Selasa, 19 Mei 2015

Refleksi dan Evaluasi 100 Hari Bupati Rudi Gunawan (Jalan DiTempat)

Dinamika Politik Ke-Daerahan

Oleh : Ibang Lukmanurdin (Pemimpin pada Pesantren Ath Thaariq Garut)

Membaca situasi politik pembangunan di era pemerintahan pembaruan   kabupaten Garut berada dalam ambang ketidakpastian dan ketidak jelasan dengan agenda perubahan yang diusungnya ketika sebelum terpilihan jadi pemimpin Garut di segala hal. Bahkan tidaklah berlebihan “raport merah” atau terlihat jalan di tempat. Tentu bacaan ini diperoleh akibat berbagai persoalan seperti, krisis moralitas, lemahnya  kepemimpinan Pemerintahan Kabupaten Garut, mandegnya reformasi birokrasi yang ditunjukan rendahnya motivasi dan disiplin kerja dan tidak jelasnya karir pegawai negeri sipil, rendahnya pelayanan publik, terutama di sektor-sektor penting yang mengakibatkan rendahnya IPM Kabupaten Garut, komersialisasi jabatan yang dilakukan oleh mafia birokrasi telah mengakibatkan rendahnya profesionalisme kerja PNS , KKN, sampai pada tidak adanya penanganan kasus – kasus rakyat terutama pada isyu konflik agraria dan ketimpangan agraria.

Tak lah berlebihan bila indikator good publik governance tak terlihat dari mulai keterbukaan dan tranparansi, partisipasi, visionary, accountability, keefektifan dan keefesienan, daya tangkap, profesionalisme dan kompetensi, desentralisasi, komitmen pada pengurangan kesenjangan dan komitmen pada pasar yang pro rakyat.
Potret suram ini tentu  akibat tiga pilar  demokrasi, legislative, eksekutif dan yudikatif, yang telah gagal memberikan kepastian pada warga untuk mewujudkan keseimbangan pasar ,informasi, modal, SDM, dan tanah , modal dan keseimbangan masyarakat (societal equilibrium) baik dalam kontek ekonomi, social, politik dan hukum. Begitujuga  tercapainya kesejahtrean sosial dalam arti societal welfare yang bukan dalam artian relief assistance atau santunan. Karena kontek ini Merupakan cita-cita nasional yang harus diwujudkan  secara keseluruhannya, sebagai bagian Integral  dari cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan Negara yang “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi titik tolak yang ditegaskan oleh UUD 45. Sehingga doktrin kesejahteraan social Indonesia meletakkan rakyat Indonesia dalam posisi “sentral- substansial” (bukan dalam posisi “marginal-residual), penyelenggara Negara dalam mewujudkan penyelenggraan ekonomi harus bertitik tolak dan berujung pada kesejahteraan, pemerataan  dan keadilan social.
Bahkan yang luar biasa, tiga pilar itu, telah digerogoti oleh kepentingan  sahwat destruktif para pejabat pemerintah dalam melakukan perbuatan-perbuatan immoral karena rakus  berkuasa, atau loyal pada kroninya. Sehingga ruang kekuasaan tumbuh sarang koruptor, dan konspirasi destruktif. Penyangga utama  Negara ini sudah sangat rapuh, keropos disana-sini. Tikus-tikus yang bersarang di pilar demokrasi ini dan di institusi pemodal terus menggerogoti dan melahap sumber daya pital : moral,uang, modal, informasi, tanah dan SDM. Dana (tanah, uang, informasi, SDM) yang seharusnya dikelola dan dianggarkan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, Begitupun soal modal,  tak lagi jadi pemandu yang lebih baik bagi warganya. Ini terlihat dalam proses politik legislatif atas kasus agrarian, dan kasus lainnnya yang luar biasa menerpa kekuasaan , kapitalisasi konspirasi jadi kekuatan yang luar biasa sehingga putusan yang adil tak diimplementasikan. Dan yang trejadi putusan yang melukai suara-suara rakyat yang merindukan perubahan. Padahal krisis kepercayaan pada pejabat public itu tak diragukan. Dan potret itu merupakan pelanggaran regulasi apapun alasannya.
Potret suram konspirasi kekuasaan ini tentu sulit dipungkiri bila tak ada mega skandal. Padahal “mereka”  haruslah menjadi para pejuang dan pemandu yang bertugas menegakkan hukum. Namun justru tak sedikit  yang melakukan pelanggaran hukum,dan moral  yang lagi-lagi berurusan dengan duit dan kekuasaan. Ini memberikan gambaran  yang lugas bahwa di era 100 hari,  politik pembangunan, hukum yang seharusnya menjadi panglima, tetapi kenyataannya masih jauh panggang dari api. Hukum tercabik oleh kepentingan politik . Sehingga potret yang terjadi politisasi dan kapitalisasi hukum dan  terjadi di semua areal dari kasus hukum kecil sampai kasus hukum besar. Maka tak salah bila potret destruktif ini disebut mafia hukum dan moral. Akibatnya di birokrasi tumbuh para calo birokrasi (dari angaran, moral hingga jabatan) hingga berkembang menjadi mafia birokrasi. Dan tentu yang “dimainkan” adalah anggaran dan regulasi sehingga sempurna tumbuh para tangan-tangan makelar anggran yang dengan leluasa mendistribusikan uang, modal, informasi, tanah dan sdm hanya untuk kroninya semata atau jaringannya, bukan merealisasikan (societal welfare).  Dan fenomena ini disebut mafia anggran.
Kita tak pernah memahami hingga hari ini bila “pemerintahan” masih menjadikan politik konspirasi dan kapitalisasi sebagai panglima. Padahal dimasa orde lama hingga orde baru, kita menyaksikan dengan mata telanjang bahwa  penempatan politik konspirasi dan kapitalisasi sebagai panglima gagal mendistrubisikan keadilan, kesejahtreaan, pemerataan, moral di semua sektor.  Berbagai aksi yang muncul dari pusat hingga daerah merupakan wujud dari kegagalan pemerintahan mewujudkan cita-cita konstitusi bangsa ini. Untuk itu aksi merupakan tuntutan rakyat bagi para pejabat hendaknya bertanggung jawab secara hukum atas kejahatan politik, moral, modal yang telah dilakukannnya. Dan menolak argumentasi umum yang mendukung kekebalan hukum yang melindungi pejabat dari proses hukum.Di era perubahan , rakyat berharap model pendekatan itu berubah karena telah gagal mewujudkan mandate konstitusi bangsa ini, dan menetapkan hukum sebagai panglima. Penegakan hukum diharapkan mempercepat pemulihan Negara dari keterpurukan ekonomi, politik, social dan berbagai segi kehidupan masyarakat.
Lihat di seratus hari, kita menyaksikan politisasi yang hampir disemua bidang. Lihat kasus moral di Kabupaten Garut. Dan kasus lainnya yang tidak pernah membongkar akar persoalan yang terjadi. Bahkan terlihat upaya “kapitalisasi dan konspirasi politik. Potret  ini memberikan pelajaran politik tanpa hukum yang berkeadilan maka akan tumbuh sebagai kezaliman struktural. Politik yang zalim diekpresikan dalam gagasan, tindakan (konspirasi) yang negative, destruktif  dan tendensius. Karena politik yang zalim terbangun oleh prilaku moral hazat, misalnya berpolitik yang tujuannnya mengeruk keuntungn material dan menepiskan moralitas dalam mencapai kekuasaan. Maka  kondisi politik yang tidak sehat sangat menyulitkan untuk meningkatkan moralitas bangsa dalam mencapai good governance atau pemerintah yang baik. rakyat mengalami kegalauan jika partai yang memperoleh mandate melakukan control menjadi bagian dari potret buruk itu. Karena efeknya sangat dahsat, berbagai pelanggran hukum (KKN, kasus pelanggran HAM) tak tersentuh oleh hukum. Atau dengan istilah sederhana pemerintahan beserta jaringannya mempertahankan posisi pejabat yang melanggar hukum dan moral.
Tentu bila kita hendak mengurut secara terperinci, di era perubahan ini banyak kasus hukum yang dijadikan santapan politisasi dan kapitalisasi. Apalagi kasus yang menyangkut KORUPSI  yang melibatkan kaum elit di birokrasi. Lalu apakah kita akan diam bila potret berbangsa dan bernegara menjari carut marut. Sampai kapan politisasi dan kapitalisasi kasus-kasus hukum dan moral ditempatkan dalam jalur yang benar. Artinya kapan tangan-tangan kotor yang menduduki kekuasaan memperoleh kepastian hukum dan perlakukan keadilan dalam penegakan hukum. Sulit dijawab , akan tetapi syahwat politik yang mengebiri hukum harus dituntaskan agar kita memberikan pelajaran yang mulia bagi generasi kedepan. Untuk itu, tuntutan reformasi birokrasi, reformasi hukum, reformasi politik dan reformasi social hendak mewujudkan  keterbukaan dan transparansi (openness dan transparency), partisipasi masyarakat (participation), tanggung gugat (accountability), supremasi hukum (rule of law), demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap (responsiveness), keefisienan dan keefektifan, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha yang adil, pengurangan pada kesenjangan ( commitment to reduce inequality), komitmen pada pasar yang adil dan komitmen pada pelaksanaan agenda Pembaruan agrarian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar