Oleh : Ibang Lukmanurdin
Dalam catatan sejarah, bergolaknya
gerakan serikat buruh tentu dimulai dari lahir dan menguatnya era gerakan
kapitalisme. Dan kelahirannya tentu sangat cukup beralasan karena bertolak dari
kepentingan langsung untuk pemeuhan dan perbaikan syarat-syarat hak-hak dasar
ekonomi, social dan politik kehidupan klas ploletar. Klas ploletar menyatukan
eksploitasi, ketertindasan dan harapan-harapannnya melalui serikat –serikat
buruh bersamaan dengan menguatnya gerakan-gerakan kapitalisme global. Tentu
kepentingan penyatuan diri itu karena kaum buruh menghadapi kekuatan-kekuatan
yang sangat besar dan sangat unggul (globalisasi). Akibatnya
serikat-serikat buruh yang baru saja muncul menghadapi tindakan-tindakan
refresif para majikan- majikan kaum buruh (pemodal/mandar).
Sisi lain bukanlah hal yang baru,
bahwa dalam masyarakat kapitalis lembaga kekuasaan dikerahkan un tuk
menghentikan, dan memenjarakan aksi-aksi kaum buruh yang mulai terorganisir
dengan baik oleh para penggiat kesadaran idiologi yang progresif dan
revolusioner. Penanganan ini tentu pada umumnya berlatar belakang kehawatiran
bahwa gerakan serikat buruh akan melahirkan gerakan perjuangan yang lebih
massif, refolusioner dan membumi. Semua itu dilakukan untuk mendudukn idiologi
neo liberalism yang sering melakukan eksploitasi dan diskriminasi. Menurut
Georgi Dimitrov tugas-tugas serikat buruh yakni membebaskan manusia dari
eksploitasi kaum borjuasi.
Seiring dengan perkembangan kekuatan
kapitalis, gerakan-gerakan serikat buruh menghadap tantangan yang cukup berat
melawan neoimperialisme dan globalisasi, berbagai potret destruktif dari
gerakan buruh di bangun dan disebarkan begitupun pembusukan gerakan klas ini di
rancang agar tak berkembang, dari tuduhan yang sangat sederhana hingga yang
menyeramkan. Hal-hal lain meskipun ada perundingan perundingan yang berjalan
hanya berupa formalitas yang hasilnya sering tidak membri angin segara
pada tuntutan kaum buruh. Dan proses perundingan itu memberikan kemenangan bagi
kaum kapitalisme. Dan kemenagan buruh hanya sifatnya normative yang tak bisa
menghnetikan kekuatan energy kapaitalis dalam menguasai alat-alat produksi
kapitalis.
Masa orde baru
Selama orde baru sebagai upaya
penipun terhadap adanya pengisapan, perbudakan dan marjinalisasi terhadap kaum
buruh hubungan damai itu dipulas dengan rumusan hubungan perubahan pancasila.
Kaum buruh berkentingan mendukung para majikan. Sementara hak-hak buruh
diabaikan. Dengan bekerja lebih produktif maka kaum buruh dimungkinkan akan
memperoleh pendapatan yang lebih besar. Dan para majikan dianjurkan untuk
memandang kaumburuh sebagai mitra dalam produksi barang dan jasa. Namun bila
kutbah itu gagal menundukan kaum buruh dan melahirkan kompromi dalam prundingan
maka para majikan menggunakan segala cara guna menghentikan gelora tuntutan
kaum buruh akan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan politik mereka. Seperti
pemecatan, kriminalisasi, stigmatisasi dan refresif. Lebih jauh regulasi yang
dibuat tentu hanya memperkuat dan menjamin keberlangsungan kekuatan para
majikan.
Belajar dari negeri orang
Perjuangan kaum buruh tentu bukanlah
perjuangan sederhana. Ia aalah gerakan yang refresentatif dalam mempertahankan,
mendudukan dan merebut hak-hak penting dari kaum buruh. Sehingga keberadaannnya
harus dibaca sebagai gerakan strategis dan idiologis. Berbagai dokumentasi yang
telah beredar bagaimana gerakan-gerakan buruh independen yang revolusioner yang
telah mengorbitkan para pemimpinnnya menjadi kepala Negara seperti di Brazil (
Luiz Tinacio dasilpa/Lula) yang pada mulanya ia seorang pemimpin Partido
Trabalista, partai buruh di Brazil. Dia sendiri adalah seorang buruh industry
besi. Begitupun presiden Venezuela Hugo Chaves yang lahir dari gerakan buruh
yang revolusioner di mexico.
Indonesia dan transisi
Tumbangnya orde baru yang diselimuti
krisis multi dimensi, menjadi harapan baru bagi rakyat yang selama 32 tahun
mengalami ketidak adilan ekonomi, hukum dan politik.begitupun kaum buruh yang
selama puluhan tahun yang hanya sebagai pelayan-pelayan kaum kapitalis mulai
menata kembali kesadaran dan kepercayaan dirinya. Sehinga perubahan ruang
politik ini menjadi catatan penting tumbuhnya gerakan-gerakan buruh yang lebih
massif, revolusioner untuk bangkit melakukan berbagai perlawanan dan perjuangan
secara idiologi mengisi ruang masa transisi.
Disisi lain dimasa transisi dengan membanjirnya kaum investor dapat
dicatat berbagai dampak negatif dari meningkatnya investasi ke wilayah
eksploitasi diantaranya: pertama, hilangnya peran negara dalam
pengaturan kekayaan . Kedua, melemahnya pera negara dalam memberi
perlindungan kepada rakyat dan atau para buruh yang mengalami dampak langsung
dari eksploitasi itu. Ketiga, meningkatnya kekuasaan pemerintah dalam
mempromosikan kepentingan dan melindungi perusahaan-perusaan transnasional. Keempat,
meningkatnya pelanggaran HAM kepada warga yang hidup di sekitar lokasi proyek
maupun sebagai para pekerja/buruh. Kelima,meningkatnya masalah
lingkungan, seperti kesehatan, berkurangnya sumber air bersih, degradasi tanah
akibat limbah industri, . Keenam, ketidak jelasan dan minimnya royalti
yang diterima para buruh, selain bertambahnya kemiskinan dan lahirnya
ketidakadilan. Ketujuh, menyempitnya lahan-lahan produktif berubah menjadi
kawasan industri.
Menuerut Dedi (1995) terpuruknya kondisi buruh ada berbagai sebab yang bisa
kita duga sebagai factor yang mempengaruhi terciptanya itu. Pertama,
sruktur pasar tenaga kerja kita memang diwarnai adanya ketidak seimbangan
antara permintaan dan penawaran. Kedua terjadinya perubahan strategi
industrialisasi dan kebijakan perburuhan. Ketiga, pengethauan dan dan
kesadaran buruh tentang undang-undang dan peraturan ketenaagkerjaan masih
lemah. Akibatnya masih kuat kekuatan pengusaha untuk meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya. Keempat,kekuatan internasional belum bisa dimanfaatkan.
Untuk itu, buruh hanya dijadikan modal dan bahan bahar industri.
Gerakan-gerakan buruh revolusioner
yang independen tak lain sebagai investasi amal sholeh untuk menumbuhkan
kepemimpinan yang populis guna melahirkan masyarakat dambaan. Namun tentu
hingga kini potret gerakan perjuangan kaum buruh yang revolusioner sampai hari
ini belum terlihat. Kalaupun ada belum terlihat gerakan social yang idiologis,
militansi, masif dan matang secara politik. Masih hidup dalam kubangan gerakan
yang konservatif. Tentu potret ini harus menjadi bahan perdebatan yang lebih
terbuka bahkan harus melahirkan lontaran-lontaran kritik atas gerakan kaum
buruh, karena stgnasinya ketimpangan gerakan buruh akan melhirkan kekuatan
kapitalis yang leih besar, mengakar, melahirkan dan memperkuat gerakan neo
imperialism. Untuk itu, untuk mendudukan gerakan neo kapitalis yang otoriter
maka gerakan koalisi kebaikan dari kalangan NGO, mahasiswa, partai Politik,
Intelektual menginvestasikan seluruh pengetahuan dan keterampilannnya bagi
kematanagn dan penguatan idiologi gerakan yang membaca kritis terhadap issue
globalisasi, neoliberalisasi, utang, lebaga keuangan internasional, regulasi,
pasar, modal dan Negara. Karena investasi gerakan-gerakan ini akan membangun
tatanan dunia yang lebih manusiawi dengan menekankan pada kesejahteraan dan
pemenuhan HAM. Maka agar malapetaka itu tak hidup, ada beberapa catatan penting. Pertama,
menetapkan paradigma yang akan dibangun dalam penyempurnaan UU itu harus
bertolah dari (mensyaratkan) penekanan pada penghormatan, pemenuhan dan
perlindungan Hak-hak buruh. Kedua, mendefinisikan ulang makna para buruh
(ketenagakerjaan), ketiga, upaya dorongan pragmatis mulai ditinggalkan
seperti dengan alasan pertumbuhan ekonomi, merangsang kaum investor, dan istilah
lain. Keempat, pelibatan semua serikat buruh melalui keterwakilan, kelima
di rancang konsultasi publik yang setiap para buruh memahami falsafah
yang mendasarinya. Dan bila kelima ini tak dijalankan, tentu protes-protes kaum
buruh akan terus hidup. Keenam, membangun jaringan, koalisi dan kesadaran
pentingnya industri kerakyatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar