![]() |
Komunikasi yang baik, cara efektif dalam membangun hubungan dengan anak. Kyai Ibang Lukman dan para santri Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut |
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia saat ini sudah masuk dalam kondisi ”darurat”. Data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, pada 2010-2014 terdapat 21,8
juta kasus pelanggaran hak anak. Sebanyak 58% dari angka tersebut adalah kasus
kekerasan seksual. Berbagai kasus pemerkosaan anak di bawah umur (bahkan oleh
keluarga terdekat seperti ayah, kakek, dan paman) kian marak terjadi. Kasus ini
menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus yang
akhir-akhir ini terjadi adalah kasus pemerkosaan disertai pembunuhan terhadap
anak di bawah umur.
Sebut saja kasus Yuyun, bocah malang berusia
14 tahun yang sedang mengenyam pendidikan SMP. Yuyun menjadi korban kekerasan
seksual massal para pemuda kampungnya. Tidak cukup puas menganiaya dan menodai
korban, gerombolan pemuda itu juga membunuh korban dan membuang mayatnya di
perkebunan sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Hal serupa juga menimpa Enno,
19, yang dinodai dan dibunuh dengan menggunakan pacul, serta kekerasan
kekerasan lainnya yang menimpa perempuan dan anak lainnya di Indonesia.
Kasus kekerasan dan ancaman pada kesehatan
anak-anak Indonesia susul menyusul mewarnai pemberitaan. Di dalamnya
termasuk kasus obesitas yang menimpa dua anak Indonesia yang berusia sama,
yakni Arya Permana asal Karawang dan Rizki Rahmat Ramadhan asal Palembang,
Sumatera Selatan. Rizki Rahmat Ramdhan bahkan dikabarkan jatuh koma pada Juli 2016. Anak bungsu dari tujuh bersaudara
itu mengalami tidur panjang dan sulit dibangunkan.
Kasus kasus diatas, hanyalah yang mengemuka,
masih banyak lagi kasus kasus yang tidak muncul dipermukaan yang jumlahnya
lebih banyak daripada yang ada dipermukaan.
Kasus perkosaan YY sama sekali tidak cukup hanya dipandang sebagai persoalan moral dan mental bobrok para pemuda secara individual dan karenanya tawaran solusinya ”hukuman kebiri”, ”hentikan penjualan bebas minuman keras”, atau ”tembak mati pelaku” atau ”orang tua harus lebih peduli anak”. Belum satu pun elite pejabat negara yang dapat menghubungkan kasus perkosaan YY ini dengan kemiskinan kronis dan politik agraria.
Kasus Arya Permana dan Rizki Rahmat Ramadhan disebabkan oleh kemiskinan pengetahuan yang berdampak pada terancamnya jiwa mereka, beberpa kasus titik klimaksnya adalah mereka meninggal dunia pada umur sangat muda,
Para pemerkosa YY dan Arya dan Rejeki adalah anak anak yang terjebak bukan saja karena persoalan dilahirkan di wilayah kemiskinan yang kronis serta akibat dari kemiskinan pengetahuan saja, namun ditambah dengan perkembangan teknologi yang pesat yang didalamnya diiringi dengan iklan iklan serta hiburan hiburan yang menina bobokan, menjadikan kehidupan semakin instan dan hidup diatas ketidaknyataan (maya/tidak realistis).
Haudegen Zbigniew Brzezinski (seorang
kelahitan Polania, selama empat tahun sebagai penasehat keamanan dalam negeri
Presiden AS Jimmy Carter, mengatakan lebih jauh orang hanya akan berpikir
tentang kariernya sendiri yang kemudian disebut “Tittytainment”, menurutnya merupakan
kombinasi dari “entertainment” dan “tits”, satu istilah yang berasal dari
bahasa slang (ucapan popular) di Amerika yang artinya payudara . Brzezinski tidak
mengasosiasikan payudara ini dengan sex tetapi lebih dikaitkan sengan air susu,
yang mengalir dari tetek ibu ketika menyususi. Artinya campuran antara hiburan
riuh rendah dan sandang pangannya tercukupi, sehingga membuat seluruhpenduduk
dunia yang frustasi, dapat dikontrol perasaannya agar tidak meledak.
“Tittytainment” telah berdampak keras
terhadap kehidupan, bukan radiasi saja telah membuat orang emosional, cepat
tersinggung, dll, tetapi dampak darinya telah menimbulkan penghilangan karakter
seseorang.
Indonesia telah dihantam berbagai krisis
akibat dari sebuah proyek yang diproklamasikan oleh seorang Filsuf Amerika
Utara, Francis Fukuyama, pada tahun 1989, yang dengan begitu berani disebut
“modernitas”. Zaman telah mulai berubah : bukan kemajuan dan peningkatan
kesejahteraan melainkan disintegrasi, kehancuran ekologi dan degenerasi
kultural yang dengan cepat membentuk kehidupan sehari hari dari bagian terbesar
umat manusia.
Pesantren Ath Thaariq dimana saya belajar dan tinggal selama delapan tahun. Sebuah lembaga pendidikan yang berkonsentrasi pada kajian Teologi Ekologi dan Pertanian berbasis pemulihan ekologi, sedang berjuang berusaha untuk mencari jalan keluar dengan cara cara yang sangat sederhana untuk terlibat aktif dalam mennghadapi berbagai krisis yang terus menimpa bangsa Indonesia, terutama yang menimpa anak dan perempuan Indonesia melalui pengelolaan kurikulum belajar berbasis kemandirian, membangun wirausaha hijau, menjadikan pangan yang berdaulat dari kebun pekarangan dengan mengembangkan pertanian berbasis penyelamatan ekosistem. Keluarga pesantren kami menekankan pada keterampilan praktis sehari-hari, menekankan pada kemampuan profesional. Lebih utama menekankan pada hubungan relijuisitas dan alam.
Pada saat ini, para pembelajar baik anak dan perempuan (sebut “kita”), rata rata bersikap pasif. Sikap fasif ini adalah dampak sampingan dari model belajar yang berpusat pada guru/sistem dan mengabaikan peran aktif kita. Anak tak diperlukan untuk berinisiatif dan mengemukakan pendapatnya kecuali untuk hal-hal yang sudah ditentukan. Semuanya sudah diatur dan ditentukan, mulai apa yang dipelajari, bahannya apa, kapan dipelajari, dan bagaimana cara mempelajarinya.
Jika kita ingin mengurangi dampak kepasifan, salah satu caranya adalah dengan melibatkan dan melatih kita untuk berinisiatif tentang apapun yang menyangkut diri sendiri. Inisiatif dan pendapat pembelajar sangat berharga, serta didorong secara sadar.
![]() |
Pendidikan Guru Lingkungan Hidup untuk membangun Sekolah Hijau di Pesantren Ekologi Ath Thaariq |
Dengan meningkatkan rasa kepemilikan dan keterlibatan terhadap kegiatan
belajar, berharap para pelajar dapat menjadi aktif. Dengan mendorong untuk
menjadi “tuan atas hidupnya sendiri”, kita berharap para pelajar terbiasa
mengambil keputusan dan pada akhirnya membuat mereka menjadi orang orang yang
mandiri.
Pesantren Ath Thaariq Garut disebut juga Pesantren Kebon Sawah atau Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut, tidak seperti Pesantren lain pada umumnya, santri dan kyai dan nyai (pemimpin), diposisikan sebagai anak dan ayahnya dan ibunya, intinya tidak ada sekat, penting karena harus mencapai tujuan tujuan diatas,.
Komunikasi aktif adalah salah satu yang dibangun oleh pesantren, tidak cukup dengan berkomunikasi saja, para pembelajarpun mendapat pelajaran bagaimana hidup yang sehat yang membuat cerdas nurani pikiran dan tingkah laku, mendisiplinkan diri, menggembirakan dan membahagiakan diri, memenuhi kebutuhan makan sendiri, melalui melatih dirinya dengan cara berkebun setiap hari di pekarangan rumah secara kolektif.
Dari berkebun mereka mendapatkan pengetahuan pengetahuan sederhana, praktis
tapi teruji keilmiahannya. Contoh kecil adalah bahwa gulma ternyata bukan
tanaman pengganggu, tapi sebagian besar gulma adalah tanaman obat. Kami juga
menjadi tahu kalau semua tumbuhan obat dan tanaman lainnya adalah bahan pangan yang dapat diolah dengan berbagai macam rupa.
![]() |
Terampil, Mandiri dan Mampu Berkarya, Motto Pesantren Ekologi Ath Thaariq dalam membangun kapasitas Santri |
Pelajaran terpenting yang didapatkan dari berkebun adalah, bahwa semua
makanan dan minuman yang dimakan setiap detik, akan berpengaruh besar pada
sikap membentuk cara cara berpikir dan membangun jiwa, karena sumber makanannya
jelas. Pada saat ini, makanan tidak cukup halal saja, tetapi harus diperjelas sumbernya
darimana, dan diolah dengan rasa kemanusiaan.
Pesantren
menggunalan kata Ekologi, Menjadikannya sebagai pintu masuk dari arah/jalan
manapun. Isyu Ekologi (pemulihan) mampu menerima perbedaan, karena ekologi
menghargai ekosistem yang berbeda beda, namun saling menyelamatkan dan saling
meghormati. Makluk lain saja seperti tumbuhan dan binatang yang sangat
dihargai, dan manusia ada didalam ekosistem tersebut, yang masuk sebagai sebuah rantai makan yang
tidak boleh terputus. Situasi ini mengharuskan manusia menghargainya. Ekosistem
memberikan keuntungan bagi semua yang ada di lingkarannya, karena bila terputus
atau hilang satu didalam rantai makan tersebut, maka akan terjadi kekacauan.
Oleh : Nisya Saadah Wargadipura
Makalah disampaikan pada Lokalatih Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan Melalui Penguatan Keluarga
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Daerah Provinsi Sulawesi Tengah
Palu, 19 – 20 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar