PENTINGNYA HIDAYAH
Hidayah atau petunjuk adalah
perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini,
sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari
semalam di setiap raka’at shalat yang kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang
terdapat dalam surat al-Fatihah, “Ya Allah tunjukilah kami
jalan yang lurus.” (QS.
Al-Fatihah [1]: 6)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat
ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan
untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan
yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali
dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya
untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula
tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali
dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal. 21)
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk
memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu
membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya
setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah ta’ala
di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam,
semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…”
Syaikhul Islam rahimahullah
berkata , “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju
jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di
balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari
azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang
siapa yang kehilangan hidayah ini maka dia akan termasuk golongan orang yang
dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan
diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah. Ayat ini pun menjadi salah satu
senjata pembantah kesesatan mazhab Qadariyah.”
“Adapun pertanyaan, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ beserta jawaban orang untuk pertanyaan itu bahwa ‘yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan agar hidayah itu terus menerus menyertai hamba’, maka itu semua merupakan ucapan orang yang tidak paham hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Karena sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya . Dan juga untuk menjaga (hamba) supaya tidak menerjang larangan Allah. Nah, hidayah semacam ini sangat diperlukan di setiap saat, agar dia bisa berilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Hidayah dibutuhkan oleh hamba untuk membangkitkan tekad yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula, diperlukan kebencian yang sangat dalam untuk bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang pada saat yang bersamaan. Bahkan pada setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya supaya dia bisa tetap berjalan di atas jalan yang lurus.”
“Memang benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan bahwa Al Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar. Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala perkara juz’iyaat yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya yang mana mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu, sampai-sampai hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka.”
“Pada asalnya manusia itu
tercipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi bodoh. Sehingga sejak
dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan cenderung melakukan
hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh sebab itu dia selalu
membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis kebodohan dirinya. Selain
itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci,
dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan
dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberi atau tidak
memberi kepada orang, dalam hal makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan
terjaga. Maka segala sesuatu yang hendak diucapkan atau dilakukannya
membutuhkan ilmu yang bisa menyingkap kejahilannya dan sikap adil yang dapat
menyingkirkan sifat zalimnya. Apabila Allah tidak menganugerahkan
kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih rinci -sebab jika tidak demikian-
maka di dalam dirinya tetap akan tersisa sifat bodoh dan zalim yang akan
menyeretnya keluar dari jalan yang lurus.
Allah ta’ala berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan Bai’atur Ridwan,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga firman-Nya,”Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 1-2)
Kalau keadaan beliau di akhir
hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini (tetap memerlukan
hidayah-pent) lalu bagaimanakah lagi keadaan orang selain beliau ?” Selesai
ucapan Ibnu Taimiyah.
DUA MACAM HIDAYAH
Hidayah itu ada dua macam:
hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan hidayah
berupa pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah
ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya
mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari
Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul
bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk
yang hakiki dan sempurna.
Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
BERJALAN MENUJU DAN DI
ATAS JALAN YANG LURUS
Setelah mengemukakan bahwa hidayah
yang dimaksud oleh ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ ada 2: ila
shirath (menuju jalan yang lurus) dan fi shirath (di atas jalan
yang lurus) Syaikh As Sa’di mengatakan, “Hidayah ‘ila shirath’ yaitu
berpegang teguh dengan agama Islam dan meninggalkan semua agama yang lain.
Sedangkan hidayah ‘fi shirath’ yaitu mencakup petunjuk untuk menggapai semua
rincian ajaran agama dengan cara mengilmui sekaligus mengamalkannya. Maka doa
ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba.
Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa dengan doa ini di dalam
setiap raka’at shalatnya dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan dirinya
terhadap hal itu.”
HAKEKAT JALAN YANG LURUS
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal
mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang
sahabat yang lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal
mustaqim adalah kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”
Syaikhul Islam mengatakan, “…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan mengilmui dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com)
MENYIRAMI HATI DENGAN
HIDAYAH AL QUR’AN
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Al Qur’an ini
benar-benar menunjukkan kepada yang paling lurus.” (QS. Al-Israa’ [17]: 9)
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Kitab Suci ini (al-Qur’an) menjadi penuntun bagi umat manusia dalam mengarungi segenap problematika yang ada. Al-Qur’an senantiasa mengarahkan kepada urusan yang terbaik dan terlurus. Maka dari itu sudah semestinya kita berupaya menyibak makna-makna Kalamullah sebagaimana para sahabat dahulu. Apabila mereka membaca sepuluh ayat atau kurang lebih dari itu maka mereka tidak akan melewatinya kecuali setelah memahami kandungan iman, ilmu, dan amal yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dengan metode inilah mereka bisa menerapkan ayat-ayat tersebut dalam menyikapi berbagai macam kenyataan yang muncul. Dan dengan cara inilah mereka akan memiliki keyakinan yang mantap terhadap berita-berita yang terkandung di dalamnya. Dengan cara inilah mereka bisa tunduk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan bisa menempatkan segala macam realita dan persoalan yang terjadi pada diri mereka serta orang lain dalam timbangan ayat-ayat tersebut dalam rangka menilai : sudahkah mereka melaksanakan kandungannya dengan baik, ataukah mereka justru lalai dan mengabaikannya? Dan dengan cara mentadabburi ayat inilah mereka akan mengerti bagaimana kiat untuk bisa tetap tegar, kokoh, dan kuat dalam menjalani segala macam urusan yang mengundang kemanfaatan, dan juga untuk mewujudkan kembali kebahagiaan yang telah hilang atau menyusut dalam kehidupannya. Dengan cara mentadabburi ayat semacam inilah mereka akan mengetahui bagaimana cara untuk membebaskan diri dari segala marabahaya yang mencekam mereka. Dengan cara inilah mereka bisa memetik hidayah dari berbagai macam ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an, berakhlaq dan berperilaku sebagaimana yang dituntunkan olehnya. Sebab mereka menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ditujukan untuk mereka. Sehingga merekapun tertuntut untuk memahami dan mengamalkan isi ajarannya. Demikianlah makna dari keterangan Syaikh As Sa’di.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar