KADO PAHIT BAGI RAKYAT
(Pemodal Dan Penguasa Vs Rakyat Pedesaan)
Mengemukakan investasi berperan penting untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah harus menjadi bahan perenungan kembali. Hal ini mungkin didasari dari semenjak tahun 1859 hingga sekarang eksploitasi pertambangan tak pernah memberikan kontribusi yang sehat dan jelas bagi warga yang berada diwilayah itu maupun bagi pendapatan negara. Dan catatan yang sulit dipungkiri, warga hidup dalam kemiskinan. Sementara kekayaan wilayah hanya diperuntukan bagi memperkaya para pemodal. Terutama TNCs. Seperti pertambang Freeport/Rio Tinto Grasberg, Papua Barat yang merupakan pertambangan terkaya di Dunia. Namun rakyat malah hidup melarat. Bahkan sering menjadi malapetaka akibat adanya pertambangan di wilayah kelahirannya. PT Freeport-rio Tinto mengubah total bentangan alam. Gunung yet Segel, Ongop Segel (Grasberg) jadi lubang raksasa sedalam 700m. danau wanagon, sebagai danau penting bagi kehidupan rakyat Amugme hancur menjadi tumpukan batuan limbah (overburden) yang sangat asam dan beracun. Selain mencemari tiga badan sungai utama diwilayah mimika, yaitu Sungai Aghawagon, sungai otomono dan sungai Ajkwa sebagai tempat pembuangan tailing (limbah pasir dan produksi). Leih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap harinya ke sungai Aghawagon yang kemudian mengalie ke sungai Otomono dan Ajkwa.
Ketidak adilan, ketimpangan penguasaan agraria, terkonsentrasinya dan terakumilasinya alat produksi dan keuntungan pada segelintir orang dan TNCs menjadi potret dominan di Indonesia. Tak salah bila potret itu di dokumentasikan pada lagu yang berjudul Ibu Pertiwi. Yang pengaglan baitnya “ Hutan, gunung, sawah lautan. Simpanan Kekayaan. Kini ibu sedang lara. Merintih dan berdoa”.
Tentu kekayaan Indonesia yang kaya raya akan hasil bumi dan tambang tak bisa diragukan kembali. Dan pontensi kekayaan itu 90 % berada di wilayah pedesaan. Tak salah bila mengundang para pemodal untuk menyiapkan berbagai kekayaan politik, ekonomi, dan social agar bisa mengekploitasi. Namun yang menjadi persoalan yang sulit diterima oleh rakyat pedesaan adalah amuradulnya sistem pengelolaan pertambangan dari masa kolonial sampai sekarang. Bahkan dengan penguasaan, pemilikan, pengelolaan di sector agraria (pertambangan) oleh kaum investor TNCs menjadi bukti kita hidup dialam neoimperialisme. Dan rezim ini perlahan-lahan memperokrorandakan kedaulatan rakyat dan negara.Kita tak lagi dibunuh dan dihancurkan dengan laras senjata namun kita dikendalikan dalam sistem ekonomi dunia yang luar biasa. Dengan ekonomi neo liberalisme, pemerintahan menjadi para pelayan adminitrasi para TNCs. Untuk tak segan-segan mengamankan aliran investasi kaum pemodal bila perlu dan dibutuhkan berbagai perlengkapan di siapkan. Bila perlu senjata diarahkan bagi warga yang menuntut keadilan. Padahal mereka (rakyat) hidup dalam kemelaratan tidak berkelebihan atau berkecukupan. Padahal rakyat yang hidup diwilayah ekploitasi ditempatkan Tuhan untuk mengelola, menjaga dan memanfaatkan hasilnya.
Kita ingat bagaimana dampak yang diperoleh negara jajahan akibat dikeluarkannya Mijnreglement di tahun 1850 yang merupakan perangkat intrumen eksploitasi pertambangan. Bahkan akhirnya di tahun 1938 hampir terdapat 471 konsesi dan izin pertambangan yang telah dikeluarkan. Ini memberikan pelajaran penting bahwa negara kolonial seperti Indonesia menjadi wilayah pertarungan para penjajah. Dan tentu dari pertarungan itu, wilayah kolonial yang tetap menjadi korban. Kehormatan dan matabat rakyat tercabik dibuminya sendiri.
Dan potret malapetaka di masa kolonial, rupanya tak menjadi pembelajaran yang penting. Hal ini terlihat ketika dimasa orde baru dikeluarkannya UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, dikeluarkannya UU No 11 tahun 1967 tentang pertambangan, UU No 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Dan kebijakan lainnya yang dijalankan dengan represif mengulangi malapetaka itu. Berbagai partisipasi warga yang hidup diwilayah itu sama sekali ditetapkan sebagai uang recehan baik dalam proses sistem pengelolaan pertambangan, maupun dalam pengambilan keputusan. Bahkan partisipasi dalan merancang kebijakan yang berhubungan dengan pertambangan diputuskan benang merah yang menghubungkannya. Tak salah bila mereka bagai tikus mati dilumbung padi.
Seperti yang kita baca dari berbagai kesaksian warga yang hidup puluhan tahun di wilayah eksploitasi pertambangan, berbagai persoalan lingkunagn , social, ekonomi ditelantarkan. Bahkan berbagai pelanggaran HAM menjadi potret actual yang hidup. Namun berbagai upaya kejelasan pemenuhan HAM bagi warga itu tak pernah diurus dengan serius. Berbagai intrumen yang menjaga warga dari kelakukan destruktifnya para pemodal yang didukung oleh penguasa tak pernah nampak. Bahkan semakin meningkat eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM pada warga . peristiwa PT Freeport di wilayah papua barat, pencemaran Teluk Buyat, Sulawesi Utara, Newmont di Nusa tengara yang seharinya membuang 120.000 ton tailing ke Teluk sanunu menjadi bukti bahwa kedaulatan bangsa ini telah hilang. Penguasa yang memperoleh mandat dari rakyat hanya dijadikan kuli para pemodal. Mereka menjadi musuh-musah rakyat yang telah mengangkat dan memilihnya.
Racun dan limbah di perairan, kerusakan habitat dan keanekaragaman hayati, hancurnya struktur tanah, dan menyebarnya berbagai penyakit (kesehatan) diwilayah eksploitasi itu tak bisa dihentikan. Tak salah bila di Kabupaten Garut pada tanggal 29 nopember 2005 dibanjiri massa rakyat yang mengelar aksi ke DPRD. Aksi itu tentu akibat dari akumulasi kekecewaan yang hampir 24 tahun di tahan warga. Warga tak pernah dijadikan subjek dari proses sistem pengelolaan eksploitasi itu. Bahkan yang terjadi, berbagai upaya membangun konflik horijontal dilakukan oleh PT Chevron Texaco Engergi Indonesia (CTEI) dengan cara mengangkat para “fasilitator” di tiap kecamatan untuk program yang diklaim Community development. Namun bila kita telusuri tak ada indicator yang cukup kuat bila model Community development yang di klaim sebagai upaya keberpihakan pihak pemodal terhadap kerusakan ekosistem, lingkungan, produksi rakyat dan kesehatan rakyat. Dan model itu sebenarnya hanya memposisikan rakyat beserta intrumen lainnya sebagai objek dari eksploitasi itu.
Kita tahu PT Chevron Texaco Engergi Indonesai merupakan TNCs raksasa yang berkantor di Calipornia. Sehingga tak heran bila ia menguasai 180 negara didunia dalam mengeksploitasi pertambangan. Wilayah asia Pasifik, laut kaspia, mexico, Ekuador, Nigeria dan beberapa negara lain didunia. Tentu etos kerja para TNCs itu menempatkan wilayah negara-negara miskin yang kaya akan hasil bumi dan pertambangan sebagai pemasok energi bagi keuntungan negara kolonial (negara-negara kaya). Ekploitasi pertambangan hanya bagi memperkaya pemodal bukan rakyat yang hidup di wilayah itu. Untuk itu lebih lanjut bila kita telusuri dari keuntungan yang telah diperoleh pihak TNCs tak ada yang bisa dinikmati oleh warga dan instiusi pemerintahan daerah. Padahal pemanfaatan sumber daya agraria oleh rakyat dijamin oleh UUD 45, dan UUPA No 5 tahun 1960.
Investasi
Penemuan berbagai masalah kesehatan, kehancuran keanekaragaman hayati, pembinasaan sumber penghidupan masyarakat, pelanggaran hak warga, penggusuran warga dan persolan-persoalan lainnya dari para korban yang hidup di sekitar wilayah eksploitasi pertambangan tak bisa dibantah investasi itu bisa jadi racun. Selain bisa jadi angin segar. Namun di negara-negara yang miskin seperti Indonesia hanya sedikit mendapat keuntungan atau bahkan tidak sama sekali dibanding kerusakan yang alami atas eksploitasi pertambangan itu. Yang lebih celaka , tindakan negara yang seharusnya dan pihak yang berhak untuk melakukan tuntutan demi menjamin kepentingan dan hak-hak rakyat dengan perusahaan-perusahaan transnasional memusuhi rakyat. Melakukan berbagai tekanan terhadap rakyat yang hidup di sekitar wilayah eksploitasi itu melalui penggunaan aparat keamanan. Ini pertanda kedaulatan negara, struktur politik dan adminitrasi negara lemah menghadapi rezim transnasional.
Untuk dapat dicatat berbagai dampak negatif dari meningkatnya investasi ke wilayah eksploitasi diantaranya: pertama hilangnya peran negara dalam pengaturan kekayaan bumi dan tambang. Kedua, melemahnya pera negara dalam memberi perlindungan kepada rakyat yang mengalami dampak langsung dari eksploitasi itu. Ketiga, meningkatnya kekuasaan pemerintah dalam mempromosikan kepentingan dan melindungi perusahaan-perusaan transnasional. Keempat, meningkatnya pelanggaran HAM kepada warga yang hidup di sekitar lokasi proyek. Kelima,meningkatnya masalah lingkungan, seperti kesehatan, berkurangnya sumber air bersih, degradasi tanah, ketimpangan penguasaan agraria. Keenam, ketidak jelasan dan minimnya royalti yang diterima para korban dan institusi pemerintahan daerah, selain bertambahnya kemiskinan dan lahirnya ketidakadilan.
Arah Reformasi
Menurut TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi Kehidupan nasional sebagai haluahn negara bagian Bab II butir B dinyatakan bahwa :
“ tatanan kehidupan politik yang dubangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistic dan kultur neo feodalistiknya mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam system politik nasional tidak berjalan dengan sebagaimana semestinya. Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertiutup di bawah kontrol lembaga kepresidenen mengakibatkan krisis structural dan sestemik sehingg tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan social secara proposional secara optimal. Terjadinya praktek-prakltek korupsi, kolusi dan nepotisme di masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan .. (.) mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan penganmbilan keputusan yang kirang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab… (..) pengembangan kwalitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi kepemimpinan bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan neofeodal;istik mendorong mengalirnya sumbe rdaya manusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan legitimasi “
Ini artinya bahwa selama 32 tahun kita tak pernah mengelola mandat konstitusi dan konsituen dengan baik. Tak salah bila oprasi pertambangan hanya berkontribusi 1-4% bagi pendapatan negara ( Aminah Siti, 2005). Sementara kerusakan yang akibat eksploitasi diwilayah hutan lindung dan konservasi tak cukup dengan 100-200 tahun untuk memperbaikinya. Bahkan bisa jadi tak bisa diperbarui selamanya.
Sebagai upaya kongkrit tentu harus dilakukan upaya moratorium (penghentian) pemberian izin baru usaha pengelolaan pertambangan. Selanjutnya melakukan evaluasi atas etos kerja sebelumnya, baik menyangkut soal kepeduliannya terhadap lingkungan, social, ekosistem yang dikonsultasikan secara aktif, pembagian keuntungan, dan merumuskan strategi sistem pengelolaan pertambangan yang bersifat responsif dan peka terhadap persoalan-persoalan yang akan lahir dan berkembang. Bukan dengan istilah keamanan rakyat sah untuk ditindas. Mempertontonkan kekuatan hanya demi mengamankan sesuatu yang sebenarnya mencabik dan melecehkan harkat dan martabat rakyat dan lembaga refresentasi rakyat.
Sementara dengan pemaksaan pembukaan pembangunan darajat III oleh PT. CTEI oleh menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro tepatnya tanggal 29 Nopember 2005 di Kabupaten Garut propinsi Jawa Barat yang dilengkapi dengan demontrasi kekuatan melalui pengerahan Brimop, dan intrumen lainnya bukti kongkrit tidak adanya kemauan politik pemerintah pusat untuk memperbaiki berbagai kelakukan destruktif yang berimplikasi pada kesengsaraan rakyat akibat adanya pertambangan. Padahal jargon penguasa sekarang masih basah di ingatan rakyat dengan semboyan “perubahan”. Dengan janji itu akhirnya rakyat memilihnya. Namun rupanya janji hanya tinggal janji yang ada tetap memperkaya kaum pemodal. Padahal dimasa era otonomi berbagai perbaikan produsksi rakyat, kesehatan rakyat, layanan alam, sebagai syarat penting dalam merumuskan strategi pengelolaan pertambangan. Bukan melecehkan dan mengintimidasi dengan menyiapkan pasukan. Dengan menyiapkan berbagai intrumen untuk menghentikan partisipasi rakyat atas pembangunan Darajat III. Dan mobilisasi berbagai perangkat dan intrumen dimasa peresmian pembangunan derajat III menjawab keraguan rakyat, bahka neo orde baru lahir kembali. kita hidup di era neo imperialisme. Dimana pasar dan modal yang menjadi rezim.
Garut, 13 Pebruari 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar