Praktek
radikalisme di abad 18 hingga kini sering kali ditujukan pada islam. Tentu
potret ini bukan tak beralasan, terutama berakhirnya perang dingin antara
aliran ekonomi kapitalis dan sosialis . Dan dimenangkan oleh Barat (USA) maka
tentu yang menjadi ancaman bagi gelombang ekonomi kapitalisme adalah Islam.
Sehingga kebangkitan Islam harus memperoleh wajah yang buruk bagi dunia. Dan
istilah radikalisme, terorisme dan fundamentalis merupakan stigma yang akan
membangun solidaritas yang besar bagi
gerakan anti Islam. Dengan istilah itu,
Islam yang merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan
mencari perdamaian. hakikat Islam itu adalah menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, objektivitas, fariness. Selanjutnya Islam menginginkan menjadi
umataan washataan. “Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan
pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (
Muhammad) menjadi saksi atas (pebuatan) kamu. Al Baqarah 143. Islam tidak
pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham
keagamaan serta paham politik. Namun tentu praktek apapun bila itu bertentangan
dengan maentrem Barat, maka Islam menjadi potret yang buruk, karena akan
mengganggu status quo.
Praktek
lahirnya gerakan perlawanan (Jihad) yang di baca sebagai bentuk radikalisme
sebenarnya gerakan yang tidak bisa dimonopoli oleh satu agama. Namun lahir di
setiap agama-agama besar. Dan tentu kelahirnya akibat dari kondisi ketidak
adilan dan structural yang ekploitasi dna dominasi.Untuk
menganalisa fenomena istilah gerakan perlawanan dan atau perjungan (radikalisme)
secara lebih jernih, mungkin ada baiknya kalau merujuk kepada kajian sosiologi agama yang
sudah ada untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi Indonesia.
Hanya saja, karena sosiologi agama adalah salah satu disiplin ilmu yang lahir
dan dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering terdiri dari
umat Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya. Oleh karena itu, belum
tentu a priori temuannya benar-benar relevan untuk dunia Islam. Beberapa
konsep dasar yang dipakai barangkali sangat tergantung pada konteks Budaya
Barat.
Dua sosiolog agama kebangsaan Jerman mempunyai
pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte selama abad ini, mereka
adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal dengan tesisnya mengenai
peranan sekte-sekte protestan dalam perkembangan semangat kapitalisme di
Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik. Troeltsch,
teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya mengenai
munculnya gerakan perlawanan (sempalan) di Eropa pada abad pertengahan Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis
wadah umat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan,
yaitu tipe gereja dan tipe sekte.
Gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap
ortodoksi (dalam arti sosiologis tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja.
Organisasi- organisasi tipe gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi
seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Sebagai wadah yang established
(mapan), mereka cenderung konservatif, formalistik, dan berkompromi dengan
penguasa serta elit politik dan ekonomi. Tipe sekte, sebaliknya, selalu lebih
kecil dan hubungan antara sesama anggotanya biasanya egaliter. Berbeda dengan
tipe gereja, keanggotaannya bersifat sukarela: orang tidak dilahirkan dalam
lingkungan sekte, tetapi masuk atas kehendak sendiri. Sekte-sekte biasanya
berpegang lebih keras (atau kaku) kepada prinsip, menuntut ketaatan kepada
nilai moral yang ketat, dan mengambil jarak dari penguasa dan dari kenikmatan
material. Sekte-sekte biasanya mengklaim bahwa ajarannya lebih murni,
lebih konsisten dengan wahyu Ilahi. Mereka cenderung membuat pembedaan tajam
antara para penganutnya yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh
kekurangan serta dosa. Seringkali, kata Troeltsch, sekte- sekte muncul
pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan pendidikan rendah, dan baru
kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering cenderung memisahkan diri
secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya dan ilmu
pengetahuan sekuler. Richard Niebuhr, sosiolog agama dari Amerika Serikat,
melakukan studi mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi dan sulit dipungkiri bahwa potret itu melahirkan
radikalisasi, namun memang stigma kekerasan pada agama induk itu tidak pernah
buming seperti apa yang dialami oleh Islam.
Faktor-faktor
sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala
sosial-politik dari pada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah
oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar
permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas
manusia yang ada di masyarakat. Dalam hal ini kaum umat Islam memandang fakta
historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban umum sehingga
menimbulkan perjungan /perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Tentu
saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama
karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat
fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak penyimpangan dan
ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan perjuangan/perlawanan,
dalam menghentikan hegemoni, dominasi dan eksploitasi.William
Nock pengarang buku “Perwajahan Dunia Baru” mengatakan: Terorisme yang
belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang
terjadi di dunia”. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal
hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang
sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung
pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme
internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat
Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional.
Menurut
John Ralston Saul akibat ekonomi dunia
maka pertama, kekuasaan Negara bangsa semakin redup. Kedua, di masa depan
kekuasaan terletak pada pasar global. Untuk itu tujuan USA dalam Konsesus
Washington adalah untuk menghancurkan seluruh rintangan nasional terhadap
perdagangan, mengahiri proteksionisme, memperluas pasar dan zona bebas, dan
meungkinkan mengalirnya modal kemana saja dengan kendala dan regulasi minimal.
Hal ini karena salah satu doktrin globalisasi mendorong Negara-negara di muka
bumi untuk mengintegrasikan ekonomi mereka ke dalam satu ekonomi global
tunggal. Doktrin ini meliputi :liberalisasi perdagangan dan arus keuangan;
deregulasi produksi, modal dan pasar tenaga kerja dan merampingkan peran
Negara, terutama yang berkaitan dengan proram pembangunan social dan ekonomi.
(Amien Rais:2008). Untuk itu tujuan pokoknya memelihara status quo yang berupa
keunggulan ekonomi dan kemakmuran untuk Negara-negara barat serta pelestarian
hegemoni atau dominasi teknologi, politik, militer atas Negara-negara
berkembang.
Untuk itu tak lah berlebihan istilah Radikalisme ditujukan pada Islam dimanapun termasuk di Indonesia sering diassoaisikan secara tidak tepat Padahal, makna positif dari radikalisme adalah spirit perubahan menuju yang lebih baik itu. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Dengan begitu radikalisme bukan sinonimnya ektrimitas, kekerasan. Untuk itu radikalisme adalah perbaikan dan pembaruan atas dunia yang eksploittaif dan dominative akibat globalisasi yang hakekatnya adalah imperialism ekonomi atau seperti kata Bung Karno dan Mahathir sebuah neokolonialisme yang bercirikan pertama: kesenjangan kemakmuran antara Negara terjajah dan penjajah, kedua; hubungannnya eksploitatif antara Negara penjajah dan terjajah, ketiga; Negara terjajah kehilangan kedaulatan dalam arti luas. Begitu juga istilah radikalisme sebagai pernyataan atas gejala resistensi di dunia Islam sangat politis karena gejala resistensi di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam dimanapun dianggap sangat memojokkan umat Islam.
Untuk itu tak lah berlebihan istilah Radikalisme ditujukan pada Islam dimanapun termasuk di Indonesia sering diassoaisikan secara tidak tepat Padahal, makna positif dari radikalisme adalah spirit perubahan menuju yang lebih baik itu. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Dengan begitu radikalisme bukan sinonimnya ektrimitas, kekerasan. Untuk itu radikalisme adalah perbaikan dan pembaruan atas dunia yang eksploittaif dan dominative akibat globalisasi yang hakekatnya adalah imperialism ekonomi atau seperti kata Bung Karno dan Mahathir sebuah neokolonialisme yang bercirikan pertama: kesenjangan kemakmuran antara Negara terjajah dan penjajah, kedua; hubungannnya eksploitatif antara Negara penjajah dan terjajah, ketiga; Negara terjajah kehilangan kedaulatan dalam arti luas. Begitu juga istilah radikalisme sebagai pernyataan atas gejala resistensi di dunia Islam sangat politis karena gejala resistensi di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam dimanapun dianggap sangat memojokkan umat Islam.
Praktek
perlawanan/perjuangan yang dilakukan
oleh sekelompok umat Islam tidak dapat dialamatkan sebagai radikalisme kepada
Islam sehingga propaganda media Barat yang memojokkan Islam dan umat Islam
secara umum tidak dapat diterima. Islam tidak mengajarkan radikalisme, tetapi
perilaku perlawanan sekelompok umat Islam atas simbol-simbol Barat memang
merupakan untuk memberi label dan mengkampanyekan anti-radikalisme Islam.
Identitas keislaman (kesadaran umum sebagai Muslim) memang menjadi identitas
yang tepat dan referensi yang efektif bagi gerakan perjungan/perlawanan. Tetapi
faktor eksternal yaitu dominasi dan kesewenang-wenangan barat atas
negeri-negeri Muslim merupakan faktor yang lebih dominan yang memunculkan perjungan
perlawanan (jihad) Muslim sebagai reaksi. Jadi jelas, bahwa
perjungan/perlawanan muncul dari kebanggan (identitas ke-Islaman) yang terluka
(oleh Barat), keluhan (kaum Muslim tertindas yang tidak diperhatikan) dan
keputusasaan karena ketidakberdayaan.
Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup kompleksitas permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para pemimpin Barat dan juga negeri-negeri Muslim untuk mampu membaca fenomena perkembangan zaman yang mencerminkan aspirasi dari kalangan Muslim. Kondisi buruk sosial-politik dan ekonomi telah menjadikan umat Islam semakin termajinalkan sudah seharusnya dijadikan landasan awal dalam pemecahan masalah . Jika tidak maka “rakyat ” yang damai akan termanifestasi dalam bentuk perjuangan /perlawanan yang penuh masif. Untuk itu, Indonesia perlu agenda baru seperti negosiasi terhadap seluruh kontrak karya pertambangan,nasionalisasi seluruh privatisasi kekayaan bangsa,membuka pluralism hukum, investsi yang lebih berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan,kepemimpinan yang membawa bangsa berani mengangkat kepala berhadapan dengan lingkaran kepentingan korporatokrasi yang kapitalis dan eksploitatif, kepemimpinan yang berani mengamputasi korupsi dan membangun kedaulatan bangsa dan identitas, menjalankan agenda pembaruan agrarian, dan lain-lain seluruhnya . Dll.
Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup kompleksitas permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para pemimpin Barat dan juga negeri-negeri Muslim untuk mampu membaca fenomena perkembangan zaman yang mencerminkan aspirasi dari kalangan Muslim. Kondisi buruk sosial-politik dan ekonomi telah menjadikan umat Islam semakin termajinalkan sudah seharusnya dijadikan landasan awal dalam pemecahan masalah . Jika tidak maka “rakyat ” yang damai akan termanifestasi dalam bentuk perjuangan /perlawanan yang penuh masif. Untuk itu, Indonesia perlu agenda baru seperti negosiasi terhadap seluruh kontrak karya pertambangan,nasionalisasi seluruh privatisasi kekayaan bangsa,membuka pluralism hukum, investsi yang lebih berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan,kepemimpinan yang membawa bangsa berani mengangkat kepala berhadapan dengan lingkaran kepentingan korporatokrasi yang kapitalis dan eksploitatif, kepemimpinan yang berani mengamputasi korupsi dan membangun kedaulatan bangsa dan identitas, menjalankan agenda pembaruan agrarian, dan lain-lain seluruhnya . Dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar