ISTIQAMAH DI ATAS JALAN
YANG LURUS
Iman dan tauhid harus
dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai
keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu
‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,
“Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam
Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun
bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.”
(HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar
yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan
larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada
masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah
amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan
agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang
terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq
Al Arba’in)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah,
Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara
manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal
hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya
mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah
agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu
diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam
sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada
wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara
apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal
itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di
atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri.
Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di
atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan
cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan)
Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua
syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan
dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman
terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal
shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di
atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al
Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung
dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar,
[2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai
mati.
Adapun perkara yang pertama yaitu
berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah
ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]:
102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu.
Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu”
(QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar