Mahabbah dan Puasa
Mahabbah merupakan upaya kecintaan yang tak ada bandingnya antara seorang hamba terhadap Tuhannya. Kecintaan itu tak ada yang bisa menandingi dan menghalanginya. Dan kecintaan ini diikuti dengan hidupnya, sikap makhafah (takut terhadap Allah serta diikuti dengan pemurnian diri kepa-Nya) dan dengan ma’rifat.
Menurut Ahmad ibn Arif, mahabah adalah permulaan suatu lembah fana (penghancuran diri) yang merupakan penghancuran diri sendiri (al-mahu).
Potret melakukan kecintaan yang tak terhingga pada Sang Illahi seperti yang di ungkapkan oleh seorang sufi “mabuk”, merupakan istilah mistis yang menggambarkan keadaan mabuk cinta kepada Tuhan; ia merupakan tujuan utama dan ambang yang mendekati akhir perjalanan hidup. Bahkan Bayazid al-Bistami memandang bahwa mabuk cinta tersebut merupakan cara tertinggi meraih cinta kepada Sang maha Tunggal.
Dan tentu kecintaan itu tak akan menjadi pusat kegiatan seorang hamba bila proses al-fana (pemusnahan) tidak dilakukan. Menurut Ibn Atha’illah dalam kitab hikam menyatakan bahwa “jika engkau hendak bersatu dengan-Nya, maka sekali-kali engkau tidak akan bersatu dengan-Nya kecuali setelah engkau memusnahkan segala sifat burukmu dan menghancurkan keinginanmu sendiri atas alam materi. Maka jika ia menghendaki menyatukan dengan dirimu didalam diri-Nya, niscaya ia akan menutupi sifat dan watak hewan mu dengan sifat dan watak-Nya dan dengan demikian ia menyatukan nilai-nilai kebajikan yang datang dari-Nya kepada dirimu, tidak dengan kebaikan yang berasal dari mu untuk-Nya.
Menurut perkataan al- Niffari : Pada suatu waktu ketika aku membuat pandanganmu atas seluruh eksistensi menjadi sebuah penglihatan yang tinggi, maka pada kondisi seperti itu beberapa bentuk-Ku akan tampak olehmu, sehingga jika kesadaranmu telah mengetahui-Nya, maka panggilah aku dengan bentuk tersebut tetapi jika kamu sama sekali tidak mengetahui, maka ingatlah Aku didalam deritamu dan melalui pandanganmu yang penuh kecemasan. Dengan pandangan yang seperti itu engkau akan dianugrahi pandangan yang mendalam dan luas, yang memenuhi dada, dan segala sesuatu berada di dalamnya, dan mereka merupakan eksistensi yang menyeluruh ibarat wujud yang abadi, dan ibarat kegembiraan di dalam permusuhan yang tiada terakhir. Maka engkau akan mudah mengamati segala sesuatu. Bagi-Nya alunan keagungan, masing-masing bergerak menuju kepada-Ku dalam peribadatan, pujian senantiasa mengagungkan aku hendaklah engkau tidak khawatir dan cemas karena saat yang engkau nanti-nantikan segera tiba; dan hendaknya tidak seorang kawan yang menghengkangkan kamu pada saat seperti itu, yakni ketika aku hendak menjadikan dirimu sebagai sang penonton, sehingga Aku akan membuatmu sebagai penglihat, sehingga diri-KU dapat kau kenali, sekalipun hanya sesaat dalam usaha hidupnya. Pada saat itu Aku hendak berkata kepadamu, dan engkau segera mengetahuinya, bahwa engkau pencinta-Ku, karena engkau menghindar dari segala sesuatu untuk mencapai apa yang telah Aku perlihatkan kepadamu, sehingga Aku menjadi penguasa dan pengatur dirimu, dan engkau segera tiba bersanding bersama-Ku ketika itu segala sesuatu berada di luar Kita. Ketika engkau melekat dengan- ku, maka segalanya akan melekat kepadamu dan sama sekali tidak kepada-Ku. Demikianlah orang yang benat-benar mencintai-Ku. Dan ketahuilah jika sudah demikian, maka seluruh pengetahuan akan di kenali kekasih-Ku tiada ada yang tersisa. dan hal ini sungguh tidak dapat dilukiskan.
Dalam hal lain ibn Ath’illah mengatakan : Bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya, sedang Dia satu-satunya yang mewujudkan segalanya? Bagaimana dapat terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya sedang Dia menjelmakan diri melalui segala sesuatu ? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya sedang Dia menjelma ke dalam sesuatu ? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya sedang Dia menjelma kepada segala sesuatu? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-nya sedang telah nyata sebelum terjadi segala sesuatu ? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalangi-Nya sedang Dia lebih nyata dari segalanya? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalanginya, sedang tidak ada sesuatu pun yang menyertainya? bagaimana bisa terjadi bahwa sesuatu menghalanginya, sedang Dia lebih dekat kepada dirimu dan segalanya? bagaimana bisa terjadi sesuatu menghalangi-Nya, sedang jika bukan karena Dia segala sesuatu tidak akan terwujud? Dapat menjelma ke dalam sesuatu yang maya, dan betapa sesuatu yang jamak dapat bersanding dengan-Nya sang pemilik Sifat keabadian.
Firman Allah, Artinya : Dialah (Allah) yang menjadikan langit dan bumi dalam enam hari (masa), kemudian ia bersemayam di atas arasy, ia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar di permukaan bumi, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke langit, ia bersamamu dimana saja kamu berada, dan ia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. ( Qs Saba’2)
Firman Allah, Artinya : tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang kecuali Dia (Allah) yang ke empat dari antara mereka itu, dan tiada (pembicaraan rahasia ) antara lima orang, melainkan Dia yang keenamnya, tiada juga kurang dari itu dan tiada juga lebih melainkan Dia (selalu) bersama mereka, dimana saja mereka berada, kemudian Dia akan memberik tahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan ( di dunia) kelak di hari kiamat, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu ( Qs Al-Mujadalah 7 ) .Firman Allah Artinya : sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang taqwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan. ( Qs. An-nahl 128)
Untuk itu Tak ada keraguan bagi manusia yang menebar kasih sayang pada semua manusia dan mengangkat manusia yang teraniaya menjadi mulia dan terhormat, menjadi hamba-hamba Nya yang ditempatkan dalam posisi yang sempurna (taqwa). Bahkan beruntunglah bagi mereka yang dalam mengisi hidupnya sesak, penuh, sibuk dengan arena kecintaan yang tak tehingga pada-Nya merupakan bentuk pendakian pesan para Nabi-nabi-Nya yang sempurna. Dan hamba-hamba yang mengikuti pendakian itu tak ada yang tertinggal dari dirinya selain mengingat Allah.
Bulan Ramadhan yang berarti “yang sangat panas” merupakan bulan yang disucikan karena bulan ini bulan memulihkan jiwa yang tercela (al-nafs al-ammarah), setelah itu kedudukannya digantikan dengan jiwa damai (al-nafs al- muthma’innah). Selanjutnya menghadirkan sebuah pemusnahan yang menurut istilah sufistik dikenal sebagai fana’ al-fana (puncak segala pemusnahan). Dengan cara ini puasa di bulan ramadhan memusnahkan sama sekali dirinya dihadapan keagungan Allah SAW, berganti dengan puncak al-mahabbah pada Sang Maha Tak Terhingga. Puasa melahirkan baqa yang menar-benar haqiqi terlepas dari segala keterikatan dengan segala ego, menghilangkan seluruh kepribadian yang berlebihan dan menghalalkan segala cara dalam memenuhi kepuasan alam material demi mencapai al-fana Allah (pemusnahan diri menuju Allah) taqwa. Karena derajat ketaqwaan tak akan kita gapai bila jiwa-jiwa yang tercela masih dipelihara dan disebarkan dengan subur. Dalam hal ini Ibn atha’illah berkata dalam al Hikam : Jika engkau hendak bersatu dengan-Nya, maka sekali-kali engkau tidak akan bersatu dengan-Nya kecuali setelah engkau memusnahkan segala sifat burukmu dan menghancurkan keinginanmu sendiri. maka jika ia menghendaki menyatukan dengan dirimu didalam diri-Nya, niscaya Ia akan menutupi sifat dan watakmu dengan sifat dan watak-Nya. Dan dengan demikian Ia menyatukan nilai-nilai kebajikan yang datang dari-Nya kepada dirimu, tidak dengan kebaikan yang berasal darimu untuk-Nya.
Untuk itu puasa Ramadhan hari ini menjadi apa yang diungkapkan oleh Abusy syiish dalam bait syair nya : cintaku selalu mengikuti kemauanmu, tanpa ada perasaan apakah aku diacuhkan ataukah diperhatikan. Bila kau lecehkan diriku, aku berupaya keras untuk bersikap sabar, bagiku tidak penting apakah engkau menolak cintaku atau menerimanya. Sikapmu kepadaku mirip dengan musuh-musuhku sehingga aku menyukai mereka, mengingat perlakuan yang kuperoleh darimu sama dengan perlakuan yang kuperoleh dari mereka. Kurasakan celaan orang lain karena kecintaanmu begitu menyenangkan sebab begitu tulusnya cintaku kepadamu, maka biarlah celaan orang-orang yang suka mencela. Kurasakan celaan karena kecintaanmu begitu menyenangkan, karena suka dengan sebutanmu, maka biarlah celaan orang yang mencela. Inilah pandangan orang yang jatuh cinta pada “puasa”. Menurut Hasan al-Bashri, Allah menjadikan puasa sebagai latihan dasar bagi setiap hambanya yang akan mengantarkan mereka menuju ketaatan kepada-Nya. Diantara manusia berhasil dan mendapatkan penghargaan (dalam berpuasa); sementara yang lainnnya mengalami kegagalan, dan meraih hasil yang mengecewakan. Demi seluruh hidupku, andaikan penutup (hijab) dibukakan, niscaya orang shalih akan semakin sibuk dengan kebajikannya, dan mereka pelaku kejahatan segera menggantikan bajunya atau meminyaki rambutnya’. Bukanlah suatu yang mengherankan jika orang yang tersesat akan tetap tersesat, dan mereka yang selamat niscaya terselamatkan. Untuk itu pantaslah kita menyatakan apa yang pernah diungkapkan al-Ghazali dalam kitab al-Munqiz min al-Dalal sebagai berikut ; kami berdoa kepada yang Maha kuasa semoga Allah mencatat kita sebagai kelompok orang yang terpilih dan dipilih-Nya, yakni mereka yang dibimbing dan ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran, mereka yang mendapat kemudahan untuk selalu mengingat-Nya dan sama sekali tidak pernah melupakan-Nya mereka yang terjaga dari segala macam kejahatan yang akan menyebabkan terjatuhnya dari Allah, dan mereka yang berusaha menyatukan dirinya semata-mata untuk Allah amin. Wallahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar