Oleh : Ibang Lukmanurdin
Birokrasi yang dalam bahasa Inggris bureaucracy
, berasal dari kata bereau ( berarti :meja) dan cratein
(berarti :kekuasaan) dimaksud adalah kekuasaan berada pada orang-orang yang
dibelakang meja . Menurut Bintoro Cjokroamidjodjo ( 1984 ) untuk mengorginisir
secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak. Sehingga
tujuannnya adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan
cepat dan terorganisir. Dengan demikian birokrasi memiliki tanggung jawab
secara yuridis formal tetapi juga tanggung jawab moral. Kenetralisasian
birokrasi dijelaskan dengan jelas dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-pokok Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai
dalam pemerintahan. Dalam pasal 3 Undang-Undang tersebut mengatur : 1) Pegawai
Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masya-rakat secara profesional, jujur, adil, dan
merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pem-bangunan; 2)
Dalam kedudukan dan tugas sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri
harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak
diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 3) Untuk menjamin
netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri
dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.Mengacu aturan di
atas jelas melarang keberpihakan pegawai negeri dan tuntutan sikap
profesionalisme Pegawai Negeri ditengah godaan atau paksaan untuk berpolitik praktis.
Namun demikian tetap saja terjadi pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh aparat
Pegawai Negeri ini.
Prinsip netralitas birokrasi baru
dapat tumbuh pada sistem politik yang pro kepada publik, yang meletakkan warga
negara sebagai pemilik kedaulatan. Penerapan prinsip netralitas birokrasi baru
memerlukan sistem pendukung seperti: sistem politik yang egaliter dan
responsif, elit politik dan birokrasi yang berkomitmen kepada public. Selain
itu, prinsip netralitas birokrasi baru memerlukan pendidikan politik yang massif
di segala tingkat dan sektor. Hal yang sangat penting juga adalah melakukan
pendidikan politik yang menumbuhkan semangat kebangsaan, semangat memiliki hak
dan kewajiban yang sama di mata hukum, haus kepada perubahan, meletakkan hak
dan kewajiban warga negara, birokrasi dan DPR secara berimbang dan bertanggung
jawab. Dengan begitu, prinsip netralitas birokrasi baru dapat diwujudkan dan
semua warga negara mendapat haknya untuk disejahterakan oleh negara. Birokrasi
yang bersikap netral, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara
untuk kepentingan obsesi sahwat kekuasaannya maupun partai politik tertentu.
Birokrasi modern yang ideal seperti
yang dicitrakan oleh Weber dan birokrasi yang netral seperti yang dicitrakan
oleh Hegel ternyata masih sebuah obsesi di Indonesia. Lembaga birokrasi
merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur.
Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai
(values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang
mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya.
Pada era reformasi, terbukanya
kebebasan memunculkan euphoria tidak hanya dimanfaatkan oleh
kekuatan politik namun juga dilakukan oleh birokrasi. Birokrasi tidak lagi
menempati kedudukan yang objektif, nertralitas, professional. Berbagai
permainan politik yang berkembang menjadi pelaku utama dalam menentukan. Bahkan
lebih jauh mendesain dan merekontruksi dinamika politik yang berkembang.
Regulasi, anggran, etika menjadi komoditi politik yang eksploitatif.
Kesenjangan, ketimpangan, politik dibangun dengan tangan besi. Akibatnya
kekuatan politik beserta birokrasi saling berlomba untuk mendapatkan pos-pos
strategis di lingkungan birokrasi pemerintahan. Antara politik dan birokrasi
mempunyai dua kutub yang saling tarik-menarik. birokrat membuka diri ke arena
politik, paling tidak untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi atau sekedar
untuk mempertahankan posisi jabatan yang strategis dalam jabatan birokrasi.
Selanjutnya Politisi dan birokrasi
memanfaatkan jaringan kekuasaan ke arena politik, paling tidak untuk merebut
atau mempertahankan kekuasaan politiknya.
Semangat netralitas harus dibangun
kembali karena pada prinsipnya juga merupakan bagian dari amanat
reformasi. Netralitas birokrasi merupakan hal prinsipil yang harus diwujudkan
dalam rangka mengembalikan peran birokrasi sabagai abdi negara dan masyarakat
sebagai pelayan masyarakat (public servant). Dengan terwujudnya
netralitas birokrasi maka birokrasi akan semakin profesional dalam menciptakan
pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Akhirnya masalah-masalah yang ada
dirakyat akibat salah urus dapat diminimalisasi. Namun tentu praktek itu akan
berbeda bila birokrasi menjadi pelaku politik praktis. Akan berimplikasi yang luar
biasa pada rakyat. Karena birokrasi akan ikut menjadi pelaku praktek
destruktif dalam membangun konspirasi politik yang ada akirnya kepentingan
social politik kursinya, kekuasaanya, kaum elit penguasa, pasar dan modal lebih
menonjol dibanding memenuhi hak-hak rakyat sesuai dengan konstitusi.
Mendudukan yang benar sesuai dengan
mandate kebijakan bagai birokrasi menjadi pilihan esensial dan genting.
Karena “Pegawai Negeri Sipil” yang berkedudukan sebagai unsur aparatur
negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesionai, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan dan pembangunan sangat dibutuhkan sesuai dengan makna birokrasi
secara substansi. Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud di atas, maka
Pegawai Negeri Sipil harus netral dari pengaruh semua golongan, pasar, modal,
sahwat kekuasaan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Hilangnya netralitas di irokrasi
akan berimplikasi yang sangat besar. Berbagai kasus KKN tentu sulit dipungkiri
akibat birokrasi menjadi bagian dari potret konspirasi politik yang destruktif.
Dengan menyebarya KKK tentu berbagai pelayanan public akan seketika terganggu
lebih jauh akan mengalami kebokbrokan.
Menurut Weber ada beberapa
karakteristik (ideal type) yang harus dimiliki oleh birokrasi.
Karakteristik tersebut sebagai berikut: pertama ; Pembagian kerja yakni
Adanya job descriptions yang jelas untuk setiap bawahan agar pekerjaan
dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Kedua; Hierarki kewenangan
artinya Jenjang kepangkatan yang disusun secara tegas yang mendiskripsikan
kewenangan atasan dan bawahan. Ketiga ;Formalisasi maksudnya
Aturan-aturan formal yang mengatur tatahubungan anggota organisasi. Setiap
orang dalam organisasi bekerja sesuai dengan tuntunan yang telah tersedia
sehingga pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien. Empat ; Impersonal artinyaTidak mengenal adanya hubungan
saudara, pertemanan dan perkoncoan karena pola hubungan didasarkan atas
rasionalitas.Kelima ; Penempatan pegawai berdasarkan kemampuan maksudnya
Seleksi pegawai dilakukan dengan ketat sesuai dengan kompetensinya. Bagi
pegawai yang lulus seleksi, penggunaan standar kompetensi yang ketat, keilmuwan
dan keterampilan merupakam syarat yang harus dipenuhi. Keenam;Jenjang
karier bagi pegawai maksudnya Kenaikan pangkat, pendidikan dan pelatihan bagi
pegawai untuk meningkatkan kemampuannya karena intensitas pekerjaan yang
semakin meningkat dan rumit. Ketujuh ; Kehidupan organisasi dipisahkan
dari kehidupan pribadi artinya Organisasi dijalankan tanpa terkooptasi oleh
kepentingan-kepentingan pribadi (Samadri Wibowo : ) .
Pada prinsipnya, tipe ideal
birokrasi Weber ditujukan untuk menunjang efisiensi dan efektivitas organisasi.
Di samping itu, tipe ideal Weber sejalan dengan tuntutan demokrasi. Birokrasi
adalah konsekuensi logis dari kehidupan yang demokratis yang menghendaki
objektivitas dan konsistensi kebijakan. Oleh karena itu birokrasi bersifat
impersonal.[1]
Sifat-sifat impersonal birokrasi dibutuhkan agar pelayanan yang diberikan
birokrasi kepada masyarakat memenuhi asas keadilan (equiy) dan terhindar
dari kultur partisan.Namun, pada tataran praktisnya di Indonesia tipe ideal
birokrasi Weber hanya sebatas sketsa semata. Tipe ideal birokrasi Weber tidak
ditemukan aplikasinya pada organisasi pemerintah. Bahka sebaliknya, birokrasi
dianggap sebagai simbol kelambanan, kelalaian, korupsi, tidak efisien dan
partisan,[2]
sehingga kepercayaan (trust) publik semakin hilang. (Binarto :1995)
Wilson berpendapat bahwa politik dan
administrasi harus dipisah karena keduanya memiliki tugas yang berbeda.
Pemisahan antara politik-administrasi dimaksudkan agar birokrasi publik dapat
bekerja secara profesional melayani kepentingan umum (public interest)
tanpa dibebani isu-isu politik (Wahyudi : 2005).
Pendapat Wilson diperkuat oleh Frank
J. Goodnow, menurut Goodnow ada dua fungsi yang berbeda dari pemerintah (two
distinc function of government) yaitu politik dan administrasi. Politik
menurut Goodnow, berhubungan dengan kebijakan atau berbagai masalah yang
berhubungan dengan kebijakan negara. Sedangkan administrasi, berkaitan dengan
pelaksanaan (implementasi) kebijakan tersebut. Sehingga bila politik dan
birokrasi menjadi dua sisi mata uang maka malapetaka itu akan terjadi. Karena
substansi Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan (power).
Politik merupakan sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak
lain dengan cara-cara tertantu. Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh
kekuasaan, logikanya setelah berkuasa dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia
akan menanamkan pengaruhnya kepada orang lain . Bahkan lebih jauh akan
menggunakan segala ruang-ruang yang tidak halal menjadi halal. Dan yang halal
menjadi haram. Frinsip lain yang dapat dijadikan parameter pelaksanaan
birokrasi yang baik dapat merujuk pada prinsif-prinsif Good Governancent yang
meliputi pertama ;partisipasi masyarakat(participation) . kedua
;tegaknya supremasi hukum (Rule of Law). Ketiga; keterbukaan dan
tranfaranci (openness dan transparancy). Keempat ; pro rakyat. Kelima;
berorientasi pada konsesus. Keenam ; kesetraan. Ketujuh ; efektif
dan efesien. Kedelapan ; akuntabilitas. Kesembilan; visi dan
strategis. Kesepuluh ; komitmen pada pngurangan kesenjangan. Kesebelas ;
komitmen pada pasar, tanah, modal, informasi, regulasi yang berpihak pada
rakyat. Kedua belas; desentralisasi dan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar