Minggu, 07 Juli 2013

Malapetaka dan Politik Birokrasi

Malapetaka dan Politik Birokrasi Birokrasi yang dalam bahasa Inggris bureaucracy , berasal dari kata bereau (berarti :meja) dan cratein (berarti :kekuasaan), dimaksud adalah kekuasaan berada pada orang-orang yang dibelakang meja . Menurut Bintoro Cjokroamidjodjo (1984), untuk mengorginisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak. Sehingga tujuannya adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Dengan demikian birokrasi memiliki tanggung jawab secara yuridis formal tetapi juga tanggung jawab moral.


Kenetralisasian birokrasi dijelaskan dengan jelas dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Dalam pasal 3 Undang-Undang tersebut mengatur : 1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; 2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; 3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Mengacu aturan diatas jelas melarang keberpihakan pegawai negeri dan tuntutan sikap profesionalisme Pegawai Negeri ditengah godaan atau paksaan untuk berpolitik praktis.

Namun demikian tetap saja terjadi pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh aparat Pegawai Negeri ini.Prinsip netralitas birokrasi baru dapat tumbuh pada sistem politik yang pro kepada public, yang meletakkan warga negara sebagai pemilik kedaulatan. Penerapan prinsip netralitas birokrasi baru memerlukan sistem pendukung seperti: sistem politik yang egaliter dan responsif, elit politik dan birokrasi yang berkomitmen kepada public. Selain itu, prinsip netralitas birokrasi baru memerlukan pendidikan politik yang massif disegala tingkat dan sektor.

Hal yang sangat penting juga adalah melakukan pendidikan politik yang menumbuhkan semangat kebangsaan, semangat memiliki hak dan kewajiban yang sama dimata hukum, haus kepada perubahan, meletakkan hak dan kewajiban warga negara, birokrasi dan DPR secara berimbang dan bertanggung jawab. Dengan begitu, prinsip netralitas birokrasi baru dapat diwujudkan dan semua warga negara mendapat haknya untuk disejahterakan oleh negara. Birokrasi yang bersikap netral, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan obsesi syahwat kekuasaannya maupun partai politik tertentu. Birokrasi modern yang ideal seperti yang dicitrakan oleh Weber dan birokrasi yang netral seperti yang dicitrakan oleh Hegel ternyata masih sebuah obsesi di Indonesia. Lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya. Di era reformasi, terbukanya kebebasan memunculkan euphoria tidak hanya dimanfaatkan oleh kekuatan politik namun juga dilakukan oleh birokrasi. Birokrasi tidak lagi menempati kedudukan yang objektif, netralitas dan professional. Birokrasi dalam berbagai permainan politik yang berkembang menjadi pelaku utama dalam menentukan pertarungan politik, bahkan lebih jauh mendesain dan merekontruksi dinamika politik yang berkembang. Regulasi, anggaran, etika menjadi komoditi politik yang eksploitatif. Kesenjangan, ketimpangan, politik dibangun dengan tangan besi. Akibatnya kekuatan politik beserta birokrasi saling berlomba untuk mendapatkan pos - pos strategis di lingkungan birokrasi pemerintahan. Antara politik dan birokrasi mempunyai dua kutub yang saling tarik-menarik. birokrat membuka diri ke arena politik, paling tidak untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi atau sekedar untuk mempertahankan posisi jabatan yang strategis dalam jabatan birokrasi. Selanjutnya Politisi dan birokrasi memanfaatkan jaringan kekuasaan ke arena politik, paling tidak untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politiknya. Semangat netralitas harus dibangun kembali karena pada prinsipnya juga merupakan bagian dari amanat reformasi. Netralitas birokrasi merupakan hal prinsipil yang harus diwujudkan dalam rangka mengembalikan peran birokrasi sabagai abdi negara dan masyarakat sebagai pelayan masyarakat (public servant). Dengan terwujudnya netralitas birokrasi maka birokrasi akan semakin profesional dalam menciptakan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Akhirnya masalah-masalah yang ada dirakyat akibat salah urus dapat diminimalisasi. Namun tentu praktek itu akan berbeda bila birokrasi menjadi pelaku politik praktis yang akan berimplikasi luar biasa pada rakyat. Karena birokrasi akan ikut menjadi pelaku praktek destruktif dalam membangun konspirasi politik yang pada akhirnya kepentingan social politik kursinya, kekuasaanya, kaum elit penguasa, pasar dan modal lebih menonjol dibanding memenuhi hak-hak rakyat sesuai dengan konstitusi. Mendudukkan yang benar sesuai dengan mandate kebijakan bagai birokrasi menjadi pilihan esensial dan genting. Karena “Pegawai Negeri Sipil” yang berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesionai, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan sangat dibutuhkan sesuai dengan makna birokrasi secara substansi. Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud di atas, maka Pegawai Negeri Sipil harus netral dari pengaruh semua golongan, pasar, modal, jauh dari syahwat kekuasaan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hilangnya netralitas birokrasi akan berimplikasi sangat besar. Berbagai kasus KKN tentu sulit dipungkiri akibat birokrasi menjadi bagian dari potret konspirasi politik yang destruktif. Dengan menyebarya KKN tentu berbagai pelayanan public akan seketika terganggu, lebih jauh akan mengalami kebokbrokan. Menurut Weber ada beberapa karakteristik (ideal type) yang harus dimiliki oleh birokrasi. Karakteristik tersebut sebagai berikut: pertama ; Pembagian kerja yakni Adanya job descriptions yang jelas untuk setiap bawahan agar pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Kedua; Hierarki kewenangan artinya Jenjang kepangkatan yang disusun secara tegas yang mendiskripsikan kewenangan atasan dan bawahan. Ketiga ;Formalisasi maksudnya Aturan-aturan formal yang mengatur tatahubungan anggota organisasi. Setiap orang dalam organisasi bekerja sesuai dengan tuntunan yang telah tersedia sehingga pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Empat ; Impersonal artinyaTidak mengenal adanya hubungan saudara, pertemanan dan perkoncoan karena pola hubungan didasarkan atas rasionalitasdan profesionalitas. Kelima ; Penempatan pegawai berdasarkan kemampuan, maksudnya seleksi pegawai dilakukan dengan ketat sesuai dengan kompetensinya. Bagi pegawai yang lulus seleksi, penggunaan standar kompetensi yang ketat, keilmuan dan keterampilan merupakam syarat yang harus dipenuhi. Keenam ; jenjang karier bagi pegawai maksudnya kenaikan pangkat, pendidikan dan pelatihan bagi pegawai untuk meningkatkan kemampuannya karena intensitas pekerjaan yang semakin meningkat dan rumit. Ketujuh ; Kehidupan organisasi dipisahkan dari kehidupan pribadi artinya Organisasi dijalankan tanpa terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi (Samadri Wibowo:). Pada prinsipnya, tipe ideal birokrasi Weber ditujukan untuk menunjang efisiensi dan efektivitas organisasi. Di samping itu, tipe ideal Weber sejalan dengan tuntutan demokrasi. Birokrasi adalah konsekuensi logis dari kehidupan yang demokratis yang menghendaki objektivitas dan konsistensi kebijakan. Oleh karena itu birokrasi bersifat impersonal. Sifat-sifat impersonal birokrasi dibutuhkan agar pelayanan yang diberikan birokrasi kepada masyarakat memenuhi asas keadilan (equiy) dan terhindar dari kultur partisan. Namun, pada tataran praktisnya di Indonesia tipe ideal birokrasi Weber hanya sebatas sketsa semata. Tipe ideal birokrasi Weber tidak ditemukan aplikasinya pada organisasi pemerintah. Bahka sebaliknya, birokrasi dianggap sebagai simbol kelambanan, kelalaian, korupsi, tidak efisien dan partisan, sehingga kepercayaan (trust) publik semakin hilang (Binarto :1995) Wilson berpendapat bahwa politik dan administrasi harus dipisah karena keduanya memiliki tugas yang berbeda. Pemisahan antara politik-administrasi dimaksudkan agar birokrasi publik dapat bekerja secara profesional melayani kepentingan umum (public interest) tanpa dibebani isu-isu politik (Wahyudi : 2005). Pendapat Wilson diperkuat oleh Frank J. Goodnow, menurut Goodnow ada dua fungsi yang berbeda dari pemerintah (two distinc function of government) yaitu politik dan administrasi. Politik menurut Goodnow, berhubungan dengan kebijakan atau berbagai masalah yang berhubungan dengan kebijakan negara. Sedangkan administrasi, berkaitan dengan pelaksanaan (implementasi) kebijakan tersebut. Sehingga bila politik dan birokrasi menjadi dua sisi mata uang maka malapetaka itu akan terjadi. Karena substansi Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan (power). Politik merupakan sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain dengan cara-cara tertantu. Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh kekuasaan, logikanya setelah berkuasa dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia akan menanamkan pengaruhnya kepada orang lain. Bahkan lebih jauh akan menggunakan segala ruang - ruang yang tidak halal menjadi halal, dan yang halal menjadi haram. Prinsif lain yang dapat dijadikan parameter pelaksanaan birokrasi yang baik dapat merujuk pada prinsif - prinsif Good Governance yang meliputi ; Pertama ; partisipasi masyarakat (participation). Kedua ; tegaknya supremasi hukum (Rule of Law). Ketiga ; keterbukaan dan tranfaranci (openness dan transparancy). Keempat ; pro rakyat. Kelima; berorientasi pada konsesus. Keenam ; kesetaraan. Ketujuh ; efektif dan efesien. Kedelapan ; akuntabilitas. Kesembilan; visi dan strategis. Kesepuluh ; komitmen pada pengurangan kesenjangan. Kesebelas ; komitmen pada pasar, tanah, modal, informasi, regulasi yang berpihak pada rakyat. Kedua belas; desentralisasi dan demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar