Selasa, 16 Juli 2013

ISTIQAMAH DI ATAS JALAN YANG LURUS

Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in).


Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri.
Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati.

Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)

Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar