. Kini ibu sedang lara. Merintih dan berdoa”.
Beberapa catatan suram dari UU No 13/2003 diantaranya :
pasal 35 ayat 3 menyatakan bahwa : Perusahaan memberikan perlindungan (kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan) tenaga kerja,” dihapus.
Pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan atau jabatan-jabatan tertentu.
Revisinya bahwa tidak ada batasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apapun. Pasal 59 ayat 1 menyatakan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu.
Revisinya, Perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan.
Pasal 68 menyatakan bahwa memperbolehkan anak berumur 13 dan 15 tahun bekerja
Pasal 100 ayat 1 : Pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan
Revisi, ayat ini dihapus
Pasal 142 ayat 1 , mogok kerja yang tidak memenuhi ketentuan dianggap tidak sah
Revisi, jika mogok kerja tidak sah,pekerja/buruh dapat di PHK tanpa pesangon.
Pasal 142 ayat 2, akibat hukum mogok kerja yang tidak sah akan diatur dengan keputusan menteri
Revisi, kalau mogok kerja tidak sah mengakibatkan perusahaan rugi,pekerjaan/buruh dapat dituntut ganti rugi.
Pasal 155 ayat 3, bila terjadi skorsing dalam proses PHK, upah dan hak-hak lain tetap dibayar
Revisi, skorsing dibatasi selama-lamanya 6 bulan dengan upah hanya 50 persen
Pasal 156 ayat 1, bila terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon,uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Revisi, pekerjaan/buruh yang mendapatkan pesangon hanya yang mendapat upah Rp. 1 juta ke bawah
Pasal 167 Uang kompensasi pensiun.
Revisi, pasal ini dihapus.
Dan bila semangat pro investor terus dipertahankan menjadi landasan upaya penyempurnaan UU No 13/2003 tentu gelombang mobilisasi masa akan terus dilakukan oleh para buruh.meskipun Menteri perindustrian (Menperin) Fahmi Idris yakin bahwa aksi buruh tidak akan berlanjut (Seputar Indonesia, 7/4/2006).
Bagi para buruh, aksi masa kali ini bukan hanya sekedar upaya geretakan semata. Namun akumulasi kekecewaaan yang telah panjang sekitar pertengahan decade 80-an, dunia ketenagakerjaan di negeri ini di warnai berbagai peristiwa, terutama kegelisahan dan kemarahan akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah, rendahnya jaminan social, jaminan kesehatan, keselamatan kerja dan jaminan lainnya. Akibatnya hampir tahun-tahun yang dilaluinya, para buruh melakukan unjuk rasa, pemogokan di setiap kawasan industri. Bahkan ancaman kali ini dikeluarkan oleh Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN yang beranggotakan 150 ribu orang mengancam mogok nasional (Seputar Indonesia,7/4/2006). Begitupun dari serikat-serikat buruh lainnya. Karena penyempurnaan itu melahirkan permasalahan. Padahal para buruh berharap dengan pemerintahan yang sekarang memperoleh kepastian akan pemenuhan, penghormatan, perlindungan hak-hak para buruh.
Munculnya serikat buruh disertai dengan aksi-aksi masa buruh dipenghujung abad 20 dan diawal abad 21 tentu bukan tak beralasan. Yang paling sederhana kemunculannya bertolak dari kepentingan langsung untuk perbaikan syarat-syarat ekonomi dan social bagi kehidupan kaum buruh/pekerja. Bahkan lebih jauk di masyarakat modern (kapitalis) kepentingan menyatukan kekuatan diri karena para buruh akan berhadapan dengan kekuatan pasar dan modal yang lebih unggul. Disisi lain dengan membanjirnya kaum investor dapat dicatat berbagai dampak negatif dari meningkatnya investasi ke wilayah eksploitasi diantaranya: pertama, hilangnya peran negara dalam pengaturan kekayaan . Kedua, melemahnya pera negara dalam memberi perlindungan kepada rakyat dan atau para buruh yang mengalami dampak langsung dari eksploitasi itu. Ketiga, meningkatnya kekuasaan pemerintah dalam mempromosikan kepentingan dan melindungi perusahaan-perusaan transnasional. Keempat, meningkatnya pelanggaran HAM kepada warga yang hidup di sekitar lokasi proyek maupun sebagai para pekerja/buruh. Kelima,meningkatnya masalah lingkungan, seperti kesehatan, berkurangnya sumber air bersih, degradasi tanah akibat limbah industri, . Keenam, ketidak jelasan dan minimnya royalti yang diterima para buruh, selain bertambahnya kemiskinan dan lahirnya ketidakadilan. Ketujuh, menyempitnya lahan-lahan produktif berubah menjadi kawasan industri.
Menuerut Dedi (1995) terpuruknya kondisi buruh ada berbagai sebab yang bisa kita duga sebagai factor yang mempengaruhi terciptanya itu. Pertama, sruktur pasar tenaga kerja kita memang diwarnai adanya ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran. Kedua terjadinya perubahan strategi industrialisasi dan kebijakan perburuhan. Ketiga, pengethauan dan dan kesadaran buruh tentang undang-undang dan peraturan ketenaagkerjaan masih lemah. Akibatnya masih kuat kekuatan pengusaha untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Keempat,kekuatan internasional belum bisa dimanfaatkan. Untuk itu, buruh hanya dijadikan modal dan bahan bahar industri
Maka agar malapetaka itu tak hidup, ada beberapa catatan penting. Pertama, menetapkan paradigma yang akan dibangun dalam penyempurnaan UU itu harus bertolah dari (mensyaratkan) penekanan pada penghormatan, pemenuhan dan perlindungan Hak-hak buruh. Kedua, mendefinisikan ulang makna para buruh (ketenagakerjaan), ketiga, upaya dorongan pragmatis mulai ditinggalkan seperti dengan alasan pertumbuhan ekonomi, merangsang kaum investor, dan istilah lain. Keempat, pelibatan semua serikat buruh melalui keterwakilan, kelima di rancang konsultasi publik yang setiap para buruh memahami falsafah yang mendasarinya. Dan bila kelima ini tak dijalankan, tentu protes-protes kaum buruh akan terus hidup. Keenam, membangun jaringan, koalisi dan kesadaran pentingnya industri kerakyatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar