RENCANA
STRATEGIS PESANTREN ATHTHAARIQ
PERIODE
2015-2019
PROGRAM PENGEMBANGAN PENGUATAN
KAPASITAS ADVOKASI PESANTREN
PENGANTAR
Sulit dipungkiri runtuhnya rezim otoritarian dan berhembusnya angin
reformasi sejak pertengahan tahun 1998 lalu, dan disusul oleh krisis
multidimensional yang melanda seluruh negeri, telah membuka ruang bagi para
pelaku pembelaan hak-hak rakyat, kelompok-kelompok marjinal, korban pelanggaran
HAM, hak-hak lingkungan, dan yang sejenis itu, untuk memikir ulang hal-hal yang
berkaitan dengan persoalan yang dialami bangsa ini.
Tak luput peranan pesantrenpun mulai diperdebatkan oleh para pemerhati
social beserta warganya. Selama bertahun-tahun pesantren seringkali memberikan
perhatiannya hanya pada persoalan ibadah-ibadah vertical, sementara
ibadah-ibadah horizontal sering terabaikannya.
Adapun ibadah social (horizontal) hanya dijadikan media yang efektif bagi
penguasa otoriter untuk mengendalikan warganya. Bahkan kepemimpinan kiyai yang
karismatik telah terbukti dimanfaatkan dalam mempercepat proses pembangunan
yang kapitalis. Sehingga berbagai pesan-pesan dari penguasa seringkali cukup
efektif sampai ke setiap warga. Padahal pesantren dapat memberikan sumbangan
yang sangat berharga untuk menyebarkan agenda-agenda demokrasi.
Namun disisi lain berbagai peristiwa konflik social sering di konotasikan
bersumber dari agama, padahal setiap agama tidak menimbulkan konflik. Hal ini
berkenaan setiap agama, justru menganjurkan perdamaian dan menyebarkan gagasan
kemanusiaan. Tentu bila adanya beberapa gerakan yang memakai nama agama
merupakan kekeliruan besar. Bahkan lebih jauh lagi agama mengantarkan para
pemeluknya untuk berdampingan secara damai dan toleran.
Disisi lain sulit dipungkiri, pengetahuan dan keterampilan advokasi selama
ini hanya dimiliki kaum NGO, tanpa mengalir menjadi pengatahuan yang dimiliki
oleh kalangan kaum pesantren. Padahal Advokasi telah menjadi kata penting
pada setiap usaha untuk memperkuat ataupun mendampingi rakyat. Saat ini, bahkan
advokasi telah secara luas dipergunakan sebagai suatu “menu tambahan” yang
harus ditambahkan pada berbagai usaha pemberdayaan rakyat. Ironisnya, advokasi
yang dulunya kata yang berkonotasi “pembelaan” dari kelompok korban, juga
telah dipergunakan oleh kelompok birokrat pemerintah untuk kepentingan
memperkokoh kebijakan dalam mengatur rakyat sesuai dengan kepentingan penguasa
atau pengusaha. Pendek kata, advokasi saat ini telah menjadi “proyek” berbagai
kalangan sebagai alat untuk menghadapi masalah yang disebabkan oleh suatu
kebijakan publik, terlepas dari sisi keberpihakan dan kepentingan membela atau
melindungi hak-hak rakyat.
Saat ini Indonesia berada pada era
transisi yang dipenuhi oleh demokratisasi di segala bidang, termasuk dalam
pembuatan kebijakan publik. Satu kecenderungan yang berkait erat dengan
upaya-upaya advokasi adalah otonomi daerah yang pada pokoknya adalah perubahan
susunan kewenangan antara pemerintahan pusat, pemerintah daerah dan
desa. Dengan otonomi daerah, ada kehendak mendekatkan jarak
geo-politik antara rakyat dengan pembuat kebijakan publik sehingga diharapkan
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup
rakyat. Lebih jauh lagi, diharapkan semakin terbuka akses rakyat dalam
pembuatan kebijakan dan isi kebijakan yang melindungi, memenuhi dan memajukan
hak-hak asasi manusia. Praktek otonomi daerah itu dapat saja mengkhianati misi
utamanya jika rakyat sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk secara kolektif
ikut campur dalam penentuan kebijakan yang menyangkut nasib mereka. Untuk itu,
advokasi sebagai strategi yang memihak pada rakyat akan semakin relevan di masa
mendatang. Dan pengetahuan dan keterampilan advokasi harus menjadi
pengetahuan yang dimiliki dan melibatkan kaum pesantren.
Sejak tahun 1999 lalu, Pesantren Ath
Thaariq dengan kontinyuitas yang cukup tinggi, mengadakan pertemuan yang
dihadiri oleh para pimpinan dan jemaat pesantren yang berada dilingkungan /
wilayah Serikat Petani Pasundan, membahas advokasi gerakan kultur sebagai
gerakan alternatif dalam masyarakat Indonesia yang pluralisme. Tentu pilihan
ini mengingat perkembangan dunia yang semakin dominan dikuasai oleh
ketidakadilan . Padahal tranformasi yang dikehendaki Islam meletakkan proporsi
yang sebenarnya, baik manusia, masyarakat, moral, kejujuran pemerataan dan
keadilan. Dan pertemuan demi pertemuan mulai mencari bentuk-bentuk dan
strategi-strategi baru untuk menghadapi situasi sosial, politik, dan ekonomi
yang berubah itu. Termasuk untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang
muncul sebagai konsekwensi logis proses globalisasi yang memantap di satu pihak
dan desakan desentralisasi yang juga menguat di pihak lain.
Tentu perubahan yang terjadi tak
bisa dibiarkan dan di anggap sepele. Sehingga tantangan itu menyeret keberadaan
pesantren untuk ikut aktif melibatkan diri pada tantangan-tantangan baru.
Dari persolan itu di peroleh
beberapa kebutuhan penting bagi keberadaan pesantren. Untuk
memperoleh penyusunan kebutuhan yang dibutuhkan pesantren
ditempuh melalui serangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak. Khususnya
para pelaku aktivitas advokasi itu sendiri dikalangan pesantren.
Aktivitas-aktivitas dimaksud meliputi: (a) lokakarya yang dilakukan di
pesantren-pesantren yang terlibat; (b) menganalisa kekuatan dan kelemahan model
pelatihan advokasi selama ini yang dilakukan oleh pihak pesantren; (c)
melakukan kunjungan belajar ke lembaga-lembaga yang berkompeten dan
berpengalaman di bidang advokasi . Ketiga aktivitas pokok ini disertai pula
dengan sejumlah pertemuan-pertemuan refleksi para pelaku advokasi, seperti (a)
serangkaian lokakarya yang dilakukan di Pesantren Lokakarya yang
diselenggarakan di Pesantren itu menghasilkan beberapa kesimpulan
pokok. Baik yang berkaitan dengan model atau pola advokasi di pesantren
masa lalu maupun masa depan; kebutuhan-kebutuhan untuk pengembangan
kapasitas para pelaku advokasi; maupun sistem pendukung yang diperlukan agar
program pengembangan kapasitas dimaksud dapat terwujud, sebagaimana yang akan
diuraikan dalam bagian berikut.
HASIL POKOK LOKAKARYA DI
PESANTREN
A. Model/Pola
Advokasi di Pesantren
Lokakarya
ini, menelusuri model/pola advokasi di setiap pesantren masa lalu adalah
sebagai “serangkaian aktivitas pembelaan dan/atau memperjuangkan kepentingan
golongan/kelompok/sekelompok orang berada di sekitar pesantren. Sementara
persoalan yang terjadi dikalangan rakyat kecil atau di-marjinalisasikan dalam
relasi-relasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada sekarang ini tak
pernah di sentuhnya. Termasuk di dalamnya relasi-relasi jender, kelas sosial,
kemiskinan, konsumen-produsen, penguasa dengan yang dikuasai,civil society,
demokrasi, HAM, God Governance dan berbagai bentuk hubungan sosial asimetri
(tidak berimbang, tidak setara) lainnya. Bahkan dipertemuan itu ditemukan
trauma politik yang akut dialami oleh pesantren. Dan trauma politik itu dialami
semenjak berdirinya orde baru. Berbagai pelarangan bagi pesantren dikontruksi
oleh penguasa. Akibatnya pesantren lemah menyikapi persoalan social.
Adapun
nilai-nilai dasar yang dianut dalam menjalankan berbagai aktivitas pembelaan
itu kedepan adalah: “menegakkan keadilan, menyebarkan gagasan gender, HAM,
pemahaman Pluralisme, menyebarkan siar gerakan Islam kultur, memerangi
ketidakadilan dan anti demokratisasi”.
Lokakarya
Pesantren Ath thaariq , menyepakati pula bahwa, di masa-masa yang akan datang,
kegiatan advokasi harus dilakukan oleh pesantren beserta kelompok-kelompok
masyakarat yang ingin memperjuangkan hak-haknya yang dizalimi itu sendiri.
Karenanya kegiatan advokasi haruslah berbasis pada membangun
organisasi-organisasi rakyat. Menyebarkan pemahaman pluralisme, demokratisasi,
HAM, Gender.
Untuk mencapai tujuannya maka
strategi dasar advokasi masa depan adalah berorientasi pada kajian
kebijakan dan penataan ulang sistem pengelolaan dan/atau pengurusan hidup
bersama, baik yang bekaitan dengan kepentingan para pihak secara harizontal maupun
vertikal, yang berpihak pada upaya-upaya untuk pemenuhan syarat-syarat
(1) keterjagaan keselamatan hidup rakyat; (2) keberlanjutan pelayanan alam, (3)
keberlangsungan peningkatan produktifitas rakyat, melalui serangkaian penataan
ulang hal-hal yang berkaitan dengan (1) tata kuasa (politik, ekonomi, gender,
dan lain sebagainya); (2) tata guna sumber-sumber kehidupan rakyat; (3) tata
produksi; (3) tata konsumsi; dan (4) berbagai sistem pengaturan hidup bersama
yang relevan dan dianggap penting oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
bersangkutan.
Dalam mengupayakan berbagai hal
tersebut di atas, disepakati pula bahwa, kegiatan-kegiatan
mendekonstruksi dan merekonstruksi berbagai kebijakan publik (content of law);
sistem birokrasi (structure of law); merubah perilaku pejabat publik
maupun aparat birokrasi lain pada umumnya (culture of law), dan
membangun atau merubah opini publik, merupakan kegiatan-kegiatan yang penting
dilakukan pula. Termasuk mengembangkan kapasitas para pelaku dalam
menjalankannya disebut pula sebagai Program Pengembangan Kapasitas Advokasi
Partisipatif atau Support Program for Participatory Advocacy Capacity .
Lokakarya Pesantren Ath Thaariq , juga telah menetapkan prinsip-prinsip
yang harus dianut baik dalam melaksanakan advokasi maupun dalam rangka
pengembangan kapasitas para pelaku. Telah pula ditetapkan serangkaian kebutuhan
program penguatan kapasitas untuk para pelaku[1].
B. Tujuan
Program
Program ini memang dapat dimaknakan sebagai suatu upaya memberikan tempat
(kembali) pada kelompok/kelas yang tidak mendapat tempat (underrepresented
groups/classes) kalangan Pesantren dalam keterlibatnya dengan
persoalan social, dan persoalan lain seperti pembentukan kebijakan pemerintahan
dalam konteks Indonesia yang sedang berubah ini.
Program 3 (tiga) tahun ini bertujuan umum untuk menguatkan lingkar-lingkar
gerakan pesantren di daerah melalui pengembangan advocacy based knowledge dan
knowledge based advocacy.
Adapun tujuan khususnya adalah untuk:
1.
Membangun jaringan pengetahuan antar pelaku di lingkar-lingkar gerakan
pesantren yang melakukan advokasi;
2.
Meningkatkan kompetensi advokasi individu/kelompok/organisasi yang menjadi
motor penggerak dari lingkaran–lingkaran gerakan pesantren;
3.
Memprakarsai bentuk-bentuk kreatif dari collective actions yang
dapat meningkatan efektifitas advokasi dari lingkar-lingkar gerakan pesantren;
dan
4.
Meningkatkan efektifitas layanan kelembagaan advocacy learning centers untuk
lingkar-lingkar gerakan pesantren.
C. Cara Mencapai Tujuan
Untuk mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan itu, suatu pusat belajar (learning
center) yang dikelola Pesantren yang bertempat di Sekolah Ekologi Ath
Thaariq akan memobilisasi sumber daya dan bekerja-belajar bersama
maupun secara terpisah dengan para pengembang kapasitas Pesantren ORNOP,
Lembaga Legislatif, dan Akademisi. Dalam menguatkan Lingkar Belajar
Pesantren yang ada, melalui proses yang cukup panjang semenjak 1999.
III. STRATEGI/CARA KERJA
PENGEMBANGAN KAPASITAS
Lokakarya Pesantren Ath Thaariq, juga telah menyepakati strategi dan atau
cara kerja program pengembangan kapasitas advokasi partisipatif di masa-masa
yang akan datang. perlu disusun suatu program belajar bersama untuk
mengurus suatu atau beberapa wilayah belajar bersama.
Pilihan strategi pengembangan kapasitas yang demikian itu pada dasarnya
merupakan, Pilihan strategi yang dianggap (a) memungkinkan
mengembangkan pendekatan yang komprehensif (memadukan berbagai/beberapa issu
dalam satu kegiatan advokasi yang terintegrasi satu sama lainnya); (b) hasilnya
dapat diukur dan mudah diukur dalam skala waktu tertentu; (c) memungkinkan
terpecahkannya suatu atau beberapa masalah secara sekaligus; (d) bermanfaat
sebagai ajang latihan kerjasama para pihak; dan (e) dianggap pula,
dimungkinkannya suatu program latihan yang menggunakan satu isue strategis
tertentu untuk menyelesaikan sejumlah masalah lainnya.
Sebagai suatu jaringan belajar
bersama, dengan strategi yang demikian itu, berarti berbagai pihak yang
terlibat dalam proses wilayah ini akan memusatkan perhatiannya pada
wilayah-wilayah belajar terpilih.
Berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu, Dengan strategi pengembangan kapasitas yang
demikian itu, dalam satu jangka waktu tertentu, diperkirakan akan berlangsung
selama 1 – 3 tahun ke depan, maka kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk
mengusung pola/model advokasi yang telah dijelaskan diatas akan berpindah dari
pusat-pusat pengembangan kapasitas yang dewasa ini terpusat di kalangan NGO
akan berpindah ke pesantren-pesantren yang menyebar Sebab itu pula, salah satu
kriteria pemilihan wilayah belajar bersama dalam 1 – 3 tahun mendatang ini
adalah daerah-daerah yang di masa-masa yang akan datang diharapkan mampu
menyebarkan pengaruhnya ke wilayah sekitarnya.
IV.
KEGIATAN-KEGIATAN
Program 3
(tiga) tahun yang diberi judul ini akan melakukan 5 (lima) jenis
kegiatan, yakni:
1.
Asesment
Kegiatan ini
akan dilakukan di 5 wilayah belajar bersama terpilih. Asesmen ini akan
menghasilkan (a) peta masalah wilayah (atau memperkuat peta masalah jika sudah
ada asesmen sebelumnya); (b) pemahaman atas kapasitas para aktor; dan (c)
sebagai sarana bagi perencanaan pelaksanaan Strategic Planning Plus di
wilayah-wilayah itu.
Sub kegiatan asesmen wilayah
meliputi : pembentukan tim asesmen, penyusunan alat kerja asesmen, asesmen
lapangan dan penulisan hasil asesmen. Dalam pelaksanaan asesmen, kordinator
program melibatkan service provider yang sudah ada dan lembaga-lembaga di
daerah yang diperkirakan dapat dikembangkan menjadi service provider di masa
depan. Service provider dan pembagian wilayah yang sudah direncanakan oleh
Kordinator adalah sebagai berikut:
Tim pelaksana asesmen terdiri dari 2
orang dari masing-masing service provider yang bertanggung jawab pada 2
wilayah. Pelaksanaan asesmen di masing-masing wilayah dibantu oleh 2 orang
lokal. Proses pelaksanaan asesmen akan berjalan secara simultan di lima
wilayah, masing-masing selama 14 hari.
2.
Studi-studi tentang tema-tema Gerakan Pesantren
a. Menghasilkan
kemasan pengetahuan tentang dinamika Lingkar Gerakan Pesantren yang telah
hidup di Indonesia di masa dulu.
Dari diskusi ini akan dilanjutkan dengan upaya menjadikannya suatu buku
yang menggambarkan dinamika Lingkar-lingkar Gerakan Pesantren yang hidup
di Indonesia . Buku ini akan berbentuk bunga rampai dan ditulis oleh para
pelakunya atau setidaknya oleh orang yang disetujui oleh para pelaku utama di
Lingkar Gerakan Pesantren tersebut.
b.
Menganalisis Tema-Tema Kebijakan Agraria yang Menjadi Kepedulian
Lingkar-lingkar Gerakan Pesantren.
Berbagai
tema yang diurus oleh Lingkar gerakan Pesantren yang ada diperkirakan
membutuhkan analisis yang lebih mendalam mengenai tema-tema kebijakan Agraria.
Orang-orang yang ahli atau para pelaku itu sendiri akan diminta untuk membuat
analisis kebijakan Agraria.
3.
Pengembangan Kapasitas Aktor Lingkar Belajar Pesantren
a.
Meningkatkan kompetensi para aktor Lingkar Belajar Pesantren untuk membaca dan
menganalisis masalah rakyat yang ada disekitarnya, serta dinamika pembentukan
masalah itu.
b.
Para pelaku (Pesantren) akan mengikuti suatu aktivitas pendidikan yang relatif
panjang dalam rangka meningkatkan kemampuan studi dan analisisnya mengenai
bidang yang diadvokasikan . Kurikulum akan disesuaikan untuk kebutuhan aktivis
dengan tingkat kompetensi yang dibutuhkan. Diancangkan setiap peserta akan
menghasilkan pengetahun dan keterampilan yang bisa memenuhi warga disekitarnya.
Dari sini setidaknya akan dihasilkan pengetahuan yang bersumber dari
kerja-kerja advokasi Pesantren .
c.
Meningkatkan kompetensi para Lingkar Belajar Pesantren untuk mengadvokasikan
masalah yang diurusnya.
Akan
diselenggarakan training of trainer (ToT), yang bermuara pada sejumlah
latihan-lokakarya akan dikenakan pada pelaku advokasi langsung di Lingkar
Belajar Pesantren itu. Asessmen terhadap para peserta akan dilakukan, sehingga
dihasilkan suatu kurikulum tailor made yang bersesuaian dengan kebutuhan
belajar dan konteks kerja advokasi peserta. Sehingga berbagai
pengetahuan/ketrampilan/sikap baru yang telah dikembangkan melalui
training-lokakarya ini akan langsung dapat dapat diterapkan. Juga akan
dilakukan evaluasi setelah latihan diselenggarakan, sehingga diketahui
bagaimana dampak dari latihan-lokakarya tersebut, serta ditemukannya kebutuhan
berlajar lanjutan. Siklus mulai dari assessen, pembuatan kurikulum, fasilitasi
pelatihan hingga evaluasi, tidak dilakukan oleh pelatih yang berasal dari
wilayahnya, melainkan diambil dari wilayah lain.
d.
Memfasilitasi Asistensi Teknis dari para Ahli beserta penyediaan dana dampingan
Untuk
kebutuhan-kebutuhan perbaikan teknik tertentu, akan disediakan fasilitas
asistensi teknis berupa para ahli yang datang ke suatu Lingkar Belajar
Pesantren tertentu dan memberikan nasehat, mendemonstrasikan, dan melatih
mereka yang memerlukannya. Berbagai ahli dan keahlian yang diutamakan adalah
keahlian yang perlu dimiliki untuk (i) mengembangkan bentuk kreatif collective
actions yang merupakan tampilan dari koalisi yang dimiliki oleh Lingkar
belajar pesantren itu; . Para ahli yang memberi asistensi teknis, akan
diusahakan berasal dari kalangan gerakan sosial. Pada kegiatan asistensi teknis
ini akan disertakan juga dana kecil untuk mendampingi kegiatannya, yang dapat
dipakai organisasi setempat untuk melancarkan roses belajar.
4. Pembangunan
Jaringan Pengetahuan
a. Memastikan
berlangsungnya dokumentasi proses, monitoring perubahan konteks dan pengolahan
informasi menjadi pengetahuan
Di setiap Lingkar Belajar Pesantren yang menjadi wilayah kerja, akan
dipastikan berlangsung dokumentasi proses, monitoring perubahan konteks dan
pengolahan informasi menjadi pengetahuan yang layak untuk disebarkan .
Selain itu, tetap akan dibuatkan buletin khusus yang dapat berisikan
naskah-naskah yang dihasilkan, yang diperuntukkan bagi mereka .
b. Memfasilitasi
Studi-Kunjungan Silang antar pimpinan Pesantren
Akan dilakukan studi-kunjungan silang dari para pelaku langsung dari suatu
Lingkar Belajar Pesantren ke Lingkar Belajar Pesantren lainnya agar mereka
dapat memperoleh perbandingan, pelajaran dan saling menyemangati antar mereka.
Akan diutamakan peserta yang berasal dari Pesantren dan organisasi rakyat
dengan didampingi oleh seorang fasilitator, Menyelenggarakan Jambore
Lingkar Belajar Pesantren di Garut sebagai forum pertukaran pengetahuan
Akan diselenggarakan pertemuan tahunan dimana dalam pertemuan itu, akan
disajikan dan didiskusikan perkembangan-perkembangan dari Lingkar Belajar
Pesantren itu.
5.
Mempublikasikan berbagai hasil studi, paper analisis kebijakan dan naskah lepas
tentang Pesantren di Indonesia .
Di tengah ketidakcukupan pengetahuan tentang Pesantren dan Peran sosial,
para pelaku Belajar ini memerlukan pembanding apa-apa yang telah dilakukan oleh
berbagai pesantren di tempat lain di Indonesia dan berbagai belahan bumi lain. Akan
dipublikasi hasil-hasil studi, analisis kebijakan dan naskah lepas tentang
gerakan Pesantren di Indonesia, Kegiatan diskusi reguler
Akan dibuat kegiatan diskusi reguler yang memusatkan perhatian pada
topik-topik advokasi yang telah ditekuni sebelumnya oleh berbagai lingkaran
Belajar Pesantren . Diskusi ini ditempatkan sebagai sarana untuk menyampaikan
pada publik mengenai tanggapan Lingkar Belajar Pesantren terhadap fenomena
kebijakan yang tidak pro-rakyat. Tokoh-tokoh gerakan rakyat akan diminta
menjadi pembicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar