Selasa, 19 Mei 2015

RENCANA STRATEGIS PESANTREN ATH THAARIQ PERIODE 2015-2019

RENCANA STRATEGIS PESANTREN ATHTHAARIQ
PERIODE 2015-2019
PROGRAM  PENGEMBANGAN PENGUATAN
KAPASITAS ADVOKASI PESANTREN


PENGANTAR
Sulit dipungkiri runtuhnya rezim otoritarian dan berhembusnya angin reformasi sejak pertengahan tahun 1998 lalu, dan disusul oleh krisis multidimensional yang melanda seluruh negeri, telah membuka ruang bagi para pelaku pembelaan hak-hak rakyat, kelompok-kelompok marjinal, korban pelanggaran HAM, hak-hak lingkungan, dan yang sejenis itu, untuk memikir ulang hal-hal yang berkaitan dengan persoalan yang dialami bangsa ini.
Tak luput peranan pesantrenpun mulai diperdebatkan oleh para pemerhati social beserta warganya. Selama bertahun-tahun pesantren seringkali memberikan perhatiannya hanya pada persoalan ibadah-ibadah vertical, sementara ibadah-ibadah horizontal sering terabaikannya.
Adapun ibadah social (horizontal) hanya dijadikan media yang efektif bagi penguasa otoriter untuk mengendalikan warganya. Bahkan kepemimpinan kiyai yang karismatik telah terbukti dimanfaatkan dalam mempercepat proses pembangunan yang kapitalis. Sehingga berbagai pesan-pesan dari penguasa seringkali cukup efektif sampai ke setiap warga. Padahal pesantren dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk menyebarkan agenda-agenda demokrasi.

Namun disisi lain berbagai peristiwa konflik social sering di konotasikan bersumber dari agama, padahal setiap agama tidak menimbulkan konflik. Hal ini berkenaan setiap agama, justru menganjurkan perdamaian dan menyebarkan gagasan kemanusiaan. Tentu bila adanya beberapa gerakan yang memakai nama agama merupakan kekeliruan besar. Bahkan lebih jauh lagi agama mengantarkan para pemeluknya untuk berdampingan secara damai dan toleran.
Disisi lain sulit dipungkiri, pengetahuan dan keterampilan advokasi selama ini hanya dimiliki kaum NGO, tanpa mengalir menjadi pengatahuan yang dimiliki oleh kalangan kaum pesantren. Padahal  Advokasi telah menjadi kata penting pada setiap usaha untuk memperkuat ataupun mendampingi rakyat. Saat ini, bahkan advokasi telah secara luas dipergunakan sebagai suatu “menu tambahan” yang harus ditambahkan pada berbagai usaha pemberdayaan rakyat. Ironisnya, advokasi yang dulunya kata yang berkonotasi  “pembelaan” dari kelompok korban, juga telah dipergunakan oleh kelompok birokrat pemerintah untuk kepentingan memperkokoh kebijakan dalam mengatur rakyat sesuai dengan kepentingan penguasa atau pengusaha. Pendek kata, advokasi saat ini telah menjadi “proyek” berbagai kalangan sebagai alat untuk menghadapi masalah yang disebabkan oleh suatu kebijakan publik, terlepas dari sisi keberpihakan dan kepentingan membela atau melindungi hak-hak rakyat.  
Saat ini Indonesia berada pada era transisi yang dipenuhi oleh demokratisasi di segala bidang, termasuk dalam pembuatan kebijakan publik.  Satu kecenderungan yang berkait erat dengan upaya-upaya advokasi adalah otonomi daerah yang pada pokoknya adalah perubahan susunan kewenangan antara pemerintahan pusat, pemerintah daerah dan desa.   Dengan otonomi daerah, ada kehendak mendekatkan jarak geo-politik antara rakyat dengan pembuat kebijakan publik sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat. Lebih jauh lagi, diharapkan semakin terbuka akses rakyat dalam pembuatan kebijakan dan isi kebijakan yang melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak asasi manusia. Praktek otonomi daerah itu dapat saja mengkhianati misi utamanya jika rakyat sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk secara kolektif ikut campur dalam penentuan kebijakan yang menyangkut nasib mereka. Untuk itu, advokasi sebagai strategi yang memihak pada rakyat akan semakin relevan di masa mendatang.  Dan pengetahuan dan keterampilan advokasi harus menjadi pengetahuan yang dimiliki dan melibatkan kaum pesantren.     
Sejak tahun 1999 lalu, Pesantren Ath Thaariq dengan kontinyuitas yang cukup tinggi, mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para pimpinan dan jemaat pesantren yang berada dilingkungan / wilayah Serikat Petani Pasundan, membahas advokasi gerakan kultur sebagai gerakan alternatif dalam masyarakat Indonesia yang pluralisme. Tentu pilihan ini mengingat perkembangan dunia yang semakin dominan dikuasai oleh ketidakadilan . Padahal tranformasi yang dikehendaki Islam meletakkan proporsi yang sebenarnya, baik manusia, masyarakat, moral, kejujuran pemerataan dan keadilan. Dan pertemuan demi pertemuan  mulai mencari bentuk-bentuk dan strategi-strategi baru untuk menghadapi situasi sosial, politik, dan ekonomi yang berubah itu. Termasuk untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul sebagai konsekwensi logis proses globalisasi yang memantap di satu pihak dan desakan desentralisasi yang juga menguat di pihak lain.
Tentu perubahan yang terjadi tak bisa dibiarkan dan di anggap sepele. Sehingga tantangan itu menyeret keberadaan pesantren untuk ikut aktif melibatkan diri pada tantangan-tantangan baru.
Dari persolan itu di peroleh beberapa kebutuhan penting bagi keberadaan pesantren. Untuk memperoleh   penyusunan kebutuhan yang dibutuhkan pesantren  ditempuh melalui serangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak. Khususnya para pelaku aktivitas advokasi itu sendiri dikalangan pesantren. Aktivitas-aktivitas dimaksud meliputi: (a) lokakarya yang dilakukan di pesantren-pesantren yang terlibat; (b) menganalisa kekuatan dan kelemahan model pelatihan advokasi selama ini yang dilakukan oleh pihak pesantren; (c) melakukan kunjungan belajar ke lembaga-lembaga yang berkompeten dan berpengalaman di bidang advokasi . Ketiga aktivitas pokok ini disertai pula dengan sejumlah pertemuan-pertemuan refleksi para pelaku advokasi, seperti (a) serangkaian lokakarya yang dilakukan di Pesantren Lokakarya yang diselenggarakan di Pesantren   itu menghasilkan beberapa kesimpulan pokok. Baik yang berkaitan dengan model atau pola advokasi di  pesantren masa lalu maupun masa  depan; kebutuhan-kebutuhan untuk pengembangan kapasitas para pelaku advokasi; maupun sistem pendukung yang diperlukan agar program pengembangan kapasitas dimaksud dapat terwujud, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian berikut.


HASIL POKOK LOKAKARYA  DI PESANTREN
A.           Model/Pola Advokasi di Pesantren
Lokakarya ini, menelusuri model/pola advokasi di setiap pesantren masa lalu adalah sebagai “serangkaian aktivitas pembelaan dan/atau memperjuangkan kepentingan golongan/kelompok/sekelompok orang berada di sekitar pesantren. Sementara persoalan yang terjadi dikalangan rakyat kecil atau di-marjinalisasikan dalam relasi-relasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada sekarang ini tak pernah di sentuhnya. Termasuk di dalamnya relasi-relasi jender, kelas sosial, kemiskinan, konsumen-produsen, penguasa dengan yang dikuasai,civil society, demokrasi, HAM, God Governance dan berbagai bentuk hubungan sosial asimetri (tidak berimbang, tidak setara) lainnya. Bahkan dipertemuan itu ditemukan trauma politik yang akut dialami oleh pesantren. Dan trauma politik itu dialami semenjak berdirinya orde baru. Berbagai pelarangan bagi pesantren dikontruksi oleh penguasa. Akibatnya pesantren lemah menyikapi persoalan social.
Adapun nilai-nilai dasar yang dianut dalam menjalankan berbagai aktivitas pembelaan itu kedepan adalah: “menegakkan keadilan, menyebarkan gagasan gender, HAM, pemahaman Pluralisme, menyebarkan siar gerakan Islam kultur,  memerangi ketidakadilan dan anti demokratisasi”.
Lokakarya Pesantren Ath thaariq , menyepakati pula bahwa, di masa-masa yang akan datang, kegiatan advokasi harus dilakukan oleh pesantren beserta kelompok-kelompok masyakarat yang ingin memperjuangkan hak-haknya yang dizalimi itu sendiri. Karenanya kegiatan advokasi haruslah berbasis pada membangun organisasi-organisasi rakyat. Menyebarkan pemahaman pluralisme, demokratisasi, HAM, Gender.
Untuk mencapai tujuannya maka strategi dasar advokasi  masa depan adalah berorientasi pada kajian kebijakan dan penataan ulang sistem pengelolaan dan/atau pengurusan hidup bersama, baik yang bekaitan dengan kepentingan para pihak secara harizontal maupun vertikal, yang berpihak pada upaya-upaya untuk pemenuhan syarat-syarat  (1) keterjagaan keselamatan hidup rakyat; (2) keberlanjutan pelayanan alam, (3) keberlangsungan peningkatan produktifitas rakyat, melalui serangkaian penataan ulang hal-hal yang berkaitan dengan (1) tata kuasa (politik, ekonomi, gender, dan lain sebagainya); (2) tata guna sumber-sumber kehidupan rakyat; (3) tata produksi; (3) tata konsumsi; dan (4) berbagai sistem pengaturan hidup bersama yang relevan dan dianggap penting oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Dalam mengupayakan berbagai hal tersebut di atas, disepakati pula bahwa, kegiatan-kegiatan  mendekonstruksi dan merekonstruksi berbagai kebijakan publik (content of law); sistem birokrasi (structure of law); merubah perilaku pejabat publik maupun aparat birokrasi lain pada umumnya (culture of law), dan membangun atau merubah opini publik, merupakan kegiatan-kegiatan yang penting dilakukan pula. Termasuk mengembangkan kapasitas para pelaku dalam menjalankannya disebut pula sebagai Program Pengembangan Kapasitas Advokasi Partisipatif atau Support Program for Participatory Advocacy Capacity .
Lokakarya Pesantren Ath Thaariq , juga telah menetapkan prinsip-prinsip yang harus dianut baik dalam melaksanakan advokasi maupun dalam rangka pengembangan kapasitas para pelaku. Telah pula ditetapkan serangkaian kebutuhan program penguatan kapasitas untuk para pelaku[1].

B.            Tujuan Program
Program ini memang dapat dimaknakan sebagai suatu upaya memberikan tempat (kembali) pada kelompok/kelas yang tidak mendapat tempat (underrepresented groups/classes) kalangan Pesantren  dalam keterlibatnya dengan persoalan social, dan persoalan lain seperti pembentukan kebijakan pemerintahan dalam konteks Indonesia yang sedang berubah ini.
Program 3 (tiga) tahun ini bertujuan umum untuk menguatkan lingkar-lingkar gerakan pesantren di daerah melalui pengembangan advocacy based knowledge dan knowledge based advocacy.
Adapun tujuan khususnya adalah untuk:
1.         Membangun jaringan pengetahuan antar pelaku di lingkar-lingkar gerakan pesantren yang melakukan advokasi;
2.         Meningkatkan kompetensi advokasi individu/kelompok/organisasi yang menjadi motor penggerak dari lingkaran–lingkaran gerakan pesantren;
3.         Memprakarsai bentuk-bentuk kreatif dari collective actions yang dapat meningkatan efektifitas advokasi dari lingkar-lingkar gerakan pesantren; dan
4.         Meningkatkan efektifitas layanan kelembagaan advocacy learning centers untuk lingkar-lingkar gerakan pesantren.
C. Cara Mencapai Tujuan
Untuk mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan itu, suatu pusat belajar (learning center) yang dikelola Pesantren yang bertempat di Sekolah Ekologi Ath Thaariq   akan memobilisasi sumber daya dan bekerja-belajar bersama maupun secara terpisah dengan para pengembang kapasitas Pesantren ORNOP, Lembaga Legislatif, dan Akademisi.  Dalam menguatkan Lingkar Belajar Pesantren yang ada, melalui proses yang cukup panjang semenjak 1999.

III.        STRATEGI/CARA KERJA PENGEMBANGAN KAPASITAS
Lokakarya Pesantren Ath Thaariq, juga telah menyepakati strategi dan atau cara kerja program pengembangan kapasitas advokasi partisipatif di masa-masa yang akan datang.  perlu disusun suatu program belajar bersama untuk mengurus suatu atau beberapa wilayah belajar bersama.
Pilihan strategi pengembangan kapasitas yang demikian itu pada dasarnya merupakan,  Pilihan strategi yang  dianggap (a) memungkinkan mengembangkan pendekatan yang komprehensif (memadukan berbagai/beberapa issu dalam satu kegiatan advokasi yang terintegrasi satu sama lainnya); (b) hasilnya dapat diukur dan mudah diukur dalam skala waktu tertentu; (c) memungkinkan terpecahkannya suatu atau beberapa masalah secara sekaligus; (d) bermanfaat sebagai ajang latihan kerjasama para pihak; dan (e) dianggap pula, dimungkinkannya suatu program latihan yang menggunakan satu isue strategis tertentu untuk menyelesaikan sejumlah masalah lainnya.
Sebagai suatu jaringan belajar bersama, dengan strategi yang demikian itu, berarti berbagai pihak yang terlibat dalam proses wilayah ini akan memusatkan perhatiannya pada wilayah-wilayah belajar terpilih.
Berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, Dengan strategi pengembangan kapasitas yang demikian itu, dalam satu jangka waktu tertentu, diperkirakan akan berlangsung selama 1 – 3 tahun ke depan, maka kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk mengusung pola/model advokasi yang telah dijelaskan diatas akan berpindah dari pusat-pusat pengembangan kapasitas yang dewasa ini terpusat di kalangan NGO akan berpindah ke pesantren-pesantren yang menyebar Sebab itu pula, salah satu kriteria pemilihan wilayah belajar bersama dalam 1 – 3 tahun mendatang ini adalah daerah-daerah yang di masa-masa yang akan datang diharapkan mampu menyebarkan pengaruhnya ke wilayah sekitarnya.

IV.           KEGIATAN-KEGIATAN

Program 3 (tiga) tahun yang diberi judul  ini akan melakukan 5 (lima) jenis kegiatan, yakni:
1.             Asesment
Kegiatan ini akan dilakukan di 5 wilayah belajar bersama terpilih. Asesmen ini akan menghasilkan (a) peta masalah wilayah (atau memperkuat peta masalah jika sudah ada asesmen sebelumnya); (b) pemahaman atas kapasitas para aktor; dan (c) sebagai sarana bagi perencanaan pelaksanaan Strategic Planning Plus di wilayah-wilayah itu.
Sub kegiatan asesmen wilayah meliputi : pembentukan tim asesmen, penyusunan alat kerja asesmen, asesmen lapangan dan penulisan hasil asesmen. Dalam pelaksanaan asesmen, kordinator program melibatkan service provider yang sudah ada dan lembaga-lembaga di daerah yang diperkirakan dapat dikembangkan menjadi service provider di masa depan. Service provider dan pembagian wilayah yang sudah direncanakan oleh Kordinator adalah sebagai berikut:
Tim pelaksana asesmen terdiri dari 2 orang dari masing-masing service provider yang bertanggung jawab pada 2 wilayah. Pelaksanaan asesmen di masing-masing wilayah dibantu oleh 2 orang lokal.  Proses pelaksanaan asesmen akan berjalan secara simultan di lima wilayah, masing-masing selama 14 hari.
2.             Studi-studi tentang tema-tema Gerakan Pesantren
a.             Menghasilkan kemasan pengetahuan tentang dinamika Lingkar Gerakan Pesantren  yang telah hidup di Indonesia di masa dulu.
Dari diskusi ini akan dilanjutkan dengan upaya menjadikannya suatu buku yang menggambarkan dinamika Lingkar-lingkar Gerakan Pesantren yang hidup di  Indonesia . Buku ini akan berbentuk bunga rampai dan ditulis oleh para pelakunya atau setidaknya oleh orang yang disetujui oleh para pelaku utama di Lingkar Gerakan Pesantren tersebut.
b.             Menganalisis Tema-Tema Kebijakan Agraria yang Menjadi Kepedulian Lingkar-lingkar Gerakan Pesantren.
Berbagai tema yang diurus oleh Lingkar gerakan Pesantren yang ada diperkirakan membutuhkan analisis yang lebih mendalam mengenai tema-tema kebijakan Agraria. Orang-orang yang ahli atau para pelaku itu sendiri akan diminta untuk membuat analisis kebijakan Agraria.
3.             Pengembangan Kapasitas Aktor Lingkar Belajar Pesantren
a.             Meningkatkan kompetensi para aktor Lingkar Belajar Pesantren untuk membaca dan menganalisis masalah rakyat yang ada disekitarnya, serta dinamika pembentukan masalah itu.
b.             Para pelaku (Pesantren) akan mengikuti suatu aktivitas pendidikan yang relatif panjang dalam rangka meningkatkan kemampuan studi dan analisisnya mengenai bidang yang diadvokasikan . Kurikulum akan disesuaikan untuk kebutuhan aktivis dengan tingkat kompetensi yang dibutuhkan. Diancangkan setiap peserta akan menghasilkan pengetahun dan keterampilan yang bisa memenuhi warga disekitarnya. Dari sini setidaknya akan dihasilkan pengetahuan yang bersumber dari kerja-kerja advokasi Pesantren .
c.              Meningkatkan kompetensi para Lingkar Belajar Pesantren untuk mengadvokasikan masalah yang diurusnya.
Akan diselenggarakan training of trainer (ToT), yang bermuara pada sejumlah latihan-lokakarya akan dikenakan pada pelaku advokasi langsung di Lingkar Belajar Pesantren itu. Asessmen terhadap para peserta akan dilakukan, sehingga dihasilkan suatu kurikulum tailor made yang bersesuaian dengan kebutuhan belajar dan konteks kerja advokasi peserta. Sehingga berbagai pengetahuan/ketrampilan/sikap baru yang telah dikembangkan melalui training-lokakarya ini  akan langsung dapat dapat diterapkan. Juga akan dilakukan evaluasi setelah latihan diselenggarakan, sehingga diketahui bagaimana dampak dari latihan-lokakarya tersebut, serta ditemukannya kebutuhan berlajar lanjutan. Siklus mulai dari assessen, pembuatan kurikulum, fasilitasi pelatihan hingga evaluasi, tidak dilakukan oleh pelatih yang berasal dari wilayahnya, melainkan diambil dari wilayah lain.
d.            Memfasilitasi Asistensi Teknis dari para Ahli beserta penyediaan dana dampingan
Untuk kebutuhan-kebutuhan perbaikan teknik tertentu, akan disediakan fasilitas asistensi teknis berupa para ahli yang datang ke suatu Lingkar Belajar Pesantren  tertentu dan memberikan nasehat, mendemonstrasikan, dan melatih mereka yang memerlukannya. Berbagai ahli dan keahlian yang diutamakan adalah keahlian yang perlu dimiliki untuk (i) mengembangkan bentuk kreatif collective actions yang merupakan tampilan dari koalisi yang dimiliki oleh Lingkar belajar pesantren  itu; . Para ahli yang memberi asistensi teknis, akan diusahakan berasal dari kalangan gerakan sosial. Pada kegiatan asistensi teknis ini akan disertakan juga dana kecil untuk mendampingi kegiatannya, yang dapat dipakai organisasi setempat untuk melancarkan roses belajar.
4.             Pembangunan Jaringan Pengetahuan
a.             Memastikan berlangsungnya dokumentasi proses, monitoring perubahan konteks dan pengolahan informasi menjadi pengetahuan
Di setiap Lingkar Belajar Pesantren yang menjadi wilayah kerja, akan dipastikan berlangsung dokumentasi proses, monitoring perubahan konteks dan pengolahan informasi menjadi pengetahuan yang layak untuk disebarkan  . Selain itu, tetap akan dibuatkan buletin khusus yang dapat berisikan naskah-naskah yang dihasilkan, yang diperuntukkan bagi mereka .
b.             Memfasilitasi Studi-Kunjungan Silang antar pimpinan Pesantren
Akan dilakukan studi-kunjungan silang dari para pelaku langsung dari suatu Lingkar Belajar Pesantren ke Lingkar Belajar Pesantren lainnya agar mereka dapat memperoleh perbandingan, pelajaran dan saling menyemangati antar mereka. Akan diutamakan peserta yang berasal dari Pesantren dan organisasi rakyat dengan didampingi oleh seorang fasilitator, Menyelenggarakan Jambore  Lingkar Belajar Pesantren di Garut  sebagai forum pertukaran pengetahuan
Akan diselenggarakan pertemuan tahunan dimana dalam pertemuan itu, akan disajikan dan didiskusikan perkembangan-perkembangan dari Lingkar Belajar Pesantren itu.  
5.             Mempublikasikan berbagai hasil studi, paper analisis kebijakan dan naskah lepas tentang Pesantren di Indonesia .
Di tengah ketidakcukupan pengetahuan tentang Pesantren dan Peran sosial, para pelaku Belajar ini memerlukan pembanding apa-apa yang telah dilakukan oleh berbagai pesantren di tempat lain di Indonesia dan berbagai belahan bumi lain. Akan dipublikasi hasil-hasil studi, analisis kebijakan dan naskah lepas tentang gerakan Pesantren di Indonesia, Kegiatan diskusi reguler
Akan dibuat kegiatan diskusi reguler yang memusatkan perhatian pada topik-topik advokasi yang telah ditekuni sebelumnya oleh berbagai lingkaran Belajar Pesantren . Diskusi ini ditempatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pada publik mengenai tanggapan Lingkar Belajar Pesantren terhadap fenomena kebijakan yang tidak pro-rakyat. Tokoh-tokoh gerakan rakyat akan diminta menjadi pembicara.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar