Oleh : Nissa Wargadipura
D
|
i Jawa Barat, daerah pedesaan di Kabupaten Garut didominasi
oleh populasi masyarakat buruh tani, baik yang tidak bertanah ataupun berlahan
sempit. Terdapat tiga masalah agraria di tingkat desa yakni hancurnya
keselamatan dan kesejahteraan rakyat, hancurnya kelangsungan pelayanan alam,
serta hancurnya produktifitas rakyat, yang diakibatkan sistem ekonomi yang
tidak berpihak pada rakyat.
Situasi hari ini petani masih sangat miskin akibat
ketimpangan struktur agraria, petani memiliki lahan yang sangat sempit sehingga
sulit mewujudkan kedaulatan pangan jika petani Indonesia masih memiliki lahan
kurang dari 0,2 ha. Masih begitu kuatnya konversi lahan untuk non pertanian,
dalam setahun lebih dari 100 ribu ha lahan pertanian beralih fungsi. Tentu hal
ini akan semakin meminggirkan dunia pertanian dari pembangunan, dan menambah
keluarga yang kelaparan di negeri ini.
Dalam menghadapi situasi diatas perempuan desa berusaha
mengatasi kelaparan dan kemiskinan dengan mengupayakan kedaulatan pangan
melalui peran sentralnya yaitu sebagai produsen dan wira usaha pertanian (dalam
arti luas), penjaga kedaulatan pangan yang mencurahkan seluruh waktunya,
pengelola pendapatan dan konsumsi rumah tangga dan masyarakat, dan pengelola
penyediaan pangan saat kondisi ekonomi sulit.
Disisi lain menelaah tantangan ekologis yang dihadapi, dimana cuaca
yang sangat ekstrim, anomaly dan tidak menentu. Pertanian berkelanjutan adalah
cara yang tepat dalam memecahkan masalah pada saat ini.
Pertanian berkelanjutan ialah suatu cara bertani yang
mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi
masyarakat pertanian. Suatu mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria (1)
keuntungan ekonomi; (2) keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat;
dan (3) konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya
pertanian berkelanjutan identik dengan pertanian organik.
Pertanian berkelanjutan bertujuan untuk memutus
ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang
mendominasi sumber daya agraria. Pertanian berkelanjutan merupakan tahapan
penting dalam menata ulang struktur agraria dan membangun sistem ekonomi
pertanian yang sinergis antara produksi dan distribusi dalam kerangka pembaruan
agraria.
Pelaksanaan pertanian berkelanjutan bersumber dari tradisi
pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam
untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan. Oleh karena itu,
diistilahkan sebagai “Pertanian Berkelanjutan berbasis masyarakat”, ini untuk
membedakannya dengan konsep pertanian organik berhaluan agribisnis. Pertanian berkelanjutan
merupakan tulang punggung bagi terwujudnya kedaulatan pangan.
Alih fungsi lahan
lahan produktif yang tak
terkendali mengakibatkan meningkatnya jumlah buruh tani. Bahkan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya warga yang tadinya bermata pencaharian petani kecil menjadi
kaum urban bekerja jadi pedagang asongan, buruh pabrik dan buruh bangunan, dll. Lebih
parah lagi para generasi muda tidak
lagi mau bertani, akibatnya lahan-lahan
yang masih dimiliki warga meskipun dengan luasan yang terbatas terjadi krisis
kaderisasi . Mareka kaum muda lebih memilih jadi pedagang asongan, buruh pabrik, buruh bangunan, dan pekerjaan lainnnya.
Pesantren Ekologi Ath Thaariq, tinggal di area pertanian
persawahan yang dari tahun ke tahun terus menurun hasilnya karena kacaunya
ekosistem yang tidak terjaga, penggunaan pestisida yang diluar batas serta
terus menurunnya lahan pertanian karena
beralih fungsi menjadi pemukiman.
Peristiwa ini sebenarnya sudah umum terjadi di seluruh
wilayah, khususnya di kabupaten Garut, umumnya di Indonesia.
Pada saat ini Indonesia sedang
menghadapi masa multi krisis yang berkelanjutan. Sistem ekonomi-politik kita
telah mengubah wajah dan kondisi lingkungan social, ekologis dan ekonomi.
Gempuran kebijakan pembangunan yang
eksesif di berbagai daerah, telah menyebabkan proses dehumanisasi, kemiskinan
dan pemiskinan, termasuk kerusakan sosial-ekologis. Rehabilitasinya rumit
karena telanjur menciptakan keterasingan di tanah sendiri.
Saat bersamaan, praktik pemberdayaan komunitas justru
mengadopsi sistem ekonomi uang yang sebenarnya membunuh secara sistematis
kekuatan komunitas itu sendiri, karena tidak dihubungkan dengan basis
produksi-konsumsi dan bahan-bahan energi pada komunitas tersebut.
Kerusakan yang berkelanjutan ini panglimanya adalah globalisasi ekonomi dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas yang
dipimpin WTO, Organisasi Perdagangan Dunia. WTO mengusung liberalisasi perdagangan yang menghancurkan sumber-sumber
perekonomian rakyat dan mengakibatkan pemiskinan. Pasar bebas yang diatur WTO menyebabkan meningkatnya angka impor
pangan Indonesia sehingga mematikan basis –
basis produksi dan konsumsi rakyat. Meningkatnya investasi asing di sektor pertanian,
perkebunan, dan pertambangan telah mengakibatkan terjadinya konflik agraria karena perampasan tanah oleh
korporasi besar hingga hilangnya akses terhadap tanah sebagai sumber
penghidupan. Globalisasi juga sengaja menghancurkan dan mengabaikan
keanekaragaman hayati, mengabaikan produksi alamiah, juga produksi yang dikelola perempuan, para petani kecil Dunia Ketiga, tak
bedanya menganggap bahwa perusakan dan
perampasan sebagai penciptaan.
Padahal perempuan adalah produsen dan
pengelola utama pangan dunia. Namun, pekerjaan mereka dalam produksi dan
pengelolaannya sekarang dihilangkan.
Latar di atas
mendorong lahirnya Pesantren Ath Thaariq, sebuah pesantren yang dijadikan sebagai
tempat perlawanan sekaligus belajar tanpa batas ruang, mendorong pemulihan kerusakan
sosial-ekologis dan ekonomi serta menghambat perusakan sosial-ekologis dan
ekonomi di ruang hidup para pelaku pelajarnya.
Pesantren ini dihuni para santri usia dini, anak anak, remaja, mahasiswa sampai
orang tua. Selain
mempelajari kitab-kitab kuning, mereka juga belajar ilmu – ilmu sosial, Hak
Asasi Manusia, demokrasi, pluralisme, kesetaraan, partisipatif, akuntabilitas,
yang juga menjadi prinsip – prinsip yang dijunjung
tinggi pesantren.
Pesantren Ekologi Ath Thaariq didedikasikan secara khusus mendidik dan mencetak santri
perempuan
menjadi pemimpin pesantren di
desanya kelak. Mereka akan mentransformasi ilmu –
ilmu yang didapat, menjadi pemimpin pesantren yang mengajak perempuan lainnya terus berproduksi
bagi keluarga dan komunitasnya. Tidak tergantung pada upaya – upaya
patriarki kapitalis. Tentu ini pekerjaan maha berat, namun
bisa dimulai lewat pekerjaan – pekerjaan teraramat
sederhana, sebuah pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan, bisa memastikan keberlangsungan
hidup dan melepaskan diri dari ketergantungan. Cita-cita di atas diwujdukan dengan menerapkan sistem “pendidikan yang membebaskan” untuk
membangun harkat dan martabat manusia ke arah lebih baik, yakni memiliki
kemandirian dan jati diri yang utuh. Mereka
mampu memecahkan berbagai problem hidup yang dihadapinya serta memiliki daya
produktifitas tinggi yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat dan
lingkungannya.
Seluruh pelaku dididik sebagai kader
yang didorong untuk pemulihan kerusakan sosial-ekologis dan ekonomi. Gerakan –
gerakan sederhana telah banyak dilakukan dari pesantren ini, pekerjaan –
pekerjaan yang dilakukan adalah pondasi terhadap penentangan gerakan melawan
globalisasi.
Perlawanan dilakukan dalam berbagai bentuk,
diantaranya : tetap memelihara budaya
lokal seperti gotong royong dan keswadayaan, sebuah gerakan yang menentang
individualisme akibat ketatnya persaingan individu, salah satu dampak dari pasar bebas.
Setiap
santri didorong bekerja keras, kreatif, inovatif, dan berpikiran
kritis terutama dibidang produksi
pertanian dan peternakan “lokal”. upaya -upaya untuk membiasakan lebih
mandiri, tidak tergantung pada produk
luar yang belum tentu bermanfaat bagi masa depan
mereka. Pesantren selalu menekankan pendidikan yang bertumpu pada sumber daya lokal.
Karena
kini di seluruh dunia teramat sangat sulit menghasilkan pangan, baik karena
perubahan iklim maupun kompetisi lahan pangan dengan berbagai kebutuhan
lainnya, atau penggunaan sumber pangan sebagai sumber energi.
Pesantren Ath Thaariq mendidik
santrinya untuk mengkonsumsi pangan beragam, tidak saja beras sebagai sumber
karbohidrat, pangan beragam, tapi juga jagung, talas, gadung,
singkong dan sukun. Indonesia sangat kaya, punya beragam jenis pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri. Tercatat ada 77 jenis karbohidrat
yang tersedia. Sementara pemerintah mengandalkan beras
dan terigu
impor.
Begitupun asupan protein dari kacang – kacangan lokal,
sayuran lokal serta buah – buahan lokal. Semua diproduksi sendiri, sebab yang lokal lebih tahan, ramah dan sehat. Kebiasaan –
kebiasaan berperilaku ramah lingkunganpun dibentuk sejak dini, melalui usaha terus
menerus seperti
menyemai pohon keras produktif, pengelolaan sampah dapur dan plastik, membuat kompos
dari lingkungan sendiri, bertanam sayuran organik, hingga tidak memakai
“pembalut” pabrik.
Pesantren Ath Thaariq menjadi bagian sebuah gerakan untuk “melokalisasi
diri”, sebuah ungkapan perlawanan, yang mengupayakan semua dilakukan dan
dipenuhi di dalam area pesantren sendiri, mulai kebutuhan makan, minum, kecuali yang tidak bisa
dibuat sendiri.
Konsep alam sangat kental pada
pesantren kami, sebuah model pendidikan yang berusaha mengembangkan pendidikan
secara alami, belajar dari semua makhluk yang ada di alam semesta. Alam
dijadikan ruang belajar, sebagai media dan
bahan ajar, dan sebagai objek pembelajaran.
Metode pendidikan yang diterapkan pesantren,
selalu melalui metode – metode yang mudah, dari mulai permainan, diskusi yang
menyenangkan, pembahasan kitab kuning dan pelajaran Al’Quran yang tidak
memberatkan, santai namun padat berisi.
Ini sangat berbeda dengan
pendidikan modern saat ini, yang
sangat sangat
diskriminatif, kapitalistik serta memecah-belah masyarakat.
Pendidikan yang diterapkan berusaha
mengajarkan berbagi pada
sesama, bersikap
sportif, melalui proses, jika ingin sukses harus berjalan mulai bawah setelah
itu baru merasakan hasil
kerja keras. Anak-anak akan
berpikir kreatif terhadap hal-hal yang ada disekelilingnya , sehingga kelak menjadi manusia
dewasa yang kreatif dalam jiwa yang positif, ini adalah
“nilai” dari kegiatan kami bagi kehidupan dan lingkungan.
Pesantren Ekologi Ath Thaariq adalah sebuah lembaga
pendidikan yang bergerak pada pembelajaran siswa bagaimana supaya bisa survive, baik itu dalam masa belajar maupun setelah selesai
belajar. Semua pembelajaran difokuskan pada pembelajaran melayani diri sendiri serta melayani alam, adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kurikulum
belajar pesantren.
Lebih dari itu belajar bagaimana mengolah
pertanian/kebun dengan menggunakan benih warisan atau heirloom dan Open Pollinated Organic Seed. Seluruh system pengelolaan benih ini berbasiskan
pengetahuan ekologi, yang sangat mempertimbangkan keterjagaan ekosistem sebagai bentuk ketundukan kita kepada alam
semesta. Lebih luas mengandung arti sebuah pendidikan yang berbasis Agro Ekologi yaitu pendidikan yang
mengenalkan kepada lingkungan pada pentingnya menanam tanpa merusak ekosistem, menjaga
habitat, merawat, memanen, dan memasarkan dengan harga yang adil
bahkan melakukan penelitian dan menjadi inventor, sehingga kelak siswa akan
tumbuh menjadi pribadi yang berpandangan pada penyelamatan dan kepedulian
pada manusia, bumi dan masa depan.
Pada
saat ini area belajar Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut (7.500m2) sedang
memasuki tahap menciptakan perlindungan bagi burung, kupu-kupu, serangga dan
mikroorganisme di tanah melalui penyelamatan lebih dari 200 benih dan pohon.
Disini, alam dengan segala keragaman dan dinamismenya adalah guru tertinggi.
Aktivitas
utama dari Pesantren Ath Thaariq adalah : Mengembangkan Heirloom/Open
Pollinated Organik Seed, melalui pengembangan system menanam, memelihara,
memanen, mengolah pasca panen, mengemas dan memasarkan dalam bentuk hasil
produksi:
1.
Mengembangkan 45 jenis benih local (Open Pollinated Organic
Seed), melalui pengelolaan kebun Seed Saving Area, dan mampu dikonsumsi oleh
komunitas sebagai keragaman pangan yang bernutrisi
2.
Mengembangkan dan mengkonsumsi sendiri tanaman Pisang, Ganyong,
Garut dan Talas sebagai Karbohidrat Non Beras untuk dikonsumsi
sendiri sebagai pengganti karbohidrat beras serta menjadi
tepung tepungan (dikonsumsi serta dijual) yang dikelola
langsung secara terbuka oleh komunitas dengan pembagian hasil yang adil, diolah
dengan berpedoman pada Nol Emisi Karbon, dikeringkan oleh sinar matahari
langsung di Rumah Pengeringan.
3.
Mengembangkan 15 jenis Teh Herbal, yang didapatkan dari
hasil menanam di kebun pekarangan sekolah, yang dikelola secara terbuka oleh
siswa dengan pembagian hasil yang adil, dikeringkan oleh sinar matahari
langsung di Rumah Pengeringan.
4.
Membuat berbagai pupuk organic untuk merehabilitasi tanah
dengan cepat, mulai pembuatan dari Kompos Cacing, Pupuk Organik Cair, serta berbagai Micro Organisme Lokal (Zat Perangsang : Akar,
batang, daun, bunga dan buah) .
--------Semoga Bermanfaat----------
[1] Penulis adalah Pemimpin pada Pesantren Ekologi Ath
Thaariq, RT/RW 04/12 Kelurahan Sukagalih Tarogong Kidul Garut 44151, Kontak
081222302024, Web : pesantrenekologi.blogspot.com. FB : Nissa Wargadipura. Tulisan
dibuat untuk diskusi
panel pada 21 Mei 2015 dalam Konperensi
Perserikatan Solidaritas Perempuan dengan tema “Membangun Gerakan Perempuan Indonesia
Menghadapi Penetrasi Budaya Globalisasi Dan Mencari Model Alternatif
Pembangunan Berkelanjutan”, di Yogyakarta.
Sukses selalu Teh Nissa. Saya berharap sutu saat bisa belajar disini, sekaligus berbagi pengalaman yang saya punya.
BalasHapus