Kaum elit dan Pilkada
Pasca pemilihan umum 2004, menjadi potret kesibukan aktual bagi beberapa daerah yang berakhir masa jabatan sentral kekuasaanya. Tentu menuju ke arah itu revisi atas UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dilakukan. Dan sejumlah revisi ketentuan pilkada yang diatur dalam UU itu di berubah menjadi UU No 32 tahun 2004, dan peraturan lainnya. Dan kesibukan itu paling tidak ada 187 kabupaten dan kota yang akan menyelenggarakan pilkada juni 2005. Tentu kesibkan itu tak hanya akan didemontrasikan oleh komisi pemilihan umum di tiap daerah (KPUD), namun menjadi hajat perlombaan bagi para partai politik yang hendak mencalonkan wakil partainya menjadi peserta kontestan. Dan seperti biasa lagu lama berbagai manuver politik dari model konvensional sampai temuan-temuan baru dipublikasikan. Dan pilihan tindakan itu dilakukan tentu untuk memenangkan pilihan itu. Bahkan berbagai persediaan pelengkapan untuk modal manggung di hitung dan dikumpulkan. Dari menginventarisasi tokoh, mendekati organisasi keagamaan, meminta restu sesepuh keagamaan, melibatkan akademisi, menciptakan organ pendukung bagian dari kegiatan politik seremonial yang di kerjakan. menyerahkan berbagai bantuan yang nota bene kemanuisan, social, dan slogan lainnya di rancang. Selain menebar janji bagi para tim suksesi yang akan mendorong dan mendukung atas pencalonannya. Tentu dukungan multisektoral tak bisa diklaim uang recehan. Meskipun implikasinya ada politik dagang sapi pasca pemilihan.
Dan bagi para pejabat yang telah berkuasa, memobilisasi bawahan menjadi manuver kegiatan yang cukup menonjol di banding para kontestan yang baru. Dan tentu energi yang harus di persiapkan cukup besar. Namun berbagai resiko itu ditempuhnya. Dan hal yang terpenting menjadi pemenang atas pemilihan itu. Dan resiko yang cukup rawan, merimplikasi pada konflik horizontal dan vertical. Apalagi mobilisasi politik itu menyertakan atas nama etnik, agama, daerah. Namun bila kita telusuri, pemilihan presiden tahun 2004 bangsa yang carut marut ekonomi, hukum, politiknya lulus ujian soal peristiwa “pesta demokrasi”. Warga yang selama ini di baca sebagai biang keladi berbagai kekerasahan dan kerusuhan tak pernah terjadi. Justru yang harus di waspadai adalah elit politik dan persaingan kepentingannya, bukan warga yang di klaim selama ini sebagai biang keladai malapetaka politik.
Berbagai konspirasi elit politik masih di klaim cukup relevan dalam memenangkan pemilihan Pilkada. Hal ini tak lain akibat dari dominannya kekuatan elit dalam mengendalikan sentral-sentral kekuasaan dan warganya. Bahkan hampir sulit di temukan dimana kaum pinggiran ikut terlibat dalam mendudukan sentral kekuasaan. Bahkan cek and balance yang harus dilakukan oleh segenap warga hampir tak pernah terjadi. Warga hanya kaum kuli yang ikut memeriahkan para pemain klas gedongan bertarung politik memperebutkan penguasaan atas sentral-sentral kekuasaan beserta isinya.
Implikasi dari kelakuan kaum gedongan itu tentu sangat sulit bila demokratisasi yang dicita-citakan terwujud. Aroma politik kaum elit lebih mengedepankan soal beredarnya uang setoran sebagai ongkos politik dalam kelakukan mencari bursa para kandidat yang di usung. Untuk itu implikasi pilihan politiknya hanya pelanggengan penguasaan atas kaum kuli yang akan terus hidup dan dihidupkan. Tentu sangat sulit membebaskan kau gedongan yang bermain politik melepaskan kebiasaan mempertahankan status quanya. Dan persaingan kaum gedongan sebagai pemainan elit politik dalam persaingan kepentingan tak jauh berbeda antar satu dengan lainnya, yakni menduduki kekuasaan bagi klasnya. Apapun lagunya, landasan perlombaan di kalangan mereka tak lain hanya membagi kue untuk klasnya, bukan untuk memastikan kaum tertindas di pulihkan atas penderitaannya. Untuk itu pemilihan kepala daerah belum memastikan sikap optimis warga akan perubahan perbaikan. Artinya pilkada belum bisa memberikan kepastian bagi warga atas kesejahteraan, keselama dan kesehatannya. Begitupun Produksi warga yang tiap detik hilang dan terancam.
Kemiskinan yang menjadi potret bangsa ini tentu akibat sikap politik yang tak membumi dilakukan oleh sentral kekuasaan. Dan kondisi ini merupakan masalah yang cukup genting. Dan penyelesaian persoalan yang di hadapi oleh masing-masing daerah tak cukup hanya mengandalkan persoalan kapabilitas para calon, aksebilitas , kemampuan memimpin, tingkat pendidikan yang tinggi dimiliki para calon. Namun ia harus bertaubat untuk mengahiri berbagai sikap politik yang presentasikan oleh para pangagung kekuasaan. Menjaga sikap politik itu tentu meskipun kontrak politik tak menjamin para calon berubah, namun itu menjadi pintu awal negosiasi antara kaum kuli dengan dengan kaum gedongan.
Tentu dalam negosiasi itu (kontrak politik) berbagai elemen harus menyaksikan guna memastikan atas janji yang disepakatinya. Dan berbagai implikasi politik akibat penyeleweangan mandat itu harus menjadi bahan tanggung gugat sebagai penyelwengan atas mandat yang telah di sepakatai. Dengan demikian upaya mengembalikan areana kekuasaan menjadi pemenuh atas kebutuhan hak-hak warganya tercapai. Disisi lain, upaya berbagai pemerhati social untuk mendorong teriptanya warga yang kritis harus dilakukan, tak cukup hanya sebatas menyaksikan dan membuka transaksi politik antara kaum kaum gedongan dan kaum pinggiran. Sehingga tingkat pembagian klas social yang tinggi di Indonesia antara kaum gedongan (klas kawula) dan kaum pinggiran (klas kuli) mulai terkikis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar