Dinamika
Politik Ke-Daerahan
Oleh : Ibang
Lukmanurdin (Pemimpin pada Pesantren Ath Thaariq Garut)
Membaca
situasi politik pembangunan di era pemerintahan pembaruan kabupaten Garut
berada dalam ambang ketidakpastian dan ketidak jelasan dengan agenda perubahan
yang diusungnya ketika sebelum terpilihan jadi pemimpin Garut di segala hal.
Bahkan tidaklah berlebihan “raport merah” atau terlihat jalan di tempat. Tentu
bacaan ini diperoleh akibat berbagai persoalan seperti, krisis moralitas,
lemahnya kepemimpinan Pemerintahan Kabupaten Garut, mandegnya reformasi
birokrasi yang ditunjukan rendahnya motivasi dan disiplin kerja dan tidak
jelasnya karir pegawai negeri sipil, rendahnya pelayanan publik, terutama di
sektor-sektor penting yang mengakibatkan rendahnya IPM Kabupaten Garut, komersialisasi jabatan yang
dilakukan oleh mafia birokrasi telah mengakibatkan rendahnya profesionalisme
kerja PNS , KKN, sampai pada tidak adanya penanganan kasus – kasus rakyat
terutama pada isyu konflik agraria dan ketimpangan agraria.
Tak lah berlebihan bila indikator good publik governance tak terlihat dari
mulai keterbukaan dan tranparansi, partisipasi, visionary, accountability,
keefektifan dan keefesienan, daya tangkap, profesionalisme dan kompetensi,
desentralisasi, komitmen pada pengurangan kesenjangan dan komitmen pada pasar
yang pro rakyat.
Potret suram
ini tentu akibat tiga pilar demokrasi, legislative, eksekutif dan
yudikatif, yang telah gagal memberikan kepastian pada warga untuk mewujudkan
keseimbangan pasar ,informasi, modal, SDM, dan tanah , modal dan keseimbangan
masyarakat (societal equilibrium) baik dalam kontek ekonomi, social, politik
dan hukum. Begitujuga tercapainya kesejahtrean sosial dalam arti societal
welfare yang bukan dalam artian relief assistance atau santunan. Karena kontek
ini Merupakan cita-cita nasional yang harus diwujudkan secara
keseluruhannya, sebagai bagian Integral dari cita-cita kemerdekaan
Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan Negara yang “ melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi titik tolak yang ditegaskan
oleh UUD 45. Sehingga doktrin kesejahteraan social Indonesia meletakkan rakyat
Indonesia dalam posisi “sentral- substansial” (bukan dalam posisi
“marginal-residual), penyelenggara Negara dalam mewujudkan penyelenggraan
ekonomi harus bertitik tolak dan berujung pada kesejahteraan, pemerataan dan
keadilan social.
Bahkan yang
luar biasa, tiga pilar itu, telah digerogoti oleh kepentingan sahwat
destruktif para pejabat pemerintah dalam melakukan perbuatan-perbuatan immoral
karena rakus berkuasa, atau loyal pada kroninya. Sehingga ruang kekuasaan
tumbuh sarang koruptor, dan konspirasi destruktif. Penyangga utama Negara
ini sudah sangat rapuh, keropos disana-sini. Tikus-tikus yang bersarang di
pilar demokrasi ini dan di institusi pemodal terus menggerogoti dan melahap
sumber daya pital : moral,uang, modal, informasi, tanah dan SDM. Dana (tanah,
uang, informasi, SDM) yang seharusnya dikelola dan dianggarkan untuk
sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, Begitupun soal modal,
tak lagi jadi pemandu yang lebih baik bagi warganya. Ini terlihat dalam
proses politik legislatif atas kasus agrarian, dan kasus lainnnya yang luar
biasa menerpa kekuasaan , kapitalisasi konspirasi jadi kekuatan yang luar biasa
sehingga putusan yang adil tak diimplementasikan. Dan yang trejadi putusan yang
melukai suara-suara rakyat yang merindukan perubahan. Padahal krisis
kepercayaan pada pejabat public itu tak diragukan. Dan potret itu merupakan
pelanggaran regulasi apapun alasannya.
Potret suram
konspirasi kekuasaan ini tentu sulit dipungkiri bila tak ada mega skandal.
Padahal “mereka” haruslah menjadi para pejuang dan pemandu yang bertugas
menegakkan hukum. Namun justru tak sedikit yang melakukan pelanggaran
hukum,dan moral yang lagi-lagi berurusan dengan duit dan kekuasaan. Ini
memberikan gambaran yang lugas bahwa di era 100 hari, politik
pembangunan, hukum yang seharusnya menjadi panglima, tetapi kenyataannya masih
jauh panggang dari api. Hukum tercabik oleh kepentingan politik .
Sehingga potret yang terjadi politisasi dan kapitalisasi hukum dan
terjadi di semua areal dari kasus hukum kecil sampai kasus hukum besar. Maka
tak salah bila potret destruktif ini disebut mafia hukum dan moral. Akibatnya
di birokrasi tumbuh para calo birokrasi (dari angaran, moral hingga jabatan)
hingga berkembang menjadi mafia birokrasi. Dan tentu yang “dimainkan” adalah
anggaran dan regulasi sehingga sempurna tumbuh para tangan-tangan makelar
anggran yang dengan leluasa mendistribusikan uang, modal, informasi, tanah dan
sdm hanya untuk kroninya semata atau jaringannya, bukan merealisasikan
(societal welfare). Dan fenomena ini disebut mafia anggran.
Kita tak
pernah memahami hingga hari ini bila “pemerintahan” masih menjadikan politik
konspirasi dan kapitalisasi sebagai panglima. Padahal dimasa orde lama hingga
orde baru, kita menyaksikan dengan mata telanjang bahwa penempatan
politik konspirasi dan kapitalisasi sebagai panglima gagal mendistrubisikan
keadilan, kesejahtreaan, pemerataan, moral di semua sektor. Berbagai aksi
yang muncul dari pusat hingga daerah merupakan wujud dari kegagalan
pemerintahan mewujudkan cita-cita konstitusi bangsa ini. Untuk itu aksi
merupakan tuntutan rakyat bagi para pejabat hendaknya bertanggung jawab secara
hukum atas kejahatan politik, moral, modal yang telah dilakukannnya. Dan
menolak argumentasi umum yang mendukung kekebalan hukum yang melindungi pejabat
dari proses hukum.Di era perubahan , rakyat berharap model pendekatan itu
berubah karena telah gagal mewujudkan mandate konstitusi bangsa ini, dan
menetapkan hukum sebagai panglima. Penegakan hukum diharapkan mempercepat
pemulihan Negara dari keterpurukan ekonomi, politik, social dan berbagai segi
kehidupan masyarakat.
Lihat di
seratus hari, kita menyaksikan politisasi yang hampir disemua bidang. Lihat
kasus moral di Kabupaten Garut. Dan kasus lainnya yang tidak pernah membongkar
akar persoalan yang terjadi. Bahkan terlihat upaya “kapitalisasi dan konspirasi
politik. Potret ini memberikan pelajaran politik tanpa hukum yang
berkeadilan maka akan tumbuh sebagai kezaliman struktural. Politik yang zalim
diekpresikan dalam gagasan, tindakan (konspirasi) yang negative,
destruktif dan tendensius. Karena politik yang zalim terbangun oleh
prilaku moral hazat, misalnya berpolitik yang tujuannnya mengeruk keuntungn
material dan menepiskan moralitas dalam mencapai kekuasaan. Maka kondisi
politik yang tidak sehat sangat menyulitkan untuk meningkatkan moralitas bangsa
dalam mencapai good governance atau pemerintah yang baik. rakyat mengalami
kegalauan jika partai yang memperoleh mandate melakukan control menjadi bagian
dari potret buruk itu. Karena efeknya sangat dahsat, berbagai pelanggran hukum
(KKN, kasus pelanggran HAM) tak tersentuh oleh hukum. Atau dengan istilah
sederhana pemerintahan beserta jaringannya mempertahankan posisi pejabat yang
melanggar hukum dan moral.
Tentu bila
kita hendak mengurut secara terperinci, di era perubahan ini banyak kasus hukum
yang dijadikan santapan politisasi dan kapitalisasi. Apalagi kasus yang
menyangkut KORUPSI yang melibatkan kaum elit di birokrasi. Lalu apakah
kita akan diam bila potret berbangsa dan bernegara menjari carut marut. Sampai
kapan politisasi dan kapitalisasi kasus-kasus hukum dan moral ditempatkan dalam
jalur yang benar. Artinya kapan tangan-tangan kotor yang menduduki kekuasaan
memperoleh kepastian hukum dan perlakukan keadilan dalam penegakan hukum. Sulit
dijawab , akan tetapi syahwat politik yang mengebiri hukum harus dituntaskan
agar kita memberikan pelajaran yang mulia bagi generasi kedepan. Untuk itu,
tuntutan reformasi birokrasi, reformasi hukum, reformasi politik dan reformasi
social hendak mewujudkan keterbukaan dan transparansi (openness dan
transparency), partisipasi masyarakat (participation), tanggung gugat
(accountability), supremasi hukum (rule of law), demokrasi, profesionalisme dan
kompetensi, daya tanggap (responsiveness), keefisienan dan keefektifan,
desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha yang adil, pengurangan pada
kesenjangan ( commitment to reduce inequality), komitmen pada pasar yang adil
dan komitmen pada pelaksanaan agenda Pembaruan agrarian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar