Oleh : Ibang Lukmanurdin (Pemimpin
Pesantren Ath Thaariq Garut)
Kebijakan
menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat). Dalam hal ini syariat islam
mengijinkan siapapun untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati dengan cara
mengelola dan mengarapnya. Hal ini didasarkan pada :
ﻤﻦﺍﻋﻤﺭﺍﺮﻀﺎﻠﻴﺴﺖﻷﺤﺪﻔﻬﻮﺍﺤﻖ
Siapa saya yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain
maka dialah yang paling berhak (HR al-Bukhari(
ﻤﻥﺃﺤﺎﻁ ﺤﺎﺌﻁﺎﻋﻟﯽﺃﺮﺽﻔﻬﻲﻟﻪ
Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah
itu menjadi milikinya (hr Abu Daud)
ﻤﻦﺍﺤﻳﺎﺍﺮﻀﺎﻤﯿﺗﺔ ﻔﻬﻲ ﻟﻪ
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi
miliknya (HR al-Bukhari)
Kedua,
kebijakan memeberi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah dalam hal ini
tanah pertanian, yang tidak produktif/ditelanarkan oleh pemiliknya, selama 3
tahun ketetapan ini didasarkan pada kebijakan kholifah Umar bin al-khaththab
ra. Yang disepakati ijma oleh para sahabat Nabi. Beliau menyatakan :
ﻟﻴﺲ ﻟﻤﺤﺘﺠﺮﺤﻖ ﺑﻌﺪ ﺛﻼﺚ ﺴﻧﻮﺍﺖ
“Orang yang
memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu ) setelah
(menelantarkannya) selama tiga tahun.Dengan hadist ini orang yang memagari
tanah namun tak mengelolanya selama tiga tahun, maka ia tak berhak atas tanah
itu.”
Ketiga. Kebijakan Negara memberikan tanah. Tentu hal ini pernah dilakukan
oleh baginda Rasululloh Saw ketika di Madinah. Dan kebijakan politik agrarian
ini pernah juga dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal beliau (
An-Nabhani 1990 : 120)
Keempat kebijakan subsidi negara. Negara memaksa orang yang memiliki
kelebihan untuk dan tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya seperti
dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khathab ra. Beliau pernah memberikan dana
dari Maitul Mal (kas Negara) kepada petani irak yang memungkinkan mereka bisa
menggarap tanah pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar