Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit
hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati
itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit
ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya.
Dua penyakit itu
yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat
(kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang
menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua
penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu,
sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan
mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi
(besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah
membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya
ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan
bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada
penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan
kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan
abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali
dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’
(penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala
berfirman,
“Hai manusia sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.
PERJUANGAN MERAIH HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan
jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya
adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah
berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan,
dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat
hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai
jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke
dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula
darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu
mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan
menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup
berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah
berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”
NIAT BAIK DAN PEMAHAMAN
YANG BENAR
Di antara hidayah teragung yang
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah niat yang baik dan pemahaman yang
benar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang
baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada
hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang
lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua
nikmat ini. Bahkan kedua hal
ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi
keduanya. Dengan dua nikmat inilah seorang hamba bisa menyelamatkan dirinya
dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhubi ‘alaihim)
yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat
dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang
pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti
jalan orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim) yaitu
orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut
shirathal mustaqim…” (I’lamul Muwaqqi’in, I/87)
Dengan demikian, petunjuk dari
Allah adalah nikmat agung yang harus disyukuri. Ibnul Qayyim mengatakan,
“Besarnya nikmat yang diperoleh hamba tergantung kadar hidayah yang
didapatkannya…”
TAUFIK DI TANGAN ALLAH
Apa yang bisa kita perbuat tanpa
petunjuk dan taufik dari Allah? Tidak ada! Oleh sebab itu sadarilah hal itu.
Semuanya ada di tangan Allah. Kita tidak menguasai apa-apa barang sedikitpun.
Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak
akan pernah terjadi.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Asas
seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti
terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika
itu akan tampak bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya
maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan
hendaknya kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus
darimu. Dan akan tampak pula bahwa seluruh keburukan adalah akibat
(manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan sebagai bentuk hukuman
dari-Nya maka sudah semestinya kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya
untuk menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Dan mintalah kepada-Nya
supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan
dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan
keburukan-keburukan.”
Beliau melanjutkan, “Seluruh ahli
ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang
Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari
penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat bahwa hakekat
taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri,
dan hakekat dibiarkan dan tidak dipedulikan (al khudzlan) yaitu ketika Allah
membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam
mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik,
sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci
untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan
hati yang penuh, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…”
SYARAT MERAIH KEAMANAN
DAN HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
artinya
“Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan
mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al An’aam [6]: 82)
Diriwayatkan dari Abdullah bin
Mas’ud,
لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Ketika turun ayat, “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.” Kami
(para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang
tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”
Maka Rasulullah pun menjawab, “Maksud
ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna, “Tidak mencampuri
keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan
kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya,
“Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya
syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar“.”
Menurut para sahabat ayat ini
berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga mereka menyangka
kezaliman terhadap diri sendiri pun tercakup dalam syarat untuk mendapatkan
keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya orang yang
menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk orang yang
mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu memberatkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang
muncul dalam pikiran para sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang
benar-benar melenyapkan anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang
berupa kesyirikan. Sebab dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani
menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka
menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah
kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan
petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa
di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai suatu kezaliman. Sehingga
rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri
keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini (syirik, pen). Karena
sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan
kezaliman ini maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan
petunjuk…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Barang siapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam
kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi diri sendiri
selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk
yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan
orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim
terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk
sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul
ihtida’, pent). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu
telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan
kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju
surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus
dengan penurunan iman yang terjadi dikarenakan perbuatan zalimnya terhadap
dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan keterangannya,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya
(yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti
orang yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna
dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta
nash-nash al-Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan
dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna
dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan
hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan
anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan
tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini.
Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka,
sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga.”
Dari keterangan di atas jelaslah
bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat
tersebut adalah syirik. Sehingga makna ayat tersebut adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah bahwa makna “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” adalah
“mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” Dan semakin
kecil kezaliman yang melekat pada diri seorang hamba maka semakin tinggi pula
kadar keamanan dan petunjuk yang diraihnya. Semakin bersih tauhidnya,
maka semakin besar pahala yang akan didapatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar