Lahirnya potret gerakan parpol yang
semakin elitis bahkan eklusif menjadi
saksi kegagalan dalam mewujudkan keinginan rakyat. Keberadaannya menjadi asing
bagi rakyat. Kiprah parpol semakin tak bisa menghentikan kecenderungan bergerak
ke hal-hal yang sama sekali jauh dari realitas yang dihadapi dan diharapkan
masyarakat sehari-hari. Berbagai persoalan rakyat hanya dibaca dengan tindakan
recehan.
Untuk itu, Dalam banyak kasus rakyat hanya disuguhi dengan banyak
kekecewaan kolektif ketika komitmen elit-elit parpol berhasil meraih kursi
sentral-sentral kekuasaan. Mereka tak pernah membuktikan tindakan-tindakan yang
lebih membumi, memihak dan populis. Bahkan mereka tak bisa bertarung di tengah
kepentingan politik dan mengabdikan tindakannya kepada suara rakyat. Lebih jauh
parpol menjadi arena politik dari perkembangan kepentingan pasar dan modal.Dan
hingga kini, pertarungan politik , hanya lebih banyak terjadi untuk memperkokoh
dan memenuhi kepentingan institusi dan elit partai. Dan idiologi pragmatis
lebih menjadi kegandrungan para pemain parpol untuk diimplementasikan dibanding
memastikan isu-isu dan masalah penting
yang di butuhkan rakyat. Sehingga tak bisa di cegah dalam perkembangan politik
kontemporer lahir sejumlah kekecewaan, kecemasan dan keraguan soal eksistensi
parpol dan system kepartaian. Bahkan lebih jauh, bila dihubungkan dalam kontek
proses perkembangan demokratisasi dan kedaulatan rakyat, timbul pernyataan
kontroversi berkenaan dengan peran nyata partai dalam mewujudkan keadilan
social. Berbagai tindakan konspirasi politik mengarah pada demoralisasi.
Tentu dengan potret destruktif atas
tindakan itu, melahirkan berbagai keraguan, kekecewaan dan kesakitan public.
Public tak lagi memiliki alasan yang cukup kuat untuk menyakini atas kerja-kerja
politik parpol. Bahkan klaim public akhirnya meyakini bahwa kinerja parpol
belum mampu menjadi lembaga politik yang menopang demokrasi di Negara ini,
apapun alasannya bila hendak memotret objektif. Padahal konstituen dari
masing-masing parpol membaca penting keberadaan parpol dalam memastikan agar
hak-hak rakyat dapat dipenuhi oleh penguasa, meskipun dengan persaingan
kepentingan yang cukup ketat yang digelorakan oleh kelompok kepentingan pasar
dan modal.
Potret
keraguan
Tentu secara teoritis, partai
merupakan reprsentasi dari keinginan dan cita-cita rakyat. Sehingga akan
senantiasa megesampingkan kepentingan-kepentingan individu/elit-elit parpol.
Namun realitas yang dapat dibaca, menunjukan gambaran realitas politik sebaliknya
dibanding yang ideal dan sebanarnya. Untuk itu, dalam perkembangan politik
kekinian meskipun di penuhi dengan tuntutan reformasi yang digelorakan oleh
gerakan –gerakan anti fasis dan dekolonisasi, tumbuh ketidak puasaan dan ketidak
percayaan atas kinerja parpol berserta para pemain utamanya (politisi). Bahkan
melahirkan pada skeptifisme public. Apalagi dalam perkembangannya, rakyat
disuguhi pada realitas soal akuntabilitas, daya empati, serta legitimasi parpol
yang jauh dari tuntutan teks-teks yang tercatat dalam berbagai legislasi,
semakin menunjukan kegagalannya dalam menjalankan mandate. Padahal parpol dalam
negara modern, memiliki peran cukup penting sebagai representasi dari rakyat.
Karena melalui parpol, berbagai proses rekrutmen pejabat public hingga pimpinan
Negara. Dengan demikian tak berlebihan bila mengklaim berbagai
keputusan/kebijakan Negara berada di tangan –tangan elit-elit parpol yang
merupakan refresentasi rakyat.
Namun hingga kini, tindakan-tindakan
politik kepentingan telah melahirkan
ketidak percayaan konstuen. Hal ini dapat ditelusuri dari hasil-hasil
kebijakan yang dihasilkannya. Diantaranya keluarnya UU no 25 tahun 2007 tentang
modal asing, UU tentang perkebunan, UU
tentang Air. Perpes No 36 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan
pembangunan, PP No. 2/08 tentang Jenis dan Tarif atas jenis penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk kepentingan
Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku Pada Deparemen Kehutanan)
dan kebijakan-kebijakan lainya. Dengan hasil itu, rakyat mulai meragukan
kapabilitas parpol sebagai agen kepentingan dan keterwakilan rakyat. Bahkan
semakin jauh dari rakyat.
Ruang
Gerakan Independen
Tak heran kekecewaan itu menjadi
momen penting bagi upaya-upaya perbaikan ditengah kekecewaan kolektif public
pada parpol beserta para politisi. Di pertengahan tahun 2007 mulai menjadi
perdebatan hangat keberadaan individu dalam melibatkan diri pada representasi
rakyat dalam mengisi sentral-sentral kekuasaan. Ditengah-tengah kontroversi,
akhirnya UU 32 yang menjadi panduan penting bagi pilkada yang merupakan wujud dari pesta
kedaulatan rakyat direvisi. Dengan berbagai kepentingan tentu bermain dalam
upaya revisi itu. Namun rupanya niat tulus itu hingga kini belum tuntas, masih
menyisakan berbagai kendala baik secara politik maupun secara politik
adminitrasi. Berbagai aturan main yang lebih menjamin keterlibatan gerakan
indevenden mengalami kendala. Tentu potret itu tak lain dari saksi kegagalan
parpol dalam mengusung proses perkembangan demokratisasi di negeri ini. Tentu kini pekerjaan politik yang berbasis
pada kemualiaan, lebih idiologis martabat dan kehormatan yang harus diusung
masih panjang oleh para pecinta dan pelayan keadilan social dan kemanusiaan. Semua
elemen pecinta dan pelayanan keadilan dan kebenaran harus terus menyuarakan
dengan lantang agar dapat mendudukan ulang para pemain politik, makelar
politik, media politik dan objek politik ketempat yang masing-masing dihormati
dan dihargai. Untuk kedepan ada beberapa hal yang esensi untuk dibaca sangat
serius, diantaranya : Politik kenegaraan, politik perekonomian, politik
keuangan, politik kesejahteraan social, Hak-hak asasi manusia, politik hukum,
dan politik pendidikan. Berharap kajian-kajian yang mendalam itu, melahirkan
atmosfir yang lebih memastikan agar kita bebas dari penderitaan yang panjang berupa kemiskinan,
pelanggaran HAM, konflik agrarian, KKN, dan pelayanan public yang buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar