Selasa, 19 Mei 2015

Refleksi Gerakan Buruh (May Day 2015)


Oleh : Ibang Lukmanurdin

Dalam catatan sejarah, bergolaknya gerakan serikat buruh tentu dimulai dari lahir dan menguatnya era gerakan kapitalisme. Dan kelahirannya tentu sangat cukup beralasan karena bertolak dari kepentingan langsung untuk pemeuhan dan perbaikan syarat-syarat hak-hak dasar ekonomi, social dan politik kehidupan klas ploletar. Klas ploletar menyatukan eksploitasi, ketertindasan dan harapan-harapannnya melalui serikat –serikat buruh bersamaan dengan menguatnya gerakan-gerakan kapitalisme global. Tentu kepentingan penyatuan diri itu karena kaum buruh menghadapi kekuatan-kekuatan yang sangat  besar dan sangat unggul (globalisasi). Akibatnya serikat-serikat buruh yang baru saja muncul menghadapi tindakan-tindakan refresif para majikan- majikan kaum buruh (pemodal/mandar).
Sisi lain bukanlah hal yang baru, bahwa dalam masyarakat kapitalis lembaga kekuasaan dikerahkan un tuk menghentikan, dan memenjarakan aksi-aksi kaum buruh yang mulai terorganisir dengan baik oleh para penggiat kesadaran idiologi yang progresif dan revolusioner. Penanganan ini tentu pada umumnya berlatar belakang kehawatiran bahwa gerakan serikat buruh akan melahirkan gerakan perjuangan yang lebih massif, refolusioner dan membumi. Semua itu dilakukan untuk mendudukn idiologi neo liberalism yang sering melakukan eksploitasi dan diskriminasi. Menurut Georgi Dimitrov tugas-tugas serikat buruh yakni membebaskan manusia dari eksploitasi kaum borjuasi.

Seiring dengan perkembangan kekuatan kapitalis, gerakan-gerakan serikat buruh menghadap tantangan yang cukup berat melawan neoimperialisme dan globalisasi, berbagai potret destruktif dari gerakan buruh di bangun dan disebarkan begitupun pembusukan gerakan klas ini di rancang agar tak berkembang, dari tuduhan yang sangat sederhana hingga yang menyeramkan. Hal-hal lain meskipun ada perundingan perundingan yang berjalan hanya  berupa formalitas yang hasilnya sering tidak membri angin segara pada tuntutan kaum buruh. Dan proses perundingan itu memberikan kemenangan bagi kaum kapitalisme. Dan kemenagan buruh hanya sifatnya normative yang tak bisa menghnetikan kekuatan energy kapaitalis dalam menguasai alat-alat produksi kapitalis.
Masa orde baru
Selama orde baru sebagai upaya penipun terhadap adanya pengisapan, perbudakan dan marjinalisasi terhadap kaum buruh hubungan damai itu dipulas dengan rumusan hubungan perubahan pancasila. Kaum buruh berkentingan mendukung para majikan. Sementara hak-hak buruh diabaikan. Dengan bekerja lebih produktif maka kaum buruh dimungkinkan akan memperoleh pendapatan yang lebih besar. Dan para majikan dianjurkan untuk memandang kaumburuh sebagai mitra dalam produksi barang dan jasa. Namun bila kutbah itu gagal menundukan kaum buruh dan melahirkan kompromi dalam prundingan maka para majikan menggunakan segala cara guna menghentikan gelora tuntutan kaum buruh akan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan politik mereka. Seperti pemecatan, kriminalisasi, stigmatisasi dan refresif. Lebih jauh regulasi yang dibuat tentu hanya memperkuat dan menjamin keberlangsungan kekuatan para majikan.
Belajar dari negeri orang
Perjuangan kaum buruh tentu bukanlah perjuangan sederhana. Ia aalah gerakan yang refresentatif dalam mempertahankan, mendudukan dan merebut hak-hak penting dari kaum buruh. Sehingga keberadaannnya harus dibaca sebagai gerakan strategis dan idiologis. Berbagai dokumentasi yang telah beredar bagaimana gerakan-gerakan buruh independen yang revolusioner yang telah mengorbitkan para pemimpinnnya menjadi kepala Negara seperti di Brazil ( Luiz Tinacio dasilpa/Lula) yang pada mulanya ia seorang pemimpin Partido Trabalista, partai buruh di Brazil. Dia sendiri adalah seorang buruh industry besi. Begitupun presiden Venezuela Hugo Chaves yang lahir dari gerakan buruh yang revolusioner di mexico.
Indonesia dan transisi
Tumbangnya orde baru yang diselimuti krisis multi dimensi, menjadi harapan baru bagi rakyat yang selama 32 tahun mengalami ketidak adilan ekonomi, hukum dan politik.begitupun kaum buruh yang selama puluhan tahun yang hanya sebagai pelayan-pelayan kaum kapitalis mulai menata kembali kesadaran dan kepercayaan dirinya. Sehinga perubahan ruang politik ini menjadi catatan penting tumbuhnya gerakan-gerakan buruh yang lebih massif, revolusioner untuk bangkit melakukan berbagai perlawanan dan perjuangan secara idiologi mengisi ruang masa transisi.
Disisi lain dimasa transisi dengan membanjirnya kaum investor  dapat dicatat berbagai dampak negatif dari meningkatnya investasi ke wilayah eksploitasi diantaranya: pertama, hilangnya peran negara dalam pengaturan kekayaan . Kedua, melemahnya pera negara dalam memberi perlindungan kepada rakyat dan atau para buruh yang mengalami dampak langsung dari eksploitasi itu. Ketiga, meningkatnya kekuasaan pemerintah dalam mempromosikan kepentingan dan melindungi perusahaan-perusaan transnasional. Keempat, meningkatnya pelanggaran HAM kepada warga yang hidup di sekitar lokasi proyek maupun sebagai para pekerja/buruh. Kelima,meningkatnya masalah lingkungan, seperti kesehatan, berkurangnya sumber air bersih, degradasi tanah akibat limbah industri, . Keenam, ketidak jelasan dan minimnya royalti yang diterima para buruh, selain bertambahnya kemiskinan dan lahirnya ketidakadilan. Ketujuh, menyempitnya lahan-lahan produktif berubah menjadi kawasan industri.
Menuerut Dedi (1995) terpuruknya kondisi buruh ada berbagai sebab yang bisa kita duga sebagai factor yang mempengaruhi terciptanya itu. Pertama, sruktur pasar tenaga kerja kita memang diwarnai adanya  ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran. Kedua terjadinya perubahan strategi industrialisasi dan kebijakan perburuhan. Ketiga, pengethauan dan dan kesadaran buruh tentang undang-undang dan peraturan ketenaagkerjaan masih lemah. Akibatnya masih kuat kekuatan pengusaha untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Keempat,kekuatan internasional belum bisa dimanfaatkan. Untuk itu, buruh hanya dijadikan modal dan bahan bahar industri.
Gerakan-gerakan buruh revolusioner yang independen tak lain sebagai investasi amal sholeh untuk menumbuhkan kepemimpinan yang populis guna melahirkan masyarakat dambaan. Namun tentu hingga kini potret gerakan perjuangan kaum buruh yang revolusioner sampai hari ini belum terlihat. Kalaupun ada belum terlihat gerakan social yang idiologis, militansi, masif dan matang secara politik. Masih hidup dalam kubangan gerakan yang konservatif. Tentu potret ini harus menjadi bahan perdebatan yang lebih terbuka bahkan harus melahirkan lontaran-lontaran kritik atas gerakan kaum buruh, karena stgnasinya ketimpangan gerakan buruh akan melhirkan kekuatan kapitalis yang leih besar, mengakar, melahirkan dan memperkuat gerakan neo imperialism. Untuk itu, untuk mendudukan gerakan neo kapitalis yang otoriter maka gerakan koalisi kebaikan dari kalangan NGO, mahasiswa, partai Politik, Intelektual  menginvestasikan seluruh pengetahuan dan keterampilannnya bagi kematanagn dan penguatan idiologi gerakan yang membaca kritis terhadap issue globalisasi, neoliberalisasi, utang, lebaga keuangan internasional, regulasi, pasar, modal dan Negara. Karena investasi gerakan-gerakan ini akan membangun tatanan dunia yang lebih manusiawi dengan menekankan pada kesejahteraan dan pemenuhan HAM. Maka agar malapetaka itu tak hidup, ada beberapa catatan penting. Pertama, menetapkan  paradigma yang akan dibangun dalam penyempurnaan UU itu harus bertolah dari (mensyaratkan) penekanan pada penghormatan, pemenuhan dan perlindungan Hak-hak buruh. Kedua, mendefinisikan ulang makna para buruh (ketenagakerjaan), ketiga, upaya dorongan pragmatis mulai ditinggalkan seperti dengan alasan pertumbuhan ekonomi, merangsang kaum investor, dan istilah lain. Keempat, pelibatan semua serikat buruh melalui keterwakilan, kelima di rancang konsultasi publik yang setiap para buruh memahami  falsafah yang mendasarinya. Dan bila kelima ini tak dijalankan, tentu protes-protes kaum buruh akan terus hidup. Keenam, membangun jaringan, koalisi dan  kesadaran pentingnya industri kerakyatan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar