PILKADA dan Panitia Pengawas Pemilihan
Membangun pemerintahan yang demokratis tidaklah mudah, namun belajar dari pengalaman 32 tahun, demokrasi menjadi poin penting dalam mewujudkan mandat kedaulatan rakyat, meski harus di tebus dengan harga yang mahal dan pengorbanan.PILKADA adalah salah satu pintu membangun sebuah tatanan pemerintahan yang demokratis,adil dan berdaulat
Hal yang sulit dipungkiri hingga kini, Salah satu syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law adalah diselenggarakannya pemilihan umum (PILKADA: penulis) yang bebas, jujur, adil, tranfaran, demokrasi dan akuntabilitas. PILKADA tahap pertama fasca reformasi sudah digelar di beberapa daerah, seperti di DKI, Banten, dan tempat-tempat lainnya. Ada yang berjalan sukses dan ada yang masih menyisakan masalah dan berlanjut sampai ke meja hijau. Beberapa diantaranya bahkan juga melahirkan kekerasan politik yang menjurus ke anarkisme. Namun masih dalam penilaian “kewajaran”.
PILKADA yang bebas lagi jurdil (jujur dan adil) tentu memerlukan partisipasi aktif dari semua elemen bangsa ini. Dan diantar elemen yang sangat penting guna mewujudkan keberhasilannya ditentukan dari peran pengawas (panwas PILKADA) atau bawaslu: pusat) setelah lembaga KPUD (KPU; Komisi Pemilihan Umum) sebagai badan pelaksana. Keharusan adanya panwas dalam PILKADA, karena PILKADA sebagai sebuah sistem normal dalam proses penyampaian hak demokrasi rakyat dalam memilih pemimpinnya, tidak bekerja dalam ruang dan waktu yang terpisah dari prinsip-prinsip demokrasi, transparansi serta pertanggungjawaban berdasarkan aturan main melalui perundang-undangan. Di samping itu, PILKADA memiliki tujuan yang jelas menurut sistem ketatanegaraan di Indonesia, yakni 1) untuk melaksanakan kedaulatan rakyat di daerah; 2) dan dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara; 3) serta jika terjadi peralihan pemerintahan di daerah, akan berlangsung secara aman dan tertib (Andi Nujul, 2007).
Sementara cita-cita mulia itu, rupanya melahirkan kekecewaan kolektif apalagi sebagai proses demokrasi yang pertama digelar dan diselenggarakan oleh daerah, wajar bila pelaksanaan PILKADA masih terdapat kekurangan. Beberapa pengamat dan juga pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan proses demokrasi ini agar PILKADA berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Fakta menunjukkan, beberapa daerah cukup sukses menggelar pesta demokrasi ini tanpa masalah yang berarti. Kenyataan ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada, meskipun masih terdapat kekurangan dalam beberapa hal, secara umum masih layak pakai.
Sementara bila ditelusuri proses PILKADA yang berimplikasi masalah berdasarkan hasil pengamatan selama ini, ternyata ruang yang paling sering dan dominan di dalam menirnbulkan masalah pada proses PILKADA antara lain adalah: satu, manipulasi dokumen-dokumen persyaratan. Dua, manajemen KPUD yang rendah. Tiga, fungsi pengawasan tidak jalan. Empat, data pemilih yang tidak valid. Lima, penggunaan massa dan money politics.
Berikut penjelasan kelima faktor tersebut.
Permasalahan manipulasi dokumen persyaratan. Umumnya meliputi dua hal, yaitu : Pertama, ijazah palsu atau diduga palsu atau aspal, kemudian dokumen persyaratan lain yang tidak sesuai ketentuan undang-undang, dan cacat hukum. Kasus seperti fotokopi ijazah yang berbeda dengan aslinya atau dimanipulasi, dan dokumen-dokumen lain yang "dipaksakan" untuk memenuhi persyaratan, sehingga menimbulkan kejanggalan dan kecurigaan mengenai keabsahannya. Kasus-kasus ini potensial menimbulkan konflik, karena ada kesan tidak jujur dan amanah.
Masalah seperti ini semestinya bisa dihindari. Karena, kalau persoalannya memang fotokopi ijazah ini dapat menimbulkan masalah, mengapa tidak diminta yang asli saja sebagai persyaratannya ?. Toh, ijazah asli dan dokumen-dokumen asli tersebut, aman-aman saja di kantor KPUD, dan bisa dikembalikan utuh pada saat pelaksanaan PILKADA usai. Dokumen yang asli akan lebih terjamin keabsahannya, dan jauh dari manipulasi. Bila perlu, peraturan yang ada (memang boleh fotokopi) ditinjau ulang saja.
Kedua, kontestan, baik calon bupati/walikota dan wakilnya, mestinya tidak memaksakan diri kalau memang tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Memaksakan diri, dengan memanipulasi data dan menggunakan "uang penglicin" atau barang, untuk meloloskan pencalonan, adalah perilaku yang tidak bermartabat, mulia, menciderai publik dan sangat rawan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.
Kalau "kebokbrokan" ini kemudian terkuak dan diketahui masyarakat, mereka akan menuai bencana dan akan mengganggu proses PILKADA secara keseluruhan. Bagaimanapun, etika moral harus tetap ada dan dijunjung tinggi oleh siapa pun yang terlibat dalam event politik PILKADA ini.
Kedua Manajemen Amburadul
Permasalahan berikutnya adalah pengetahuan dan keterampilan Manajemen KPUD yang sangat sederhan. Manajemen ini terutama berkaitan dengan kemampuan KPUD dalam mengorganisasikan event PILKADA, termasuk bagaimana sukses mengelola konflik dan membuat keputusan yang baik.
KPUD adalah panitia pelaksana atau manajer, dan penentu kesuksesan PILKADA. Keputusan berimbas langsung pada proses. Oleh karenanya dia menjadi titik fokus dari semua yang terlibat dalam PILKADA. Ibarat satu sel, maka KPUD adalah nucleusnya. Kalau kemampuan manajemen KPUD rendah, maka hasilnya sudah dapat ditebak, PILKADA akan berjalan terpontang panting atau menjadi kacau balau.
Peran lain yang juga menentukan keberhasilan PILKADA adalah sikap netral KPUD. Netral adalah ketidak berpihakan.Kenetralan dapat luntur atau hilang kalau kemudian KPUD ternyata takut pada intervensi kekuasaan, tidak konsisten, keputusan yang memihak, ragu-ragu dan lebih runyam lagi, kalau KPUD juga doyan mengonsumsi "pil kado".
PILKADA adalah peristiwa sejarah, setidaknya pada tingkat lokal atau regional. Setiap anggota KPUD tentu memilih tinta emas untuk ditorehkan pada lembaran sejarahnya. Bukan tinta merah ! Oleh karena itu, kemampuan manajemen dan sikap netral adalah dua hal yang harus dimiliki setiap anggota KPUD.
Ketiga, Fungsi pengawasan
Permasalahan selanjutnya adalah fungsi pengawasan yang tidak jalan. Masalah ini adalah berkaitan dengan peran Panwas di dalam menjalankan fungsi pengawasan pada event PILKADA.
Pada dasarnya Panwas adalah wasit atau juri dalam sebuah pertandingan atau kontes. Mereka harus melakukan pengawasan proses PILKADA mulai dari A sampai Z. Proses yang tidak sesuai dengan aturan permainan atau perundangundangan yang ada, harus segera ditindaklanjuti sesegera mungkin dan seadil mungkin. Oleh karena itu, kapabilitas anggota Panwas terhadap aturan permainan atau perundang-undangan harus mumpuni dan aktif. Manakala Panwas menemukan penyimpangan baik yang menyangkut kontestan seperti Kasus Ungaran atau kasus ketidakvalidan data pemilih seperti di Bengkulu, semestinya dapat diketahui lebih dini, sehingga dapat diantisipasi dampaknya.
Kasus-kasus tersebut adalah contoh bagaimana Panwas pasif dan terlambat menjalankan fungsinya. Imbasnya kemana-mana. Keputusan KPUD kacau balau, ketidakpuasan kontestan, schedule tidak on time alias meleset dan buntutnya, sudah kita ketahui bersama. Kisruh !!
Walhasil, kalau Panwas adalah juri suatu pertandingan, maka dia harus mampu mengendalikan pertandingan itu sebaik mungkin sampai piuit terakhir dibunyikan, yaitu dengan bersikap adil, dan aktif menjalankan fungsi pengawasannya, serta menjaga semua pihak yang terlibat, tetap berada pada koridor hukum dan aturan-aturan main yang ada.
Keempat, data pemilih
Permasalahan selanjutnya yang juga berdampak pada proses PILKADA di beberapa daerah adalah validitas data pemilih. Data yang tidak valid dan carut marut ini, di beberapa daerah menjadi pemicu ketidakpuasan kontestan yang kalah dan berujung pada gelombang demonstrasi, anarkisme dan tindak kekerasan !
Mengapa data pemilih ini bisa carut marut ?. Karena ternyata di beberapa daerah, data pemilih ini menggunakan sumber data dari pemilu pilpres yang lalu. Padahal, sangat mungkin pada pemilu pilpres yang lalu, banyak pemilih yang belum atau tidak terdaftar, bahkan golput. Selain itu, rentang waktu antara pilpres dan PILKADA sudah cukup memungkinkan terjadinya pergerakkan, atau perpindahan penduduk.
Ironisnya data pemilu ini kemudian dijadikan sumber data tanpa ada pemeriksaan dan verifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, timbul ketidakpuasan dari para kontestan, dan memicu protes dari kontestan yang kalah.
Belajar dari kejadian ini, maka tidak ada salahnya kalau daerah-daerah yang belum menggelar PILKADA, segera mendata ulang, untuk memperoleh data pemilih yang valid. Data pemilih pemilu pilpres yang lalu digunakan sebatas acuan saja, sehingga kasus-kasus ketidakpuasan dapat dieleminir dan dihindari.
Kelima Pengerahan Masa dan Money Politics
Permasalahan selanjutnya adalah, masih adanya kontestan yang memakai cara-cara pengerahan massa dan money politics atau "uang kanyaah" di dalam bertanding. Pengerahan massa selalu berhubungan dengan "uang kayaah". Pada zaman sekarang, sulit rasanya mencari orang yang mau berdemo dan berpanas-panas ria, kalau bukan karena fanatisme buta dan "uang kayaah" ?. Apalagi kadonya berupa fresh money. Karena di dalam PILKADA sebenarnya tidak ada ideologi. Yang dipilih adalah orang perorang yang belum tentu membawa ideologi partainya.
Pada daerah-daerah yang PILKADAnya diikuti oleh kontestan berbasis rnassa, akan terasa lebih rumit dan serat masalah. Namun toh, memang tidak ada aturan atau undang-undang yang melarang kontestan seperti ini ikut dalam PILKADA. Peraturan yang ada baru seputar money politics saja, itupun sulit dibuktikan dan jarang ditindaklanjuti.
Padahal, kalau kita simak lebih jauh, PILKADA di daerah-daerah yang sukses pelaksanaannya, umumnya karena kontestannya, tidak memiliki basis massa yang kuat dan fanatis, serta tidak memantaatkan "uang kanyaah" secara vulgar dan berlebihan,sehingga para pemilih cenderung menentukan pilihannya dari visi, misi dan kapabilitas kontestannya. Tidak dari, ada atau tidaknya uang dan pengaruh tekanan massa.
Lebih jauh, kalau kita cermati lebih dalam, kontestan yang menggunakan cara-cara pengerahan massa dan uang adalah cerminan dari ketidaksiapan mereka menghadapi kekalahan. Pemahaman mengenai slogan siap menang dan siap kalah rupa-rupanya belum dapat dihayati oleh sebagian kontestan. Padahal cara-cara pengerahan massa untuk mencapai tujuan selalu lebih dekat dan lebih sering menimbulkan masalah, karena mengendalikan massa yang besar dan mudah terprovokasi bukan perkara gampang.
Tidak banyak yang bisa dilakukan pada daerah yang menghadapi kasus ini. Mungkin yang perlu diingat bahwa, tidak ada proses yang berjalan sempurna dan tidak semua keinginan kita dalam kehidupan di dunia ini dapat terpenuhi.
Adakalanya kita gagal dan adakalanya kita sukses. Kesiapan menerima kegagalan pada moment PILKADA adalah sama dengan kesiapan menerima kegagalan lain dalam hidup. Jauh lebih penting dari itu adalah kalau kita kemudian gagal berdemokrasi secara permanen. Akhirnya, di luar kelima permasalahan tersebut di atas, maka kearifan semua pihak tetap diperlukan. Kita tentu tidak menghendaki apabila semua orang harus menelan "pil duka", sebagai obat duka cita kita kepada demokrasi yang terluka (Wahyu Wicaksono, 2006).
Dasar Hukum
Tentu sulit dipungkiri keberadaan Hadirnya Panwas PILKADA (tingkat provinsi,kabupaten/kota/kecamatan/desa) atau bawaslu (pusat; jika pemilu legislatif dan pemilu presiden) adalah amanah undang-undang pemilu yang sekarang diacu berdasarkan UU Pemilu yang baru, nomor 22 tahun 2007 yang disahkan pada tanggal 19 April 2007. Dengan hadirnya UU Pemilu yang baru ini, maka seluruh penyelenggaraan pemilu dan atau PILKADA, wajib hukumnya mengacu kepada undang-undang ini. Tentu landasan filosofisnya tak lain hendak mewujudkan proses pemilihan yang adil, jujur dan demokratis. Dengan perkataan lain, semua ketentuan atau pasal-pasal berikut penjelasannya mengenai panwas yang di atur dalam UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif; UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; serta UU No 32 tahun 2004 (telah diubah melalui UU No 8 tahun 2005 tentang Penetapan Perpu No 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang) telah gugur dengan hadirnya pasal-pasal pemilu dan PILKADA dalam undang-undang yang baru tersebut.
Memang bila menelusuri kebijakan yang berkenaan dengan panwas terdapat perbedaan mengenai pengaturan antara panwas yang diatur dalam UU No 22 tahun 2007, dengan panwas yang diatur dalam undang-undang pendahulunya. Pada UU yang baru ini, seperti komposisi/unsur keanggotaan (kecuali bawaslu yang berjumlah 5 orang) tidak disebutkan secara terperinci sebagaimana halnya UU sebelumnya yang dapat berasal dari unsur perguruan tinggi, tokoh masyarakat, LSM, ditambah dari unsur kejaksaan dan kepolisian. Begitu pula kehadiran panwas di tingkat lapangan (panwas pemilu lapangan) yang berkedudukan di desa dan kelurahan merupakan muka baru keanggotaan panwas yang sebelumnya tidak dikenal. Perbedaan lainnya adalah panwas pusat dalam UU Pemilu yang baru disebut dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki masa kerja selama 5 tahun terdiri dari 5 orang anggota, sedangkan panwas di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan panwas lapangan, hanya merupakan panitia ad hoc yang beranggotakan masing-masing tiga orang (kecuali panwas lapangan hanya satu orang).
Untuk itu,kehadiran panwas dalam PILKADA bukan hanya dalam rangka memenuhi amanat UU Pemilu (das solen), melainkan panwas PILKADA dalam faktanya (das sein) sebagai sarana dalam mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat (minimal tingkat lokal). Karenanya, panwas PILKADA dalam bekerja dituntut secara akuntabilitas, independensi, terukur dan berkeadilan demi terwujudnya hakikat kedaulatan rakyat di tingkat lokal, mengingat PILKADA adalah pintu untuk memasuki pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung yang dimotori oleh perahu layar partai politik dengan KPUD sebagai navigatornya. Lebih dari itu, karena panwas PILKADA dalam menjalankan tugasnya, menggunakan dana yang tidak sedikit jumlahnya, bersumber dari uang rakyat yang dialokasikan melalui APBN dan APBD.
Rekrutmen Keanggotaan
Sementara bila dilihat dari sisi keanggotaan, panwas PILKADA sangat tidak ideal tentu,karena hanya berjumlah lima orang (kecuali bawaslu yang lima orang). Akan tetapi, apabila dalam proses rekrutmennya betul-betul melalui uji kelayakan yang sungguh-sungguh objektif, transparan, memburu kualitas (termasuk keterwakilan gender secara berkualitas) sehingga diperoleh keanggotaan dari kalangan yang profesional independen, berkomitmen tinggi untuk menyukseskan PILKADA, non partisan alias tidak melalui orderan atas pesan sponsor (lihat Pasal 73), maka jumlah anggota yang sedikit itu tidak menjadi hambatan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
Ada hal lain yang cukup genting dalam merekrut keanggotaan panwas PILKADA selain persyaratan keanggotaan panwas PILKADA menurut ketentuan perundang-undangan pemilu seperti dikemukakan di atas, maka anggota panwas PILKADA sepantasnya adalah mereka yang memiliki minimal kemampuan di atas rata-rata dari syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjadi anggota panwas PILKADA, termasuk di dalamnya syarat pengetahuan, integritas, dan moralitas. Akan tetapi persyaratan kemampuan dari segi ilmu pengetahuan, integritas, dan moralitas tidaklah cukup, karena pengalaman menunjukkan bahwa seorang panwas harus memiliki cadangan kemampuan lain seperti kearifan, kematangan, serta pengendalian diri (emosi) dalam menghadapi berbagai tuntutan, situasi di lapangan yang setiap detik bisa memanas, serta mampu menjaga wibawa lembaga ini dari berbagai intervensi yang akan menghancurkan kredibilitasnya.
Singkatnya bahwa nilai praksis kehadiran setiap anggota panwaslu PILKADA adalah mampu bekerja secara profesional, sehingga pelaksanaan pemilu di daerah kerjanya berjalan dengan baik dan sukses, meskipun disadari bahwa tugas ini sungguh berat mengingat yang dihadapi adalah para politisi dan partisannya yang bisa menghalalkan segala macam cara demi mencapai kemenangan dan kekuasaan (power to tend corrupt).
Tugas dan Kewenangan
Dalam ketentuan dikatakan bahwa tugas dan wewenang panwas PILKADA adalah meliputi: a) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu; b) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu; c) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu; dan meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan sendiri kepada instansi yang berwenang (Pasal 76, Pasal 78 dan Pasal 80 UU nomor 22 tahun 2007). Sedangkan yang menjadi kewajiban bagi panwas PILKADA diatur berdasarkan Pasal-Pasal 77; 79; 81 UU nomor 22 tahun 2007).
Bila diibaratkan seorang anggota panwas PILKADA adalah seorang hakim peradilan, yang harus memiliki the power legal problem identifications, yakni kemampuan atau pengetahuan dalam mengidentifikasi mana perbuatan hukum dan mana perbuatan biasa, mana perbuatan pidana dan mana perbuatan perdata, atau mana perbuatan berupa kejahatan, mana yang bersifat pelanggaran; begitu pula seorang hakim harusnya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan (legal problems solving), dan kemampuan mengambil keputusan/tindakan (decision making). Maka sama halnya bagi anggota panwas PILKADA, selayaknya memiliki kemampuan mengkonstatasi mana pengaduan, dan yang mana keluhan, mana kasus yang bersifat sengketa dan harus ditangani/diputuskan sendiri oleh panwas, mana yang bersifat pelanggaran administratif yang harus diteruskan ke KPUD, dan mana kasus yang mengandung aspek/unsur pidana yang harus diselesaikan oleh kepolisian dan kejaksaan. Sebab tanpa pengetahuan memadai dalam melakukan tindakan identifikasi, kemampuan menyelesaikan dan kemampuan mengambil tindakan yang tepat, dikhawatirkan para anggota panwas PILKADA bukannya menyelesaikan masalah PILKADA akan tetapi akan membuat masalah di atas masalah.
Membangun Jaringan
Disisi lain Panwas PILKADA bukanlah orang yang kaku, individualis dan exklusif. Ia harus memiliki watak eklusif, egaliter, plularistik. Untuk itu ia patut memiliki kemampuan membangun jaringan kerja sama dan kemitraan dengan berbagai pihak, terutama unsur-unsur yang menjadi stakeholders (baik formal maupun informal) dalam terselenggaranya PILKADA agar pelaksaanaan secara LUBER dan JURDIL dapat dimaksimalkan. Mengapa ini penting? Oleh karena baik penyelenggara PILKADA (KPU dengan jajaran ke bawah), peserta PILKADA (calon plus parpol), pemantau independen PILKADA, masyarakat, pemerintah dan pihak lain mempunyai kepentingan yang sama atas PILKADA, yakni untuk memilih pemimpin lokal yang siap diserahi amanah untuk membangun daerah dan masyarakatnya.
Begitu pula sebaliknya, bagi para stakeholders di atas secara timbal balik memiliki kewajiban yang sama untuk berperan secara aktif membantu atau memberi kemudahan kepada panwas dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan. Harapan ini didasarkan atas asumsi bahwa kegagalan PILKADA berdampak sangat buruk bagi masyarakat. Dalam hal ini, ketenangan dan stabilitas lokal di daerah akan terganggu. Sebaliknya,sukses PILKADA, sukses memilih pemimpin lokal yang diinginkan rakyat, maka juga berarti sukses bagi rakyat.
Jadi, suksesnya penyelenggaraan PILKADA akan banyak ditentukan oleh peran panwas PILKADA dan dukungan para stakeholders. Panwas PILKADA sebagai garda terdepan dalam mengawasi jalannya PILKADA, sebaliknya para stakeholders sebagai penilai atau mungkin mengawasi pula anggota panwas PILKADA, apakah benar-benar panwas PILKADA bekerja sesuai yang diharapkan bersama, mengawasi dan menilai apakah PILKADA dilakukan dengan baik dan benar, atau PILKADA hanya dilakukan sekadar menghambur-hamburkan energi, dan uang Negara (Andi Nujul,2007).
Berkualitas serta profesional dan tidaknya panwas PILKADA berimplikasi kepada kepercayaan (trust) masyarakat terhadap lembaga ini, dan juga berdampak terhadap hasil akhir PILKADA itu sendiri. Bila pelaksanaan PILKADA tak becus, para pelaksana (KPUD dan Panwas PILKADA) tidak objektif dan tidak independen, maka sangat boleh jadi para calon (calon-calon gubernur/bupati/walikota) terutama calon yang kalah, tidak akan menerima hasil PILKADA dan menuntut PILKADA untuk diulangi, berarti sebuah kerugian maha berat. Relakah kita PILKADA gagal? Tentu tidak, karena pelaksanaan PILKADA yang benar dan baik adalah sebuah nilai pengabdian pada bangsa dan negara. Tentu kerja-kerja lain, guna mewujudkan proses PILKADA yang demokratis, Panwas PILKADA harus melakukan beberapa kegiatan penting diantaranya: Kampanye dan sosialisasi, pengorganisasian, Monitoring, pendokumentasikan, dan evaluasi. Dengan serangkaian kegiatan ini, berharap proses PILKADA berjalan dengan adil,dan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar